Monday, September 11, 2006

Jemari Duli Tuhan

RUH adalah rahasia yang belum (atau tidak) terpecahkan. Sedangkan takdir berperan sebagai pisau-lipat yang sewaktu-waktu membuat torehan tak terduga: luka atau format. Maka ketika suatu petang seorang wanita muda harus kehilangan bayi yang dikandungnya, untuk yang ketiga kalinya, pada usia tujuh bulan; saat itu ia sedang berhadapan dengan pisau-lipat, yang digerakkan oleh jemari Tuhan. Sebagai Maha Perencana, tentu bukan tanpa maksud, membuat wanita itu bersedih.

            Karena rahasia, ruh adalah gaib. Tak tampak dan tak mungkin diwakili, bahkan seandainya wanita itu bermaksud menukar nyawanya untuk sang bayi. Ruh tak mungin berubah menjadi semacam benda kesayangan yang dalam kondisi terdesak boleh dibarterkan. Sementara takdir, seolah-olah menjadi si cerewet yang tak mungkin dicegahkata-katanya’. Dalam analogi paling sederhana, sabda Raja dianggap undang-undang. Sehingga perintahnya, betapa pun muskil, hanya bisa dijawab: “Siap, Baginda. Apa yang Duli Tuanku minta akan hamba penuhi.”

            Mari bertanya pada diri sendiri: seberapa takut kita kepada takdir? Banyak yang demikian takut terhadap yang tampak jelas, seperti polisi, presiden, kepala sekolah, direktur, boss premandan siapa pun yang berkuasa, berwibawa atau sekadar beringas. Akan tetapi banyak pula yang memandang sepele kepada yang tak tampak, dan tak pernah menampakkan Diri, misalnya Tuhan.

            Untuk memahami Tuhan berada di antara kita, pahamilah perasaan bahagia dan duka dalam kalbu. Terasa namun tak tampak. Dan karenanya bisa kita sembunyikan, sebab isi hati adalah bagian dari ruh yang rahasia. Itu sebabnya pelbagai rencana di kepala, sepanjang tidak dituangkan dalam kata-kata, seyogyanya tak seorang lain pun tahu. Sebagaimana rencana yang tersimpan di benak atasan kita, yang telah turut ambil bagian dalammenebakRencana Besar Maha Atasan kita.

            Ketika kita pindah bagian, diberhentikan, mutasi, atau syukur kalau naik jabatan; ada hal-hal yang sulit dijelaskan di antara yang sangat gampang dijelaskan. Semata-mata takdirkah yang bekerja? Keputusan itu seperti selembar rapor yang kita tulis sendiri dengan perilaku dan prestasi sepanjang waktu yang berlalu. Jika ternyata lantaran jasa seseorang yang baik, atau fitnah seseorang yang jahat, mungkin telah terjadi peristiwa sebelumnya yang mulai dilupakan. Pada dasarnya, terdapat anyaman nasib, saling merajut, membentuk mata-rantai sebab-akibat yang tak berujung.

            Dalam percakapan sehari-hari, kata nasib atau takdir, bagaikan vonis yang tak tereLakkan dan alangkah mutlak. Barangkali wanita yang berulang-kali kehilangan bayi dalam kandungannya itu tak akan selesai menangis: menganggaphukuman’ yang diterimanya tak adil. Dari sisi lain, yang sangat butuh keyakinan seorang beriman, harus diterima  sebagai hikmah seperti termaktub dalam doa imam yang memimpin shalat jenazahnya: jadikan ini imbuhan, titipan, dan tabungan anak salih dan tidak menghalangi doa-doanya Betapa perasaan kaya itu menjadi milik orangtua yang tidak sempat menimang, namun menyimpan tabungan doa anak-anak tak ternoda sentuhan dunia.

            Jadi, haruskah kita pasrah terhadap takdir? Forum festival film internasional Jakarta (Jiffest) tahun 2000, pernah menampilkan sebuah film menarik tentang pilihan nasib. Run Lola Run yang diperankan dengan amat intens oleh Franka Potente, menggambarkan betapa keputusan sekecil apa pun detik ini, memiliki akibat panjang di masa depan. Mekanisme itu pula yang diterapkan pada setiap computer-game: beratus kombinasi nasib tercipta melalui keputusan jemari kita.

            Kita yang miskin ilmu memang kadang-kadang jadi sok tahu, menganggap jalan hidup setiap manusia sudah ditentukan, bahkan bukan oleh diri sendiri. Agak rumit tampaknya untuk dapat menerima teori tentang Kemahatahuan Tuhan yang sanggup melihat ujung dari segala ujung usia jagat raya. Mungkin, untuk membesarkan hati, kita berusaha agar tidak menyesali setiap keputusan dan langkah yang diambil. Berpikir masak, konsultasi dengan para senior, berembuk dengan keluarga, mendengar pendapat positif, berdoa, lantas semaksimal mungkin berupaya. Mencoba menepis pesimis dan putus asa, karena itu musuh yang musti kita perangi.

            Aku belajar kebajikan dari ketidakbajikan,” kata Kahlil Gibran. Tapi tak pernah aku berterimakasih kepadanya.” Andaikata yang kita temui adalah kegagalan, kesedihan, jalan buntusetidaknya kita pernah berjuang. Berbuat salah itu manusiawi. Di balik itu, dengan maksud yang tidak sepenuhnya kita pahami, ada titah gaib. Ada gerakan Jemari Tuhan. Dengan rasa tawakal, boleh kita jawab: Siap Baginda Tuhan, segala kehendak Duli Tuhan akan hamba jalani.”

            Dalam banyak sejarah, orang-orang mulia, awalnya lebih panjang menderita. Di belakang hari, ia menjadi direktur, menteri, artis terkenal, pemimpin partai, presiden, bahkan seorang nabi. ***

 

(Kurnia Effendi – JEDA tabloid PARLE edisi 11 September 2006)

 

 

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

makin religius saja nih ustadz...
parle bakalan laris manis nih...:)
jadi siapa yg ngurusin parle skrg? aku amish punya utang ki...*malu tenan

11:06 AM  
Blogger 5689 said...

zzzzz2018.8.29
coach outlet
fitflops
ferragamo outlet
christian louboutin shoes
canada goose outlet
coach factory outlet
ultra boost
ugg boots on sale 70% off
pandora charms
pandora jewelry

1:05 PM  

Post a Comment

<< Home