Tuesday, September 19, 2006

Seratus Hari Gempa Jogja di Mata Penyair

NESTAPA, seperti juga takdir, tak semata dirajahkan pada telapak tangan, sehingga kita mungkin mampu membacanya sejak awal. Ketika maut datang dalam bentuk yang tak terpikir oleh kita, bahkan Tuhan seolah menghendaki kita tak siap. Membayangkan kelemahan manusia, kadang-kadang muncul perasaan ganjil, namun itulah yang terjadi. Sebagaimana puisi-puisi dalam buku ini.

Kesedihan pada akhirnya sulit diwakili kata-kata. Tapi bukan berarti pelukisan itu kita hindari. Sebagai keprihatinan paling sederhana, kita mencoba melakukan seperti yang tersurat pada judul salah satu puisi dalam buku ini: Kalau Bukan Penyair, Lalu Siapa? Bahkan, sekalipun (seperti yang juga diangkat sebagai judul puisi): Kita Selalu Terlambat, akan tetap lebih baik daripada tidak sama sekali. Dengan cara dan sudut pandang masing-masing, para penulis puisi (atau kita sebut penyair?) diberi kesempatan untuk menyampaikan empati, reaksi, simpati, sikap, dan pandangannya terhadap sebuah musibah besar dengan kata-kata. Dengan bahasa. Dengan sederet aksara.

Hampir kita tak percaya. Jogjakarta, sebuah kota yang tenang dan santun, tiba-tiba diguncang gempa berkekuatan 5,9 dalam skala Richter. Saat itu subuh baru saja berlalu. Fajar semburat muda. Namun Sabtu, 27 Mei 2006 itu, bencana telah mengubah paras anggun Jogjakarta dalam 57 detik saja. Segala yang tertib mendadak poranda. Suasana tenang tercabik jerit ketakutan, rasa ngeri yang tak terperi. Kecemasan berminggu-minggu terhadap ancaman lava Gunung Merapi membuat banyak orang salah sangka. Justru lempeng sepasang benua nun di dasar lautan yang menggeliat, bergerak saling menyesuaikan diri, menjadi episentrum yang menyebabkan sekian ribu rumah runtuh serentak. Di bawah bangunan yang kemudian berserak itu, penghuninya nyaris tak sempat menyelamatkan diri. Beberapa hari kemudian tercatat lebih enam ribu orang tewas sebagai korban.

Kini, peristiwa itu telah berlalu seratus hari. Atau baru seratus hari? Waktu sangat lambat beranjak ketika seluruh gerak kehidupan diliputi perasaan duka. Ketika sejumlah hari merupakan rangkaian kesulitan, setelah pengalaman kehilangan yang luar biasa menyedihkan. Sementara uluran tangan para relawan, bantuan dari banyak penjuru, tak sekaligus mampu membuat mereka bangkit berdiri. Selain fisik yang memang kehilangan daya, sesungguhnya perasaan mereka lebih terpuruk. Trauma menyebabkan situasi dan kondisi batin mereka kehilangan harapan. Jalan seolah buntu, masa depan berwarna gelap. Apakah kehidupan harus berhenti?

Dukalara itu tak hanya dirasakan oleh saudara-saudara kita yang tak lagi memiliki apa-apa, selain atap langit. Kata seorang penyair: “Jogja datang kepadaku dengan tubuh penuh luka…” Melihat itu, kita semua gemetar. Kita disadarkan pada sebuah kekuatan yang tak terjangkau khayalan. Ada Maha Empu yang berkuasa atas peristiwa ini. Seperti kesaksian penulis puisi paling belia: …tembok-tembok digelombangkan… Ya. Atas nama alam kita hanya boleh pasrah, karena memang bukan harus dilawan. Meskipun manusiawi jika kita merasa murka, kecewa, dan sempat menilai peristiwa ini sebagai ketidakadilan. Tetapi siapa sanggup mengurai misteri bumi dengan keterbatasan daya pikir kita?

Seratus hari tak serta-merta menghapus luka itu. Sedu sedan masih terdengar di bilik hati masing-masing. Getaran gempa masih terjadi sesekali. Negeri ini, setelah Aceh dan Nias, masih menyimpan nyeri. Setelah Jogjakarta, bahkan kemudian Pangandaran dan Cilacap juga dicium tsunami. Satu demi satu reruntuhan perlu ditata kembali. Dengan jiwa yang perlahan bangkit lagi. Kita, yang dekat maupun jauh dari ukuran jarak, terus berusaha mengobati. Di antaranya dengan cara menulis puisi.

Ekspresi yang diungkapkan dengan pelbagai perasaan itu perlu wadah. Di antaranya, tentu media massa yang kemudian menyiarkannya. Tanda, atau lebih ‘dramatik’ disebut jejak, perlu diawetkan dalam sebuah buku. Setidaknya untuk mengenang, bahwa pernah ada dukalara yang menimpa saudara-saudara kita. Dalam upaya ini, Komunitas Sastra Indonesia, bukanlah satu-satunya kelompok pegiat sastra yang melakukan. Hanya salah satunya.

 

***

 

KOMUNITAS Sastra Indonesia (KSI), yang dibentuk sepuluh tahun yang lalu, merupakan himpunan sejumlah komunitas pegiat sastra yang tersebar di Jabotabek. Pendirinya antara lain, untuk menyebut beberapa nama, adalah Wowok Hesti Prabowo, Diah Hadaning, Iwan Gunadi, Medy Loekito, Wig SM, dan lain-lain. Dengan memanggul nama ‘sastra’, kegiatan yang dilakukan KSI meliputi bidang sastra dalam pelbagai genre: puisi, cerpen, novel, dan esai; yang diekspresikan dalam bentuk diskusi, apresiasi, pelatihan, penerbitan buku, dan pertunjukan seni sastra.

Ketika seratus hari yang lalu gempa bumi tektonik mengguncang Jogja dan sekitarnya, kami terhenyak dan menyadari, bahwa bencana tsunami Aceh bukanlah yang penghabisan. Terlepas dari cara Tuhan menguji atau (semoga tidak) menghukum manusia, ada kewajiban secara moral untuk mengulurkan tangan membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Banyak di antara mereka adalah seniman, para sahabat yang kerap saling bersilaturahmi dalam pelbagai acara sastra. Sisi paling dalam dari nurani kami pun tersentuh. Siapa yang akan membantu mereka jika bukan kita?

KSI, bekerjasama dengan banyak pihak (Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Komunitas Sastrawan Tionghoa Yin Hua, Bengkel Teater, dll),  berusaha menggalang dana untuk meringankan beban mereka. Dengan menggelar pertunjukan seni di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, 9 Juni 2006 yang lalu, kiprah itu dimulai. Sumbangan yang terhimpun, termasuk melalui lelang buku “Seribu Merpati” dari komunitas Yin Hua, diantarkan langsung oleh para relawan yang terdiri dari KSI, Yin Hua, dan Serikat Buruh Indonesia. Disusul dengan kunjungan kedua ke lokasi gempa Jogja, setelah menyelenggarakan pameran dan lelang lukisan Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki, persis satu bulan setelah peristiwa dahsyat itu.

Menjelang seratus hari gempa Jogja, yang jatuh tanggal 6 September 2006. kami ingin kembali ‘mengingatnya’. Kehidupan memang terus berjalan bagi setiap orang, namun sangat berbeda antara yang tinggal di tempat normal dengan yang masih berserak di tenda-tenda penampungan. Ngilu itu masih kerap menghampiri perasaan kita. Namun untuk melerai kedukaan itu, tak cukup hanya doa. Harus disertai kerja, ikhtiar yang melibatkan setiap gerakan fisik kita.

Maka sekali lagi (tapi bukan yang terakhir kali), KSI mengajak semua penyair Indonesia untuk menyumbangkan karya. Tentu setiap orang punya cara mengulurkan bantuan, namun karya puisi, sekalipun tak langsung sanggup mengganti harta dan nyawa yang hilang, secara spiritual dapat menambah ‘tenaga batin’ bagi yang terpuruk. Kepedulian sederhana yang tampil melalui untaian kata ini mudah-mudahan tak kalah berharganya dibanding curahan bantuan materi. Mudah-mudahan tak berhenti sebagai seratus hari peristiwa gempa Jogja di mata para penyair. Bahkan setelah genap menjadi buku, sumbangan seluruh penulis puisi yang karyanya tercantum dalam buku bertajuk JOGJA 5,9 SKALA RICHTER ini akan bergulir seiring gerakan penjualannya.

 

***

 

AKHIRNYA kami, Komunitas Sastra Indonesia dan juga Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, sangat berterima kasih atas perhatian dan keikhlasan para sahabat, para penyair, yang tersebar di seluruh Indonesia, juga di mancanegara, baik yang puisinya terhimpun maupun yang masih tersimpan dalam bank naskah kami.

Secara mendalam kami bersyukur kepada Allah SWT yang meletakkan tiap peristiwa dengan sebab-akibat yang demikian rahasia. Secara mendalam pula kami menaruh hormat atas tanggapan positif  semua pihak, antara lain: Saut Situmorang, penyair Jogjakarta yang sejak awal begitu ringan tangan melarutkan diri dalam kegiatan KSI termasuk menjadi editor buku ini; Gangsar Sukrisno dari penerbit Bentang Pustaka yang terbuka menyambut kerjasama penerbitan; Excelcomindo Pratama dengan program XL Care yang telah merealisasikan kehadiran buku ini di tangan anda; MP Book Point yang menyediakan tempat untuk peluncuran antologi puisi ini pertama kali; Iksaka Banu sebagai perancang sampul buku yang tekun; dan semua pihak yang tak dapat kami sebut satu per satu. Tentu, di balik semua kebaikan itu, akan tertabung hikmah yang luar biasa.

Mari buka jiwa kita untuk membela yang menderita. Mari pulihkan Jogja. Bahu-membahu seluruh Nusantara.

 

 

 

Jakarta, 6 September 2006

Kurnia Effendi

Ketua Program Buku JOGJA 5,9 SR

Komunitas Sastra Indonesia