Thursday, August 31, 2006

Embun Terik Hari

PERCAYA atau tidak, kita sedang memasuki tahun-tahun kerja keras. PARLE yang menggenapi dirinya menjadi satu tahun dalam penerbitan telah menjadi saksi pelbagai peristiwa di tanah air. Namun kita tahu, akhir-akhir ini negeri kita tercinta selalu dirundung malang, Seolah tak putus bencana alam menghampiri, seolah tak henti krisis menghadiri kondisi ekonomi.

Seperti baru kemarin kita dicemaskan krisis dan isu pasar bebas. Kita terseret waktu dan tahu-tahu telah berada pada posisi harus memutuskan. Justru dalam kepungan problematik yang – entah kenapasaling tumpang-tindih, overlapping. Lalu kita teringat ketika kecil dulu, betapa satu masalah sanggup menyebabkan kita sulit tidur atau dihimpit perasaan khawatir. Hanya karena lupa mengerjakan PR, misalnya, atau kalah bermain kelereng,…

Dengan mencoba menarik jarak, berdiri di titik posisi kita sekarang, memandang ilusi masa kanak-kanak, semua itu akan terasa lucu dan sepele. Dahulu, ada keinginan (mustahil untuk) segera secara instant menjadi dewasa. Dengan harapan, setelah lewat akil balig, tak ada masalah yang berani mampir, karena kita cukup pandai mengatasinya. Apakah kemudian terbukti benar demikian?

          Ujian tidak berhenti di sana. Tidak menepi ketika langkah kita semakin lebar. Justru sebaliknya: ia menghadang setiap kali kita melintas dan bermaksud mencapai harapan. Percaya atau tidak, sudah ribuan kali pikiran kita terperas keras, tenaga kita terpilin tandas, perasaan kita leleh tersadap. Untuk apa? Mungkinkah itu yang disebut survive dalam arti luas? Kita, juga mereka, yang betul-betul merasakan hidup, adalah yang menjalani semua pengalaman ini: bertemu jalan buntu, kehilangan tempat mengadu, dilukai teman sejawat, berlomba dengan waktu yang kritis, terhina dan tersisihkan, kesepian di tengah keramaian, gagal dalam target, mati langkah

          Di saat seperti itu, apa pun tampak gelap. Minat paling besar dalam diri kita hanyalah: lari dari kenyataan. Dan percaya atau tidak, lari yang paling indah seharusnya adalah menuju sumber cahaya. Kita ternyata memang bukan siapa-siapa. Karena ada yang paling berhak memiliki kita, Sang Pencipta.

SERING kali, dalam hidup sehari-hari, kita menghadapi sebuah paradoks. Ketika slogan masyarakat kita mengagungkan kepribadian Indonesia sebagai bangsa yang santun, ada penyanyi kita yang begitu tergila-gila ingin seperti Britney Spears. Tatkala cita-cita damai ditulis besar-besar pada spanduk di jalan raya, ternyata bom meledak dengan ratusan jiwa melayang. Kita demikian paham, betapa rokok bukan solusi untuk hidup sehat, akan tetapi justru menjadi investor terbesar dalam setiap perayaan olahraga. Asuransi jiwa memberikan rasa tenteram justru kepada ahli waris yang berduka karena sewaktu-waktu kita tinggalkan. Melahirkan bayi dan mengasuhnya tentu merepotkan secara fisik, namun menumbuhkan bunga-bunga kebahagiaan. Sebuah paradoks bisa kita ibaratkan sebagai tetes embun di tengah terik hari.

          Pada sebuah pelatihan kreativitas, ada satu babak pelajaran yang membicarakan mengenai sebuah pertentangan sifat. Semoga kita tidak menerimanya sebagai ambiguitas, melainkan sebagai paradoks yang melahirkan sinergi. Dispenser air mineral, bisa jadi berasal dari gagasan menggabungkan dua hal yang berlawanan: air panas dan air dingin dari satu tabung. Bukan tidak mungkin, tampilnya sebuah harmoni, berawal dari dua bagian yang berbeda. Seperti pasangan-pasangan di sekitar kita. Siang dan malam, lembut dan keras, terang dan gelap. Sesekali kita menjadi si tajam, lain kali menjadi si tumpul. Mungkin saja kita adalah biru, dan mereka kuning, sehingga lahir rona hijau.

          Jauh lebih sederhana dari segala kata-kata, apa pun yang kelak tampak berbeda, pasti bukan bermaksud membongkar yang tersembunyikan. Karena sesungguhnya, proses mengenal tak pernah selesai, seperti hausnya rasa ingin tahu kita. Proses menyesuaikan diri selalu butuh waktu. Percaya atau tidak, setiap hambatan yang menyongsong, sebaiknya dipandang dengan mata yang positif. Dengan demikian kita menuai pengalaman berharga saat mencari solusi. Mungkin dengan piranti keuletan, pantang putus asa, team work, dan kesediaan menerima masukan. Agar setiap langkah sukses, sekecil apa pun, selalu menjadi tetes embun yang sejuk pada terik surya tengah hari.

 

***

 

Kurnia Effendi – untuk kolom JEDA tabloid PARLE, edisi Senin 4 September 2006