Dunia Leila Tanpa Koma
SETELAH sekian lama televisi kita hanya dihiasi sinetron hantu dan remaja penuh intrik berebut gebetan, terpana kita oleh tayangan drama seri 14 episode berjudul “Dunia Tanpa Koma” (DTK). Cerita apakah gerangan yang tertayang di
Malam Minggu tanggal 9 Desember 2006, merupakan malam episode terakhir DTK. Tapi mungkin gemanya masih akan memanjang. Dan perlu kiranya sedikit mengungkap apa dan siapa yang berkiprah di
“Siapa yang harus menjadi tokoh utama?” begitu pertanyaan sang produser terlontar. Jawab Leila cukup menantang: “Dian Sastro!” Ah, kita tahu, Dian Sastro pernah menyampaikan statement kepada publik: tidak mau main sinetron! Tapi apa reaksi Dian Sastro saat membaca naskah yang ditawarkan Leila? Setuju! Itu ternyata jawabannya.
Maka Leila mendapuk beberapa bintang yang terdiri dari aktor kawakan Slamet Rahardjo Djarot, si ganteng Tora Sudiro (yang tak sampai membaca skenario langsung bilang setuju, karena surprised atas keputusan Dian Sastro), dan yang tak kalah senior: Didi Petet. Namun, yang kita lihat di layar kaca selanjutnya, begitu banyak bertaburan bintang-bintang ternama. Ada Wulan Guritno, Doni Damara, Fauzi Baadilah, Surya Saputra, dan lain-lain. Apakah memang diramu demikian? Sebenarnya Leila juga tak menyangka ketika perkembangannya menjadi seperti itu. Menggelembung menjadi sebuah cerita besar, demikian istilah yang digunakan Leila.
Apa sebenarnya motif Leila menulis DTK? Ternyata sederhana saja. Ia kerap dikeluhi anak-anaknya yang melihat tontonan di TV tidak bermutu dan meminta bundanya (yang memang seorang cerpenis dan novelis) untuk membuat cerita televisi yang bagus. Maka ia berangkat dari dunia yang digeluti sehari-hari: jurnalis. Dengan becermin pada aktivitas di kantor
Pertanyaan selanjutnya: “Apa debut berikut yang hendak digarap?” Dengan senyum optimis, Leila mengatakan, bahwa ia sedang menyiapkan sebuah proyek film layar lebar. Rasanya tak perlu dibocorkan sekarang, kecuali bahwa salah satu pemain utamanya Slamet Rahardjo Djarot. “Kisahnya mengambil setting waktu sekitar tahun 1965.” Sedikit kita bisa menebak, tentu berhubungan dengan drama revolusi di tanah air.
Demikianlah sepercik tentang Leila S. Chudori, yang menganggap tema tidak penting. Ia lebih berpikir tentang cerita yang manusiawi dan membumi. Pendapatnya tak perlu kita uji mengingat karirnya sebagai pengarang telah dimulai sejak remaja. “Leila, kapan membuat film petualangan para tokoh cerita remajamu dulu?”
***
(Kurnia Effendi, kolom JEDA untuk tabloid PARLE)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home