Thursday, December 07, 2006

Ibu

KASIH ibu sepanjang masa, kasih anak kepada ibu sepanjang jalan (Braga). Jalan Braga di Bandung kira-kira 700 meter, tentu lebih panjang darigalah’, sebagai perumpamaan ukuran yang digunakan dalam pepatah populer itu. Benarkah?

Mari ‘sedikitkita buktikan. Ketika ibu mulai sakit-sakitan dan renta, sebagian besar waktu kita terambil untuk merawatnya dan memberi perhatian. Kesibukan kerja kita terganggu oleh jadwal ke laboratorium atau giliran jaga di bangsal rumah sakit. Kesempatan hiburan kita tercuri karena harus turut konsultasi. Ada beban biaya yang harus disisihkan untuk rawat inap, dokter, dan farmasi, juga upaya pengobatan alternatif. Tenaga yang tersedot untuk mobilitas dan kemungkinan begadang, turut menyumbang olengnya langkah kita pada jam-jam kerja. Lalu diam-diam, dalam doa yang tulus itu, kita mengharap: kenapa tidak segera disudahi saja oleh Tuhan? Kita ikhlas kok.

Benarkah kita ikhlas? Ini juga sebuah pertanyaan besar yang perlu dicari jawabnya.

Kita, karena punya isteri atau suami, dengan anak-anak yang menuntut banyak perhatian, mulai berhitung. Akan berapa lama bujet hidup kita terbelah bagi kepentingan ibu? Mengapadengan apologi dan justifikasi tersendiritidak sejak awal diserahkan kepada panti jompo saja?

Ah, ‘untungibu kita itu sudah setengah pikun, sehingga tidak terlalu mengingat segala yang pernah dilakukan beliau untuk kita. Andaikata, sambil memijit kakinya dengan setengah hati, ibu ingin mengenang masa lalu, adakah kita masih mampunangis Bombay’? Misalnya ibu mencoba menghitung air susu yang terperah setiap waktu di saat kita haus dan terjaga tengah malam. Misalkan ibu teringat demam kita yang membuatnya cemas bukan main, dan tak peduli hujan berguntur, ingin memanggil tetangga yang kebetulan seorang mantra kesehatan. Misalkan ibu menceritakankelucuan-kelucuansaat kita menimbulkan masalah di pelbagai tempat dan mengharap orang lain memaklumi. Misalkan, astaga, ibu meminta jaminan atas pertaruhan nyawanya saat melahirkan kitaDan banyak hal saat kita belum sepenuhnya sadar. Tidak usahlah sampai kita selesai Sekolah Dasar.

Jadi, benarkah kita ikhlas karena berharap agar ibu tidak terlampau lama menderita? Atau (lebih kepada:) agar kita segera terbebas dari persoalan-persoalan yang membebani itu? Saat berpikir demikian, mari memandang mata bening anak-anak kita. Adakah dalam kilau cerlang manik matanya tersembunyi rencana menelantarkan kita? Adakah dalam tawa kanak-kanak mereka ada semacam muslihat yang akan dipresentasikan saat kita tua: “Ayah dan Ibu, agar tidak saling terganggu, ada baiknya ibu tinggal di Panti Wreda, sehingga mendapat teman-teman sebaya yang menyenangkan…”

 

RASULULLAH pernah menjawabIbu,” sampai 3 kali ketika ditanya para sahabat tentang orang yang wajib kita hormati, sebelum “Ayah.” Kita tak boleh sekalipun mengatakanuf!” saat diminta tolong oleh ibu. (Terbayang bagaimana ribuan khilaf terhambur setiap saat pada remaja kita yang sudah tenggelam dalam bahasa gaul, dan atas nama demokrasi begitu santai menantang keinginan orang tua).

Padahal Nagabonar, sebagai pemuda Batak denganprofesipencopet di masa kemerdekaan, yang disegani oleh semua orang, baik teman maupun musuh, ternyata takluk pada panggilan ibunya. Sesibuk apa pun. Memang tampak wajah keruhnya, tapi dengan penuh kasih bersedia menggendong ibunya dalam perjalanan.

Di zaman Nabi Muhammad, dikisahkan seorang hamba Allah yang meregang nyawa dalam penderitaan luar biasa, tak kunjung sampai pada ajal. Ternyata karena ia masih punya ibu yang belum memaafkan kesalahannya. Dalam sebuah legenda Minang, Malin Kundang terkutuk sebagai batu lantaran mengingkari ibunya sendiri.

Ibu, mungkin ibarat wakil Tuhan di bumi. Dan yang kita ketahui adalah fakta, bahwa tak ada seorang pun presiden di penjuru dunia, dari zaman ke zaman, yang lahir dari celah batu atau pipa aluminium. Semua dari perut sang ibu, dengan cara alami atau Caesar. Tapi tentu tidak termasuk ibu yang memutar leher bayinya begitu selesai melahirkan lalu menghanyutkannya di sungai. Tentu bukan termasuk ibu yang meninggalkan orok segar dari rahimnya di bak sampah atau emper sebuah rumah.

Untuk sejumlah ibu yang tak memiliki hatinurani ibu, bagaimana sang anak akan membalas dengan pengabdian? Tentu ada sejarah panjang pada masing-masing hidup manusia yang membuat nasibnya menyimpang dari harapan insani. Mudah-mudahan itu hanya semacam anomali, sesuatu yang tak lazim, dan menjadi noktah bagi bentangan nilai moral yang menjadi fitrah manusia.

Film Ibunda, debutan Teguh Karya lebih selusin tahun lalu, menempatkan seorang ibu sebagai tokoh sentral. Jumlah anaknya yang banyak dan memiliki aneka tabiat, justru menunjukkan ketegaran sebagai ibu, dengan ruang makan sebagai pusat komunikasi antar-anggota keluarga.

 

SEBENTAR lagi tiba Hari Ibu, 22 Desember 2006, apa yang akan kita berikan kepada beliau? Pertanyaan ini pasti akan membangkitkan rasa sedih bagi para piatu: teman-teman yang tak lagi memiliki ibu. Apalagi bagi alumni panti asuhan, yang akan menukar perasaan cintanya kepada ibu asuh mereka. Tak mengapa, saya kira. Ibu bisa memiliki pengertian yang sangat luas. Bagi para perantau, ibu kost dan ibu asrama bisa mewakili menerima bingkisan itu. Bagi yang cinta terhadap negara dan tanah air, ahai, ada Ibu Pertiwi!

Mari kita tengok halaman, siapa tahu ada serumpun mawar yang patut kita letakkan di kamar ibu. Bagi yang menemukan sekumpulan foto keluarga masa lalu, kompilasi kembali dalam sebuah album baru. Singgahlah ke toko kaset, mungkin ada lagu-lagu kegemaran ibu. Dan biarkan pada hari itu, Jumat yang kudus dan syahdu, ibu tidak memasak untuk kita, giliran kita yang masak aneka hidangan untuk ibu.

Tentu tak semua ibu kita telah demikian renta. Bagi yang masih memenuhi syarat, kita dapat memberikan perhatian yang lebih bermakna, namun memerlukan investasi: jaminan asuransi untuk kesehatan beliau. Ibu tidak akan terasing di tengah-tengah sebuah panti, namun tetap berada dalam kasih sayang kita. Sementara beban biaya telah dialih-pundakkan kepada pihak asuransi.

Tapi ingat, cinta kita kepada ibu, bukan sebagai cinta Sangkuriang terhadap Dayang Sumbi

 

***

 

(Kurnia Effendi, untuk kolom REHAT majalah PROTEKSI edisi Desember 2006)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home