Membongkar Ihwal di Kepala Akmal
KARENA Akmal Nasery Basral seorang wartawan, boleh jadi, cerpen-cerpennya berangkat dari pelbagai bongkahan pengalamannya sebagai pengunduh berita. Selintas kita akan ingat beberapa nama yang lebih dulu melakukan cara demikian: menulis fiksi dengan acuan fakta. Misalnya, Sori Siregar, Seno Gumira Ajidarma, Sirikit Syah, dan Putu Fajar Arcana. Meski demikian, ada banyak pula jurnalis yang tidak menempuh cara itu, misalnya Triyanto Triwikromo, Oka Rusmini, Ahmadun Yosi Herfanda. Tentu tidak ada yang salah bagi kedua kelompok itu. Sepanjang fiksi itu hidup, gemerlapan oleh pergulatan batin yang melibatkan emosi pembaca.
Dan sejak awal, saya sangat menyukai cerpen “Kelambu”, (atau saya katakan sebagai cerpen favorit?) yang, setelah saya cermati, justru nyaris tidak menunjukkan Akmal sebagai jurnalis. Tetapi, bukan berarti saya mengabaikan cerpen-cerpen Akmal yang lain. Justru saya, diam-diam, agak minder begitu membaca serbuk pengetahuan yang tertabur bak gemintang. Oleh karena itu, sebagai ‘kompetitor’ saya memilih cara aman dengan – seperti nasehat Seno Gumira – meletakkan diri lebih rendah di hadapan sebuah karya.
Mari kita surut ke belakang, tepatnya pada proses terbentuknya kumpulan cerpen “Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku”. Akmal mengaku ada semacam pemantik yang membuat dirinya melaju dengan tulisan demi tulisan, yakni ketika menemani Nelden (sepupunya) bertemu dengan Pak Budi Darma dalam rangka minta pengantar kumpulan cerpennya. Ini hal biasa, rasanya, bagi hampir setiap pengarang.
Targetkah itu bagi Akmal? Sedang berlomba dengan siapa? Kita mungkin perlu mendengar jawabannya langsung dari sang pengarang. Tetapi kita tahu, sesempurna apa pun hal yang dibuat dengan lekas dan rikat, akan menyisakan beberapa kekurangan. Mula-mula tentu saya temukan beberapa susunan kalimat yang bukan salah cetak, tetapi mungkin luput dari suntingan. Mudah-mudahan, dengan lolosnya hal seperti itu, tidak mengurangi kenikmatan membaca cerita-cerita yang berpijak pada latar fakta.
Pernah suatu hari di masa lalu, saya berbincang santai dengan Sitok Srengenge, perihal nama-nama yang saat kita pinjam sebagai tokoh cerita tak serta-merta menjadi fiksi. Misalkan kita sebut Goenawan Mohamad, pasti agak susah untuk diberi peran sebagai tukang kebun. Meskipun mungkin benar ada, tentu pembaca tak dapat melepaskan diri dari citra yang dikenal secara umum, sebagai tokoh publik. Oleh karena itu nama Johan dan Khaleeda dalam cerpen “Dilarang Bercanda dengan Kenangan” merupakan nama rekaan (atau samaran) yang menyusup ke dalam peristiwa nyata (prosesi pemakaman Lady Diana).
Kembali kepada keheranan sang pengarang terhadap mengalirnya gagasan yang kini menjadi teks (cerpen), sebetulnya, pada akhirnya, dapat kita mengerti masalahnya. Waktu dan kesempatan, yang seolah terkunci pada keran kesibukan tugas formal, telah menyumbat aliran itu selama ini. Sesungguhnya, seperti juga para jurnalis atau mantan jurnalis lain (saya sebut saja
Dengan kata lain, seorang jurnalis tak perlu heran ketika mampu menulis cerpen dengan baik, karena pada dasarnya sudah memiliki modal keterampilan mengkomunikasikan peristiwa yang disaksikannya kepada pembaca. Namun kenyataannya, tak banyak jurnalis yang mengambil kesempatan itu.
Pilihan Akmal untuk menulis fiksi selain menulis berita (investigasi) adalah bentuk aktualisasi diri yang patut dihargai. Sebagai teman, sekaligus saingan (dalam kompetisi anugerah sastra, misalnya), ada kewajiban untuk melakukan friendly speaking. Semangat Akmal dalam menggunakan metafor (yang menurutnya bukan satu-satunya cara menyampaikan pesan atau gagasan), kadang-kadang justru mengganggu kenikmatan penghayatan, mungkin karena ada yang hiperbolistik. Contoh saja: Fiona mengerti jika namanya dipanggil lengkap, berarti Danan sedang mendaki lereng kejengkelan yang lebih terjal dibandingkan gunung berapi manapun (cerpen “Fiona Benci dengan Paul Anka”). Atau: Lidah-lidah ombak seperti terus menjaga Mulhid sampai sebatas pinggang, bak selimut hidup yang terus bergerak… Angin mati… (cerpen “Lelaki yang Berumah di Tepi Pantai”). Atau: Aku memberi isyarat kepada para wartawan seperti mengayun tongkat Musa untuk membelah lautan… (cerpen “Dilarang Bercanda dengan Kenangan”).
Sementara itu, ada yang juga mengganggu, walaupun isinya tak keliru. Misalnya: Bukankah Rasul Muhammad mengajarkan agar Lebaran disemarakkan dengan zakat dan takbiran? (cerpen “Lebaran Penghabisan”). Atau: Tapi di manakah akar korupsi sebenarnya. Adakah ia sesederhana akar rumput… dst (cerpen: “Fiona Benci dengan Paul Anka”). Dalam cerpen “Seekor Hiu di Cangkir Kopi”, sang pengarang tampil dominan sebagai dirinya sendiri, sehingga
Tampilnya aksen yang menghiasi sejumlah halaman pada buku kumpulan cerpen ini, mengingatkan saya pada permainan tipografi yang dilakukan oleh Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin dalam novel mereka Tuan dan Nona Kosong. Meskipun pada buku Akmal ada maksud yang lebih jelas, mungkin, sebagai dramatisasi kisah yang nyaris jadi kenes. Apakah dengan demikian pembaca akan lebih terbenam dalam penghayatan (semacam ilustrasi musik pada film)?
Namun seperti kata Budi Darma dalam pengantar buku ini, Akmal telah mengambil pilihan. Soal pop yang lebih bermakna tidak substansial, biarlah dibahas oleh pakar sastra. Saya sependapat dengan Nirwan Dewanto, bahwa harmoni sebuah cerpen (atau karya sastra pada umumnya) adalah keserasian antara bentuk dan isi. Sementara kekuatan sebuah cerpen, justru pada ironi yang ditimbulkannya. Joko Pinurbo, sebagai seorang penyair, pernah mengatakan: “Tulislah apa saja yang hendak kautulis, dan berikan kejutan pada kahir.” Rasanya, tanpa harus mengurai satu per satu, Akmal mampu melakukan itu. Hampir seluruh cerpennya mengandung unsur kejutan dan ironi. Tokoh-tokohnya, sebagaimana kenyataan manusia, adalah tubuh dan perasaan yang digayuti persoalan psikologis. Dan kembali, saya jatuh cinta pada cerpen “Kelambu”.
Ada sedikit kesan hiperealis, misalnya pada cerpen pembuka yang sekaligus menjadi judul buku, “Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku”, “Prolog Kematian” dan “Perkabungan Hujan”. Ini mengingatkan beberapa film Garin Nugroho yang terkadang ingin menampilkan peristiwa sebagaimana peristiwa itu terjadi: golok yang menebas leher kuda (
Baiklah. Upaya saya membongkar ihwal di kepala Akmal tentu baru sebagian saja dari yang masih tersembunyi. Namun sebagaimana sebuah karya seni, yang acap mengandung multi tafsir, dan kadang-kadang bebas nilai, biarlah waktu dan publik yang mengujinya. Pertanyaan akhir bagi kumpulan cerpen Akmal, yang mungkin akan menjadi pemicu kehangatan diskusi pada sore ini, adalah: “Apa yang tercerap sebagai kesan bagi kita setelah membaca seluruh cerpen Akmal?”
(Ditulis sebagai pengantar diskusi buku “Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku” karya Akmal Nasery Basral, penerbit Ufuk Jakarta, 2006, dalam rangka Festival Potluck Bandung, 2 Desember 2006.)
Jakarta, 2 Desember 2006, pukul 02:27
2 Comments:
kef,
thanks ya.
salam,
akmal
zzzzz2018.8.29
ralph lauren uk
converse shoes
longchamp handbags
ugg boots clearance
jordan shoes
pandora charms outlet
canada goose jackets
yeezy shoes
coach factory outlet
prada outlet
Post a Comment
<< Home