Tuesday, December 12, 2006

Membongkar Ihwal di Kepala Akmal

KARENA Akmal Nasery Basral seorang wartawan, boleh jadi, cerpen-cerpennya berangkat dari pelbagai bongkahan pengalamannya sebagai pengunduh berita. Selintas kita akan ingat beberapa nama yang lebih dulu melakukan cara demikian: menulis fiksi dengan acuan fakta. Misalnya, Sori Siregar, Seno Gumira Ajidarma, Sirikit Syah, dan Putu Fajar Arcana. Meski demikian, ada banyak pula jurnalis yang tidak menempuh cara itu, misalnya Triyanto Triwikromo, Oka Rusmini, Ahmadun Yosi Herfanda. Tentu tidak ada yang salah bagi kedua kelompok itu. Sepanjang fiksi itu hidup, gemerlapan oleh pergulatan batin yang melibatkan emosi pembaca.

Dan sejak awal, saya sangat menyukai cerpen “Kelambu”, (atau saya katakan sebagai cerpen favorit?) yang, setelah saya cermati, justru nyaris tidak menunjukkan Akmal sebagai jurnalis. Tetapi, bukan berarti saya mengabaikan cerpen-cerpen Akmal yang lain. Justru saya, diam-diam, agak minder begitu membaca serbuk pengetahuan yang tertabur bak gemintang. Oleh karena itu, sebagai ‘kompetitor’ saya memilih cara aman dengan – seperti nasehat Seno Gumira – meletakkan diri lebih rendah di hadapan sebuah karya.

Mari kita surut ke belakang, tepatnya pada proses terbentuknya kumpulan cerpen “Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku”. Akmal mengaku ada semacam pemantik yang membuat dirinya melaju dengan tulisan demi tulisan, yakni ketika menemani Nelden (sepupunya) bertemu dengan Pak Budi Darma dalam rangka minta pengantar kumpulan cerpennya. Ini hal biasa, rasanya, bagi hampir setiap pengarang. Ada bagian syaraf-syaraf yang terbakar, yang membentuk motif, untuk segera berangkat lebih cepat ketimbang sebelumnya, saat belum ada yang ‘mengejar’nya. Tapi hal ini boleh dijadikan pertanyaan mendasar: mengapa Akmal perlu buru-buru menyelesaikan sebuah buku? Sehingga malam-malam berikutnya ia merasa gelisah, menyadari cerpennya baru satu-dua diumumkan di media massa. Lantas dengan cara yang tak terpahami oleh dirinya sendiri (saya jadi ingat bagaimana Budi Darma melahirkan Olenka atau Andrea Hirata menyelesaikan Laskar Pelangi), ia ‘menyaksikan’ pikiran dan tangannya bekerja, dan sejumlah cerpen lahir seperti mitraliur. Hingga genap dan patut untuk sebuah buku.

Targetkah itu bagi Akmal? Sedang berlomba dengan siapa? Kita mungkin perlu mendengar jawabannya langsung dari sang pengarang. Tetapi kita tahu, sesempurna apa pun hal yang dibuat dengan lekas dan rikat, akan menyisakan beberapa kekurangan. Mula-mula tentu saya temukan beberapa susunan kalimat yang bukan salah cetak, tetapi mungkin luput dari suntingan. Mudah-mudahan, dengan lolosnya hal seperti itu, tidak mengurangi kenikmatan membaca cerita-cerita yang berpijak pada latar fakta.

Pernah suatu hari di masa lalu, saya berbincang santai dengan Sitok Srengenge, perihal nama-nama yang saat kita pinjam sebagai tokoh cerita tak serta-merta menjadi fiksi. Misalkan kita sebut Goenawan Mohamad, pasti agak susah untuk diberi peran sebagai tukang kebun. Meskipun mungkin benar ada, tentu pembaca tak dapat melepaskan diri dari citra yang dikenal secara umum, sebagai tokoh publik. Oleh karena itu nama Johan dan Khaleeda dalam cerpen “Dilarang Bercanda dengan Kenangan” merupakan nama rekaan (atau samaran) yang menyusup ke dalam peristiwa nyata (prosesi pemakaman Lady Diana). Ada sejumlah besar manusia dalam peristiwa itu, membuat pengarang lebih leluasa memasang tokoh, dan pengalaman (dirinya atau orang lain) yang pernah menjadi kenyataan sebagai bagian otentik yang membuat cerita ini berhak hadir. Berbeda misalnya bila kita menceritakan tentang Perjanjian Linggarjati. Keduanya sama-sama mengandung unsur sejarah, namun peristiwa yang terakhir terdokumentasi secara lebih spesifik, sehingga tidak mungkin mengubah nama-nama peserta.

Kembali kepada keheranan sang pengarang terhadap mengalirnya gagasan yang kini menjadi teks (cerpen), sebetulnya, pada akhirnya, dapat kita mengerti masalahnya. Waktu dan kesempatan, yang seolah terkunci pada keran kesibukan tugas formal, telah menyumbat aliran itu selama ini. Sesungguhnya, seperti juga para jurnalis atau mantan jurnalis lain (saya sebut saja Arya Gunawan), memiliki timbunan gagasan yang merupakan frementasi seluruh peristiwa yang dialami hari demi hari melalui profesinya. Itu adalah sebuah deposit besar yang sewaktu-waktu dicairkan oleh sebuah kebutuhan. Kebutuhan dapat berasal dari diri sendiri atau justru dipicu oleh orang lain. Akan halnya Akmal, saya kira, pengaruh orang lain sebagai pemantik cukup besar. Ketika melihat orang lain hendak menerbitkan buku, ketika melihat kawan-kawannya begitu produktif, ketika menyadari lingkungan pada milis membuat gesekan-gesekan yang mengakibatkan semangatnya terbakar. Dan tentu oleh sebab-sebab lain yang bersifat spiritual.

Dengan kata lain, seorang jurnalis tak perlu heran ketika mampu menulis cerpen dengan baik, karena pada dasarnya sudah memiliki modal keterampilan mengkomunikasikan peristiwa yang disaksikannya kepada pembaca. Namun kenyataannya, tak banyak jurnalis yang mengambil kesempatan itu.

Pilihan Akmal untuk menulis fiksi selain menulis berita (investigasi) adalah bentuk aktualisasi diri yang patut dihargai. Sebagai teman, sekaligus saingan (dalam kompetisi anugerah sastra, misalnya), ada kewajiban untuk melakukan friendly speaking. Semangat Akmal dalam menggunakan metafor (yang menurutnya bukan satu-satunya cara menyampaikan pesan atau gagasan), kadang-kadang justru mengganggu kenikmatan penghayatan, mungkin karena ada yang hiperbolistik. Contoh saja: Fiona mengerti jika namanya dipanggil lengkap, berarti Danan sedang mendaki lereng kejengkelan yang lebih terjal dibandingkan gunung berapi manapun (cerpen “Fiona Benci dengan Paul Anka”). Atau: Lidah-lidah ombak seperti terus menjaga Mulhid sampai sebatas pinggang, bak selimut hidup yang terus bergerak… Angin mati… (cerpen “Lelaki yang Berumah di Tepi Pantai”). Atau: Aku memberi isyarat kepada para wartawan seperti mengayun tongkat Musa untuk membelah lautan… (cerpen “Dilarang Bercanda dengan Kenangan”).

Sementara itu, ada yang juga mengganggu, walaupun isinya tak keliru. Misalnya: Bukankah Rasul Muhammad mengajarkan agar Lebaran disemarakkan dengan zakat dan takbiran? (cerpen “Lebaran Penghabisan”). Atau: Tapi di manakah akar korupsi sebenarnya. Adakah ia sesederhana akar rumput… dst (cerpen: “Fiona Benci dengan Paul Anka”). Dalam cerpen “Seekor Hiu di Cangkir Kopi”, sang pengarang tampil dominan sebagai dirinya sendiri, sehingga surat Aldebaran dan Hyacinth, seperti ditulis oleh satu orang. Memang, disadari atau tidak, seorang pengarang, termasuk saya, sering terjebak pada hal-hal seperti ini.

Tampilnya aksen yang menghiasi sejumlah halaman pada buku kumpulan cerpen ini, mengingatkan saya pada permainan tipografi yang dilakukan oleh Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin dalam novel mereka Tuan dan Nona Kosong. Meskipun pada buku Akmal ada maksud yang lebih jelas, mungkin, sebagai dramatisasi kisah yang nyaris jadi kenes. Apakah dengan demikian pembaca akan lebih terbenam dalam penghayatan (semacam ilustrasi musik pada film)?

Namun seperti kata Budi Darma dalam pengantar buku ini, Akmal telah mengambil pilihan. Soal pop yang lebih bermakna tidak substansial, biarlah dibahas oleh pakar sastra. Saya sependapat dengan Nirwan Dewanto, bahwa harmoni sebuah cerpen (atau karya sastra pada umumnya) adalah keserasian antara bentuk dan isi. Sementara kekuatan sebuah cerpen, justru pada ironi yang ditimbulkannya. Joko Pinurbo, sebagai seorang penyair, pernah mengatakan: “Tulislah apa saja yang hendak kautulis, dan berikan kejutan pada kahir.” Rasanya, tanpa harus mengurai satu per satu, Akmal mampu melakukan itu. Hampir seluruh cerpennya mengandung unsur kejutan dan ironi. Tokoh-tokohnya, sebagaimana kenyataan manusia, adalah tubuh dan perasaan yang digayuti persoalan psikologis. Dan kembali, saya jatuh cinta pada cerpen “Kelambu”.

Ada sedikit kesan hiperealis, misalnya pada cerpen pembuka yang sekaligus menjadi judul buku, “Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku”, “Prolog Kematian” dan “Perkabungan Hujan”. Ini mengingatkan beberapa film Garin Nugroho yang terkadang ingin menampilkan peristiwa sebagaimana peristiwa itu terjadi: golok yang menebas leher kuda (Surat untuk Bidadari), perempuan yang menjahit jemarinya sendiri (Bulan Tertusuk Ilalang), atau pelbagai kejadian yang menghiasi film Daun di Atas Bantal.

Baiklah. Upaya saya membongkar ihwal di kepala Akmal tentu baru sebagian saja dari yang masih tersembunyi. Namun sebagaimana sebuah karya seni, yang acap mengandung multi tafsir, dan kadang-kadang bebas nilai, biarlah waktu dan publik yang mengujinya. Pertanyaan akhir bagi kumpulan cerpen Akmal, yang mungkin akan menjadi pemicu kehangatan diskusi pada sore ini, adalah: “Apa yang tercerap sebagai kesan bagi kita setelah membaca seluruh cerpen Akmal?”

 

(Ditulis sebagai pengantar diskusi buku “Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku” karya Akmal Nasery Basral, penerbit Ufuk Jakarta, 2006, dalam rangka Festival Potluck Bandung, 2 Desember 2006.)

Jakarta, 2 Desember 2006, pukul 02:27