Kemilau Senja
HAMPARAN perdu edelweiss tampak di depannya. Susan menutup semua rasa kecewanya dengan menghampiri kelompok bunga-bunga putih itu. Menciumnya. Kemudian mencoba memetiknya serumpun. Namun tiba-tiba sebuah suara menghentikan perbuatannya.
“Tidak perlu kaupetik, Santi! Biarkan dia tumbuh di sini!”
Susan menoleh. Matanya mendadak garang sewaktu dilihatnya siapa yang bicara.
“Namaku Susan!” katanya sengit.
“Oya, maaf.” Ika tersenyum manis. Tapi Susan sebal setengah mati. “Kuberitahu padamu, edelweiss tempatnya di gunung!”
Aku ingin membunuhmu suatu ketika, pikir Susan jengkel.
Mungkin sudah senja ketika di luar tenda terdengar suara-suara ceria yang membuatnya iri. Tapi ia merasa patah semangat. Tiba-tiba di pintu tenda muncul Ika. Ia masuk begitu saja dan berjongkok di depan Susan. Bibirnya yang bagus tersenyum.
“Hai, kamu tidak melihat upacara pelantikan tadi?” Ika mengulurkan sesuatu dalam genggaman tangannya. “Aku bawa kurma, makanlah!”
Susan tidak bereaksi. Matanya dipenuhi kedengkian. Apa maunya gadis ini?
“Ayolah!” Tangan kanan Ika mau menyuapkan sebutir ke mulut Susan. Secepat kilat Susan menangkap pergelangannya. Matanya membelalak marah.
“Aku tahu Hb-mu rendah. Sebenarnya tak ada ijin naik gunung untukmu.” Nada suara Ika tetap rendah. “Makanlah!”
“Apa perdulimu?!” Susan menyentakkan tangan Ika. Kurma di tangannya berhamburan. Si rambut panjang itu mundur. Ia tersenyum lewat mata indahnya.
“Atau sebaiknya kupanggil Lukas?”
“Apa pula urusan Lukas terhadapku?” Parasnya memucat. Ia membayangkan wajah Lukas kehilangan senyum. Sama angkernya dengan wajah-wajah senior Skygers.
“Bukankah kamu ikut kemari karena Lukas?” suara Ika bertambah lembut. Tapi terdengar menyakitkan bagi telinga Susan. “Dia ingin kamu keluar dari tenda dengan wajah yang sehat. Lihatlah, langit senja begitu indah.”
“Kuminta kamu pergi dari sini, Ika! Sebelum aku berubah pikiran!” kata Susan kasar. Ia begitu benci pada gadis yang telah memorak-porandakan impiannya itu. Dan kini sedang mengejeknya habis-habisan.
Sejenak nampak bibir Ika mengeras, kemudian meninggalkan tenda tanpa berkata sepatah pun. Kini Susan sendirian. Saat-saat seperti ini, ia membutuhkan orang-orang terdekat untuk diajak bicara. Dicobanya menggigit sebutir kurma. Ah, ya! Mau apa di sini, kalau tidak melihat kecantikan panorama Mandalawangi?
Segera Susan merapatkan jaketnya. Ia keluar dari tenda. Namun segera terhenti di pintu. Ada bayang-bayang tubuh yang condong ke wajahnya. Lukas!
“Kamu bertengkar dengan adikku, San?” Bibir bagus itu menyapa.
“Aku…” Susan tergagap. Perasaan aneh berkisaran di hatinya. Adikku? Seketika ingin dicarinya bayangan rambut panjang di antara manusia-manusia berjaket yang berdiri selebar latar langit berwarna jingga.
(Dipetik dari cerita Kemilau Senja, Kurnia Effendi)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home