Wednesday, February 07, 2007

Sepanjang Braga

            KUUSAP air mata tanpa khawatir menarik perhatian. Udara basah sepanjang Braga mengirim Dust in The Wind Braga Stone ke telingaku. Aku menghadap hamburan kemilau neon toko Concurrent. Lalu aku masuk denganmungkinmata yang sembab. Di toko inilah, pada malam terakhir, engkau menghabiskan waktu. Semata-mata untuk mengamati sebuah bros kecil yang begitu indah. Dan saat itu engkau mencoba berahasia dengan keinginan yang meletup-letup. Kau seolah mau ingkar dari jam-jam di hadapan kanvas yang menunggu tarian tanganmu. Engkau sedang terpesona oleh karya seni lain, tapi alangkah mahal. Ke Bandung pun engkau harus membongkar seluruh tabunganmu. Diam-diam aku menatap, menyaksikan perjuangan melawan naluri. Aku berjanji dalam hati: “Akan kubeli suvenir itu untukmu!”

            Kado itu kuambil dari saku jaket. Tahukah kau? Yang kulakukan ini bukan jawaban dari ribuan pertanyaann tentang: bagaimana mencintaimu, menghormatimu, dan merelakan kepulanganmu ke rumah kekal.

            “Maaf,” Aku mendekati seseorang yang segera mengenaliku. “Apakah Bapak ingat pada seorang gadis berwajah tirus, berambut lurus, waktu itu mengenakan jaket biru, di tangannya ada...”

            Barangkali kamu heran karena aku begitu sabar menuntun ingatannya memilah-milah ratusan pembeli untuk menemukan sosokmu di antara kenangan sebulan. Sampai kusobek kertas kado untuk menunjukkan bros yang pernah kamu genggam berkali-kali tapi tak terbeli.

            “O...ya, saya ingat...” Orang itu tersenyum akhirnya.

            “Kemarin dia meninggal dunia. Beritanya saya terima tadi pagi.”

            Meninggal?” Senyumnya sirna. “Dan ini...”

            Kuceritakan kepadanya bahwa seluruh honor noveletku telah kutukar bros ini. Mau kukirim pada ulang tahunmu keduapuluhsatu, minggu depan. Karena aku cinta padamu, cinta padamu.

            Saya turut berduka cita,” ujarnya perlahan.

            ‘Ya, ya, terimakasih.” Mataku berkaca lagi. Dari pertarungan batin, akhirnya kutemukan kata-kata yang segera kuucapkan. Saya hendak menjual bros ini kembali.”

            Dijual?”

            Dia tinggal di Ujungpandang. Saya tak punya cara lain untuk mencium terakhir kali pipinya, bahkan seandainya sudah berupa nisan. Saya cinta padanya. Saya harus ke sana. Saya ingin melihat Braga. Saya ingin menghirup nafas Braga di kamarnya. Dia seorang pelukis, dia...” Aku mirip seorang putus asa yang senewen dan nyaris pingsan. Kulihat matanya sangsi. Mungkin dia mengira aku tengah bermain drama.

            Lama sekali ia mengamati kotak di tanganku, sebelum akhirnya. “Coba saya lihat lagi.”

            Kalimat itu seperti embun, harapan yang mungkin raib. Namun setidaknya sedang kususun sebait requiem, sebelum benar-benar lenyap cahaya terakhir matahari. Aku cinta padamu, cinta padamu, lebih dari sepanjang Braga...

(Dipetik dari cerita Sepanjang Braga, 1988, Kurnia Effendi)