Sepanjang Braga
KUUSAP air mata tanpa khawatir menarik perhatian. Udara basah sepanjang
Kado itu kuambil dari saku jaket. Tahukah kau? Yang kulakukan ini bukan jawaban dari ribuan pertanyaann tentang: bagaimana mencintaimu, menghormatimu, dan merelakan kepulanganmu ke rumah kekal.
“Maaf,” Aku mendekati seseorang yang segera mengenaliku. “Apakah Bapak ingat pada seorang gadis berwajah tirus, berambut lurus, waktu itu mengenakan jaket biru, di tangannya ada...”
Barangkali kamu heran karena aku begitu sabar menuntun ingatannya memilah-milah ratusan pembeli untuk menemukan sosokmu di antara kenangan sebulan. Sampai kusobek kertas kado untuk menunjukkan bros yang pernah kamu genggam berkali-kali tapi tak terbeli.
“O...ya, saya ingat...” Orang itu tersenyum akhirnya.
“Kemarin dia meninggal dunia. Beritanya saya terima tadi pagi.”
“Meninggal?” Senyumnya sirna. “Dan ini...”
Kuceritakan kepadanya bahwa seluruh honor noveletku telah kutukar bros ini. Mau kukirim pada ulang tahunmu keduapuluhsatu, minggu depan. Karena aku cinta padamu, cinta padamu.
“Saya turut berduka cita,” ujarnya perlahan.
‘Ya, ya, terimakasih.” Mataku berkaca lagi. Dari pertarungan batin, akhirnya kutemukan kata-kata yang segera kuucapkan. “Saya hendak menjual bros ini kembali.”
“Dijual?”
“Dia tinggal di Ujungpandang. Saya tak punya cara lain untuk mencium terakhir kali pipinya, bahkan seandainya sudah berupa nisan. Saya cinta padanya. Saya harus ke
Lama sekali ia mengamati kotak di tanganku, sebelum akhirnya. “Coba saya lihat lagi.”
Kalimat itu seperti embun, harapan yang mungkin raib. Namun setidaknya sedang kususun sebait requiem, sebelum benar-benar lenyap cahaya terakhir matahari. Aku cinta padamu, cinta padamu, lebih dari sepanjang Braga...
(Dipetik dari cerita Sepanjang Braga, 1988, Kurnia Effendi)
1 Comments:
zzzzz2018.8.29
coach outlet
fitflops
ferragamo outlet
christian louboutin shoes
canada goose outlet
coach factory outlet
ultra boost
ugg boots on sale 70% off
pandora charms
pandora jewelry
Post a Comment
<< Home