Thursday, March 29, 2007

Kutilang dan Gelatik

Di pucuk pohon cempaka

Burung kutilang berbunyi

Bersiul-siul sepanjang hari

Dengan tak jemu-jemu

…..

KUTILANG termasuk burung yang sudah tenar sejak awal abad 20. Sudah menjadi piaraan banyak orang di sekitar Priangan. Mulanya tentu burung yang bebas bergerak di hutan-hutan atau pekarangan yang memiliki banyak pepohonan. Oleh sebab kicaunya yang memukau, warna bulunya yang cukup indah, banyaklah dijerat oleh manusia dan menjadi penghias beranda rumah. Dengan pengetahuan kita tentang makanannya, burung itu “akhirnya” mau menjadi penghibur mata dan pendengaran kita di kala sedang merasa tak nyaman oleh persoalan. Menurut penggemar burung, dengan menatap tingkah burung dan mendengar kicau mereka yang riang, ada semacam terapi untuk kembali menyeimbangkan suasana batin.

Kutilang bukan burung yang besar, sekitar segenggaman kita, tapi juga bukan burung kecil semacam pipit. Kutilang memiliki kepala hitam, punggung agak keputihan, sepasang sayapnya juga berwarna hitam. Di bawah ekornya, kita mesti melihatnya ketika dia hinggap pada posisi di atas kepala kita, ada warna kuning yang menjadi aksen. Kalau kita menemukan warna itu, pertanda ia jantan. Karena yang betina tidak memilikinya.

Saat sedang “ngoceh“, berkicau bak berceloteh, bulu kuduk mereka akan berdiri. Sigrak. Bunyinya yang bervariasi itu terkadang sanggup menirukan suara lain yang pernah didengarnya. Bahkan, ketika mereka berkumpul sebagai komunitas, kicauannya ditambah dengan kembangan sayap seperti sedang menari.

Paruh kutilang berwarna hitam legam. Akan sangat kontras sewaktu sedang mematuk pepaya yang merah segar sebagai salah satu makanannya, selain pisang. Bahkan si kutilang bersedia menikmati nasi.

***

GELATIK, burung yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari kutilang, ternyata banyak dipelihara kaum Menak. Jenis ini juga berasal dari tlatah Priangan, mungkinkah bisa berbahasa Sunda? Karena ia kerap menghiasi rumah-rumah kaum bangsawan masa lalu, dengan demikian derajatnya lebih tinggi.

Bulunya lebih halus. Mari kita lihat paruhnya yang berwarna merah jambu, sementara kepala dan badannya diselimuti bulu kelabu. Pada matanya ada selaput berwarna merah. Pada kakinya sering kita temukan cincin (ring) yang menandai muasal silsilahnya, sebagai keturunan dari trah yang baik. Mungkin semacam sertifikasi.

Makanannya terdiri dari biji-bijian: biji sawi, milet (serupa merica tapi berukuran lebih mungil), dan biji gandum. Cara makannya sangat menarik. Bebijian dikupas dengan paruhnya dalam dua atau detik dan terlepas kulitnya sebelum isinya masuk ke tenggorokan. Tentu akan menjadi atraksi yang menakjubkan, padahal tanpa bantuan cakar kakinya.

Kicauannya lebih panjang, istilahnyangeroltak putus-putus. Bahkan sanggup melengking tinggi. Apakah si gelatik ini pandai mencuri napas? Tapi, burung ini tak dapat menirukan bunyi burung lain, ia bertahan dengan karakternya suaranya sendiri.

Lantas bagaimana cara membedakannya antara yang jantan dan betina? Bagi si jantan, ia memiliki bulu kelabu lebih tegas dan mengilap, sementara di bawah paruhnya terdapat warna merah matang. Untuk dapat menikmati nyanyiannya, cara mengupas biji sawi, dan memandangi kehalusan bulunya, terpaksa harus memeliharanya dalam sangkar.

***

TEMAN-teman, kedua jenis burung ini akan menghiasi halaman cerita pada novel tentang Raden Saleh. Entah di bab yang mana, namun setidaknya mereka dipelihara oleh Syamsudin dan sangkarnya tergantung di serambi Biro Anemer Sjamsudin & Rekan.

Salam,

Kurnia Effendi