Monday, August 06, 2007

JANJI

Tak ada rotan akar pun jadi.

Kira-kira, apakah akan ”sepasrah” itu masyarakat Jakarta dalam memilih gubernurnya? Atau hanya akan menilai sama-rata antara kedua calon yang kini baru saja menuruni puncak kampanye mereka? Dengan demikian, siapa pun yang menang tak akan berpengaruh apa pun bagi kehidupan di Jakarta dalam hal sosial, ekonomi, budaya, dan keamanan. Lantas, oleh karena berpendapat seperti itu, pantaskah kita berhimpun diri dalam golput (golongan putih)? Golongan yang tidak memilih siapa pun, dan dari satu sisi boleh saja disebut sah karena: tidak memilih pun merupakan sebuah pilihan. Golongan yang terakhir ini semestinya tak ada hak untuk mengkritik ataupun mengoreksi pihak ”lawan” karena tidak memilih satu di antara dua sikap. Atau justru boleh ”menyerang” keduanya karena merasa menjadi ”juri”?

            Setidaknya, dalam dua pekan lalu mata dan telinga kita banyak mendapatkan hidangan janji dari kedua kontestan calon Gubernur DKI. Mereka suarakan program, keindahan masa depan, perbaikan yang ajaib, cita-cita yang menggapai awan. Pada hawa Jakarta yang panas kedua kontestan mengipas dan membuai pendukungnya. Tarik-menarik, saling mendaki tangga popularitas politik.

            Janji adalah utang. Artinya, siapa berjanji harus membayar janjinya di kemudian hari. Kita yang percaya, ”wajib” menagih janji itu. Saya merinding, membayangkan ribuan janji saya yang tak tertepati. Bukan hanya janji kepada diri sendiri, tetapi juga kepada keluarga, sahabat, relasi, dan Tuhan. Saat berjanji terasa begitu ringan seperti menerbangkan pesawat kertas ke halaman.

            Mungkin kita masih ingat pada guyonan pelawak dari kelompok Warkop formasi pertama, ketika ada Nanu di dalamnya. Ia menceritakan tentang seorang penerjun yang tak terbuka payungnya. Sejak dari puncak ketinggian ia meminta kepada Tuhan agar diselamatkan dan berjanji akan berderma seekor sapi. Semakin rendah jarak antara dirinya dengan tanah, makin turun kualitas janjinya. Perubahan dari sapi menjadi kambing, ayam, dan telur. Ketika akhirnya payung berkembang beberapa meter di atas tanah dan menyelamatkannya, sang penerjun bertolak pinggang memandang langit dan mengatakan: ”Kalau gue gak mau kasih apa-apa, emang lu mau apa?”

            Lawakan itu sangat mengerikan karena memainkan materi Tuhan dengan cara yang tak sopan. Saya miris mendengarnya. Tak lama kemudian, rasanya, Nanu dipanggil Tuhan selagi masih produktif. Mungkin diminta memenuhi janjinya. Kita tak hendak membahas masalah pelawak, tetapi lebih kepada janji yang sebenarnya memberati langkah kita.

            Berulang-kali saya berjanji mengajak anak-anak cari angin di Puncak pada akhir pekan, lalu dengan mudah membatalkannya karena kesibukan ini-itu. Di situ ada dua pihak yang saya rugikan: anak-anak dan diri sendiri. Anak-anak kehilangan hak pesiar bersama orang tuanya, sementara saya masih saja mau diperbudak oleh pekerjaan di hari libur. Ini baru janji, belum sumpah.

            Ikrar kaum muda di tahun 1928 sangat bermakna karena ada cita-cita bersama. Pada masa itu tekanan Belanda membuat berpuluh suku di Nusantara perlu bersatu-padu demi menolak musuh bersama yang menjajahnya beratus tahun. Ada spirit ingin bebas dari penindasan. Ada cahaya nurani untuk meletakkan harkat bangsa pada tempat yang sewajarnya. Maka sekian komunitas pemuda (Jong) yang mengatasnamakan daerah mulai melepas ”baju” regionalnya, dengan kesadaran tinggi berusaha menjadi pribumi yang memiliki kesamaan misi dan visi. Lahirlah Soempah Pemoeda atas tanah air, bangsa, dan bahasa yang sama. Rupanya dengan kekuatan itu, paduan antara raga dan karsa kaum muda Indonesia akhirnya mengerucut sampai pada cita-cita merdeka. Di situlah kekuatan yang berhias niat suci menemukan kelopak keberhasilannya.

            Sementara dalam pilkada yang berlangsung di mana pun, tak ada sepercik jua maksud untuk saling berpadu hati. Dua atau lebih kontestan justru saling berebut pemilih. Atas hasrat itu sering dilaksanakan dengan cara saling menjatuhkan. Walaupun kadang-kadang terasa lucu kalimat propaganda mereka bila dibaca. Mereka saling olok. Misalnya pasangan Fauzi Bowo-Priyanto melontarkan kata-kata dalam spanduk: ”Serahkan Jakarta pada ahlinya!” Pasangan Adang-Dani seolah menjawab dengan tak kalah lugas: ”Ahlinya selalu nomor 1” Mereka mengatakan itu tentu karena mendapat nomor undian 1 sebagai kontestan.

            Pesta demokrasi tentu akan ingar-bingar seperti layaknya festival. Semua itu akan berjalan menyenangkan bila mengikuti aturan main yang disepakati. Misalnya bersetia pada jadwal hari yang berbeda di setiap wilayah. Kendaraan yang berpawai tetap tertib terhadap aturan lalu-lintas. Karena berlangsung di tengah hari kerja, harus tetap menjaga hak orang lain yang sedang menjalankan tugasnya. Namun yang saya dengar melalui radio, justru komentar masyarakat yang menyesalkan sikap arogansi para pendukung kampanye. Apakah ini tidak akan menurunkan citra idola yang sedang dipromosikan?

            Ada banyak cara untuk memamerkan program. Terbuka lebar halaman surat kabar dan layar televisi. Biayanya memang tak sedikit untuk berkampanye dengan cara apa pun, itu sangat disadari oleh kedua kontestan. Oleh sebab itu mereka mencoba bersandar pada para ”sponsor”. Persoalannya, ketika seluruh upaya promosi itu didukung banyak pihak yang berkepentingan, bagaimana cara membalas budinya?

            Tak kehilangan akal orang-orang melancarkan aksi untuk menjatuhkan lawan politik. Black-campaign pun dilancarkan. Karena Adang-Dani didukung satu partai yang dikenal memiliki garis keras dalam agama, ditiupkan kemungkinan hanya menguntungkan Islam. Sementara Foke (Fauzi Bowo) disinyalir menjadi bagian dari lembaga agama tertentu yang berlawanan dengan Islam. Ini sengaja untuk membuat keruh dengan tujuan dapat ditelan mentah-mentah oleh masyarakat yang pendek pikir.

            Saya kira, sebaiknya kita tetap memandang Bumi, untuk tetap menjaga rasionalitas. Jinjit terlalu tinggi bakal membuat kita kehilangan keseimbangan. Antarkontestan harus saling menghormati. Catatlah janji yang ditawarkan kepada masyarakat agar tetap teringat saat berhasil meraih singgasana gubernur. Yang terpenting, kesejahteraan yang pernah menjadi iming-iming kampanye tebarkanlah merata baik kepada pendukungnya maupun bukan pemilihnya. ”Pertempuran” pada akhirnya selesai, seperti aseluruh pesta di dunia, namun tak harus lawannya menjadi tawanan. Pihak yang kalah mesti mengakui secara terhormat dan tiba gilirannya untuk mendukung pemerintahan yang berjalan. Atau jadilah oposisi yang sehat. Ah, ini nasihat basi!

            Lebih baik memandang beberapa foto Ahmadinejad, Presiden Iran, di internet. Sungguh menunjukkan betapa sederhananya cara hidup yang ia jalani. Mampukah kita sedikit saja mengurangi kemewahan? Termasuk dalam mengumbar janji.

(Kurnia Effendi, untuk PARLE)

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home