ZAT harus dirasakan apa adanya
BANYAK orang kesulitan menulis puisi, namun beberapa orang (yang kemu
Itu sebabnya,
Selamat Jalan, Pram
Selamat jalan, buku
Selamat jalan di ibukata, ibunya rindu
Selamat terbang mengarungi ziarah waktu
Maafkan kami yang belum usai membacamu
Atau Hasan Aspahani, penyair dan jurnalis dari Batam, yang demikian sensitif terhadap makna kata. Serangkaian puisinya bahkan mengangkat kata-kata ‘baru’ dalam kamus. Ini salah satu contohnya:
Sajak Kamus Berawalan Huruf L
licak : pada akhirnya, hanya padang lumpur semata kaki,
selapis pasir menajam terasah telapak kita sendiri;
aku tergelincir berkali-kali, dan semakin mengerti
kenapa dulu kaurelakan saja aku pergi. Sendiri.
Mereka yang kesulitan menulis puisi belum tentu tidak menyukai puisi. Mereka adalah pembaca puisi (secara pertunjukan maupun untuk diri sendiri). Banyak penggemar dan penikmat puisi yang tidak da
Oleh karena mencipta atau menggubah puisi bukan hal yang gampang, seni menulis puisi
Dalam kumpulan puisi Teater Zat ini, para penyair adalah anggota teater. Dari biodata yang saya baca, umumnya mereka pernah mementaskan – bahkan menulis naskah – teater. Memang ada hubungan erat antara puisi dan teater, jika sosialisasi puisi ditempuh dengan cara menghampiri penikmatnya melalui pertunjukan (pembacaan puisi, deklamasi). Tetapi jika puisi itu hanya tampil dalam bentuk teks di media cetak, dan pembaca yang menghampirinya, tentu akan sangat berbeda dengan teater yang sama sekali tidak hidup jika hanya berupa teks. Teater mengandung, setidaknya, unsur gerak, blocking, dan disiplin (urutan) waktu.
Pada saat para pemain teater menulis puisi, sepanjang dia bukan bermula sebagai penyair, akan tampak perbedaan. Penggunaan kata pilihan yang bersumber dari (sejumlah) perenungan tidak sama dengan penggunaan kata yang bertujuan untuk mengkomunikasikan pesan melalui ungkapan verbal. Ada teater yang puitis (dari sisi narasi, percakapan, latar visual), namun belum tentu efektif sebagai tujuan pertunjukan. Sebaliknya, puisi yang menitikberatkan pada keindahan pembacaan umumnya lebih mudah dicerna, misalnya karya Hamid Jabbar, Jose Rizal Manua. Hanya beberapa penyair yang sanggup berpijak pada dua genre dengan sama baiknya, antara lain Rendra dan Arifin C Noer.
Jadi seperti apa puisi yang baik? Penda
Setelah itu, tentu teknik. Ini lebih bersifat keterampilan, yang da
Aneka ragam puisi pada kumpulan ini belum menunjukkan ‘sidik jari’ itu. Tapi tidak perlu berkecil hati, karena tidak ada pendakian puncak gunung yang tidak dimulai dengan langkah pertama. Saya tentu tak akan menilai satu per satu puisi, kecuali untuk mengambil contoh. Pengalaman juga memberikan bukti, semakin tinggi ‘jam terbang’ seorang penyair, akan semakin matang pemilihan kosakatanya. Mungkin sebelumnya melalui perjalanan berliku, menemukan pelbagai peristiwa seru, lalu setiap sensasi yang dijumpai ingin diungkapkan, sehingga puisi menjadi berat bukan oleh kualitas yang bernas, namun justru oleh beban kata-kata yang letih oleh ‘tema besar’. Padahal dari urusan cinta saja, sanggup mengalirkan banyak metafor dan rinci perasaan yang tak dikenali saat kita tidak sedang jatuh cinta.
Baiklah, dalam kumpulan puisi ini ada yang mencoba berkarya dengan sajak-sajak pendek. Misalnya Hafid Amrullah. Puisi-puisi pendek, bukanlah puisi-puisi yang mati langkah. Ia justru telah melakukan ‘metamorfosa’ dari sesuatu yang berlebihan dan cerewet menjadi ringkas dan kaya makna. Haiku atau Kwatrin atau Rubaiyyat, adalah contoh-contoh gaya puisi pendek. Kesederhanaan susunan kata namun mewakili perasaan yang mendalam atau peristiwa yang tak terlupakan, akan lebih berharga dibanding puisi bombastis ditulis dengan panjang yang sekadar mengulang dan menguatkan segala yang hendak disampaikan penyair. Sapardi Djoko Damono,
Danau Maninjau
di biru danau Maninjau
tangan Tuhan menabur bintang
yang memijar di mata ikan-ikan
Pemilihan judul juga menentukan bagi sebuah puisi, meskipun tidak sepenting pada prosa. Afrizal Malna, salah satu penyair angkatan 80-an yang fenomenal, sering membuat judul yang tak lazim sebagai kalimat atau frasa. Tetapi itu sangat cocok dengan isi puisi yang diungkapkannya. Misalnya, “Liburan Keluarga dan Pipa-pipa Air” (dari kumpulan puisi Arsitektur Hujan, Afrizal Malna). Dalam kumpulan puisi Teater Zat, ada beberapa judul yang ‘menarik’. “Biar Nanti Dibicarakan Nanti” (Irwan Maulana), dan “Kata yang Jangan” (Atron). Judul yang unik memang menjadi dambaan para penyair. Misalnya Goenawan Mohamad dengan: “Sore Ini Gerimis Telah Jadi Logam”. Mari kita bayangkan sifat logam yang keras, berat, kuat, dingin… bagaimana jika menjadi sifat gerimis? Tentu dingin tajam menusuk melukai begitu dalam… Sementara pernah ada periode ketika judul ditulis demikian panjangnya (seperti satu bait tersendiri), yang pernah dilakukan oleh beberapa penyair Kelompok Poci dan juga Taufik Ismail. Sah saja. Namun yang penting, di samping estetik, sebaiknya judul juga bermakna.
Seperti yang saya sampaikan, bahwa pengalaman akan membuahkan keseimbangan antara ide dan ungkapan, antara ego pribadi dan penghargaan terhadap orang lain (pembaca). Dalam berkarya, seorang penyair yang matang akan mengerti, puisi mana yang pantas dilahirkan. Setidaknya Wa Ode Wulan Ratna telah belajar tentang itu. Jika ada pertanyaan, apakah menulis puisi itu perlu serius? Jawabnya bisa beragam. Bahkan Gus tf yang belum lama ini meluncurkan buku puisi berjudul “Daging Akar” (penerbit Kompas),
Keterikatan antar-bait pada sebuah puisi adalah termasuk yang harus diperhatikan. Bahkan hubungan antar-baris seyogyanya saling memberikan arti yang akan membangun maksud dari seluruh puisi. Saya kutip puisi karya Rahmi Eva berjudul “Di mana?’
apakah semua pisau
tajam?
apakah semua pedang
mematikan?
jika ya
di mana aku berada?
Antara 4 baris (2 pertanyaan) yang pertama, dengan dua baris terakhir tidak saya lihat hubungan yang mutlak. Dengan demikian, puisi ini susah diambil maknanya. Siapakah ‘aku’? Apakah ‘aku’ adalah penggenggam (fisikal) kedua alat itu? Atau ‘aku’ adalah sebuah wakil dari luka, darah, rasa sakit, atau…?
Dan di bawah ini saya kutip bait pertama puisi karya Agung Kurniawan yang berjudul “Sedih”:
sungguh ku pernah mengenal sedih
apa itu entah
bukan hanya tangisan anak mama
tentu saja jika benar itu memihakku
jika pun sebenarnya salah memihakku
ingin juga kubasuh tiap tetes air matamu
sungguhkah aku?
….
Pada bait puisi di atas, saya kesulitan menarik jejak, hendak ke mana puisi ini akan ‘bergerak’. Memang kesimpulan da
Yang penting untuk kita sadari adalah bahwa puisi, sebagaimana kesenian yang lain, bukan sebuah alat untuk mengubah masyarakat secara serta-merta. Selalu ada proses dan ketekunan. Sebelum tiba pada fungsi yang melampaui kemampuannya, mari kita jadikan puisi sebagai salah satu kepekaan hatinurani kita dalam menyikapi peristiwa di muka bumi. Dengan bahasa sebagai alat, seorang penyair punya banyak pilihan kata untuk membuka pikiran orang lain, memengaruhi orang lain, dan memberikan pencerahan. Atau selemah-lemahnya, membuat orang lain paham terhadap yang kita rasakan dan ungkapkan. Keindahan sebuah puisi terbentuk dengan sendirinya ketika serat halus perasaan kita menemukan kosa kata yang te
Jadi, sejumlah puisi yang dihimpun ini kita umpamakan zat. Kita rasakan sebagai apa adanya. Jika zat ini benih, berharap akan tumbuh berkembang sesuai jumlah sinar matahari referensi, curah hujan kemauan, dan tanah gembur bakat yang memeliharanya sebagai ranah proses kreatif bagi masing-masing penyairnya. Juga tergantung dari kupu-kupu inspirasi yang terbang lalu-lalang mempertemukan benangsari kepada putik.
***
2 Comments:
sungguh, ini esei paling menarik yang pernah saya baca untuk memahami apa itu puisi.
makasih bang kef atas ilmunya...
pengen liat kumpulan puisi pram euy...
kira2..bisa dicari dimana?, n kupas dikit tentang puisi oram dunk...
Post a Comment
<< Home