Tuesday, July 31, 2007

KOMUNITAS

KOMUNITAS bukan sekadar peer group, tidak sesederhana “gang” yang ke sana-kemari bersama-sama. Komunitas mencakup lebih luas dalam jumlah (individu) maupun kawasan tempat tinggal. Komunitas ibarat partai, sebagian besar menempuh prosesi pendirian (establishment). Komunitas mirip dengan foundation, memang kadang-kadang dimulai atau berlanjut dengan pembentukan yayasan. Komunitas, oleh karena itu, memiliki ideologi.

Ideologi adalah ruh dalam organisasi, lembaga, atau komunitas. Ideologi dalam sebuah komunitas menjadi perekat yang membuat setiap anggotanya merasa harus berjalan lurus sesuai garis yang telah disepakati (dengan atau tanpa deklarasi) bersama. Masing-masing komunitas dibentuk dengan ideologi yang berbeda sesuai dasar pijakan keberangkatannya. Dari urusan sosial, seni budaya, politik, ekonomi, sains, bahkan kesukuan di tanah rantau. Lalu masing-masing bidang itu pun terbagi lebih rinci. Katakanlah bidang seni budaya. Dari ruang lingkupnya dapat diuraikan sesuai jenis atau aliran seni. Komunitas (seni) musik, komunitas seni rupa, komunitas (pelukis dan kolektor) komik, komunitas (pemain) teater, komunitas (penggemar) film, komunitas (pegiat) sastra, komunitas seni tradisional, dan seterusnya.

Syahdan, komunitas sastra pun terbentuk. Saya ambil contoh Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Para pendirinya kaum pecinta sastra, baik itu pengarang (penyair atau cerpenis), pembaca sastra, maupun orang-orang yang berminat menjadi keduanya. KSI didirikan oleh sekitar 10 orang yang masing-masing memiliki komunitas. Dengan kata lain, KSI beranggotakan komunitas-komunitas sastra yang tersebar di seluruh Jabodetabek. Dengan kata lain pula, para pendiri KSI adalah para ketua komunitas-komunitas “kecil”. Pada sebuah siang yang hangat, kesepuluh (kurang atau lebih) pemilik gagasan itu merasa satu hati. Chemistry masing-masing orang terpaut dan merujuk pada satu tujuan untuk menggalang rasa cinta mereka terhadap sastra. Sebagai sebuah organisasi (yang diresmikan dengan AD/ART), dipilihlah ketua untuk memimpin. Terpilih Wowok Hesti Prabowo, seorang penyair, ketua komunitas (awal) Roda-Roda Budaya Tangerang, dan penggerak kaum buruh yang bercita-cita menjadi sastrawan.

Di awal perjalanan memang terasa ada perhatian lebih banyak pada anggota buruh industri di kawasan Tangerang. Dua dari kebanyakan mereka kemudian menjadi penyair, yakni Dingu Rilesta (Ngudi Lestari) dan Husnul Khuluqi. Masih banyak nama-nama lain yang dilahirkan dari kawah komunitas. Kegiatan demikian intensif, nyaris tiap pekan dan tumbuh rasa kekeluargaan dalam komunitas itu. Dari langkah awal tentu tampak seperti apa ideologi yang diusung oleh KSI. Mula-mula berjalan mesra, sampai kemudian ada ketegangan antar-anggota dan pengurus, boleh jadi karena ada pengaruh dari luar yang membuat warna buruh merasa perlu dikoreksi.

Bagaimana dengan situasi atau kondisi pada komunitas sastra (atau seni budaya) yang lain? Ada banyak contoh, yang apabila disebutkan akan tampak rona ideologinya. Misalnya Teater Populer Teguh Karya. Hampir sama dengan Komunitas Bengkel Teater Rendra, keduanya bergerak di bidang penulisan naskah dan pertunjukan teater. Di sana ada unsur yang lebih beragam dibanding sastra (tulisan). Karena ada kegiatan pementasan, tentu saja terdapat proses latihan. Di dalamnya terlibat para pemain, sutradara, artistik (dekorasi dan tata lampu), dan penata musik (termasuk sound system). Kita kenal kedua komunitas itu menjadi semacam sekolah bagi para pemain teater yang kini memiliki reputasi dengan mendirikan komunitas-komunitas (sanggar) teater baru. Setelah berpisah mereka boleh mencari warna ideologi sendiri. Ideologi inilah yang kemudian tampil sebagai ciri estetika.

Teater Utan Kayu (TUK) dan Komunitas Utan Kayu (KUK) adalah satu keluarga. Digagas oleh Goenawan Mohaman dan teman-teman yang tergabung di majalah Tempo maupun di luar keluarga Tempo, juga telah menunjukkan ideologi tersendiri dan menampilkan karakter estetikanya. Menempati kawasan di Jalan Utan Kayu, kegiatan mereka yang terorganisasi dengan baik melalui sastra tulisan, teater, toko buku, dan radio, membuat “bendera” KUK atau TUK dikenal luas. Tokoh sastra dan seni budaya yang tergabung di dalamnya seolah terpilih melalui “seleksi” intelektual yang sepaham (dalam pemikiran Barat). Tersebutlah nama Nirwan Dewanto, Hasif Amini, Ahmad Sahal, Sitok Srengenge, Marco Kusuma Wijaya, Asikin Hasan, Ayu Utami, Tony Prabowo, dan lain-lain. Dengan standar ukuran di atas rata-rata dalam menjalankan kegiatan seni-budaya, tak semua sastrawan Indonesia mendapat tempat dalam komunitas mereka. Lambat-laun situasi tersebut membikin TUK menjadi eksklusif dan seolah menjauhi realitas keindonesiaan dan menciptakan semacam jurang dengan sastrawan yang tak terengkuh.

Kemampuan lobi para intelektual di balik “panggung” TUK dan KUK dengan jaringan internasional cukup mengagumkan. Mereka sanggup mentradisikan acara sastra internasional dengan biaya yang memadai, sekaligus administrasi dan profesionalisme yang sepadan. Di luar unsur politik kebudayaan (jika ada), antara karya dan sumbangan pemikiran mereka terhadap kemajuan sastra cukup terasa. Bahkan, meskipun belum berfaedah secara luas, infrastrukstur yang mereka bangun baik fisik maupun nonfisik, diabdikan untuk seni dan budaya. Siapa pun, saya kira, boleh berkegiatan di sana, baik modern maupun tradisional pinggiran, sepanjang kurasinya melibatkan mereka. Nah, sekali lagi, parameter kualitas yang terletak di atas rata-rata itu kadang-kadang berperan pilih kasih dan menimbulkan kecemburuan. Apalagi jika ditambah dengan sikap arogan.

Ada ideologi yang berbeda pada komunitas Forum Lingkar Pena (FLP). Komunitas yang digagas kakak-beradik Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia ini cukup “keras” dalam menjaga moral kesusilaan berkarya. Bagi para pengarang FLP, menulis adalah media dakwah. Jadi, sebebas apa pun tema yang hendak disajikan, harus tetap dalam koridor norma (islami). Bukan berarti karya mereka tidak menyentuh peristiwa seksual dan kekerasan, namun selalu diupayakan penyampaian dengan bahasa yang tidak menjurus pada eksploitasi. Bagi FLP, yang kini anggotanya telah lebih 5000 orang dan memiliki cabang di sejumlah negara (termasuk Mesir dan Hongkong), menulis tidak untuk konsumsi (nafsu) pribadi. Ada tanggung jawab yang melatarinya terutama ketika karya mereka tiba di tangan masyarakat pembaca.

Lantas bagaimana masing-masing komunitas sastra itu hidup dalam khazanah sastra Indonesia? Dapat ditebak: tidak semulus yang kita bayangkan atau yang mereka tuliskan dalam bentuk prosa dan puisi. Ada pelbagai friksi yang mengemuka. Dan kini, atas nama kepentingan masyarakat luas dan moral bangsa, ada gerakan yang sedang melawan dominasi kebudayaan komunitas yang satu terhadap komunitas yang lain. Sementara setiap sastrawan memiliki sepasang kaki yang kadang-kadang berpijak di dua tempat. Jika boleh disampaikan secara jujur, kita sebenarnya sedang menghadapi sebuah peta buta komunitas sastra.

(Kurnia Effendi. Untuk PARLE)

 

 

 

 

 

 

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Asiiikk...

5:59 PM  

Post a Comment

<< Home