Monday, September 17, 2007

IKHLAS

SEORANG santri pernah bercerita tentang gurunya: ustadz yang kaya raya. Ia memiliki kebun kelapa yang luas. Suatu hari santri itu diajak berkeliling kebun sesudah salat asar. Seperti biasa, seraya mengayun langkah, ada saja pelajaran yang diterima santri itu melalui perbincangan.

            Di tengah perjalanan, mendadak mereka melihat sesuatu yang mencurigakan jauh di depan sana. Sesuatu yang bergerak-gerak, berupa bayangan-bayangan, tertangkap pula suara samar percakapan para lelaki. Ustadz memberi isyarat kepada santrinya agar berhenti melangkah. Mereka berdua menyimak sayup suara itu dan menyimpulkan bahwa ada sejumlah lelaki yang sedang mengunduh kelapa. Seingat ustadz, tak ada perintah darinya kepada siapa pun hari itu untuk memetik kelapa. Kemungkinan besar para lelaki itu orang-orang tak dikenal yang masuk ke dalam kebunnya tanpa diundang.

            “Mereka mencuri kelapa,” ujar santrinya terkejut.

            Ustadz segera memberi isyarat dengan telunjuk di depan bibirnya yang terkatup. Santri itu diam dan menunggu. Ia siap saja jika diperintah oleh gurunya untuk memperingatkan mereka dan mengusirnya. Bahkan andaikata harus berkelahi demi membela kebun kelapa milik gurunya. Namun tangannya justru ditarik agar sembunyi di balik pohon.

            Santri itu patuh meskipun belum mengerti maksud gurunya. Dari balik gerumbul pepohonan mereka menyaksikan para lelaki yang tangkas memanjat pohon kelapa. Sebagian menunggu di bawah dengan gerobaknya. Entah berapa puluh butir kelapa telah berpindah ke dalam dua gerobak hingga penuh. Setengah jam ustadz dan santri itu sembunyi tanpa mengeluarkan suara.

            “Kenapa kita tidak menangkap mereka?” tanya santri berbisik.

            “Biar saja. Kalau mereka tahu keberadaan kita, ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Mungkin mereka lari meninggalkan gerobaknya. Mungkin mereka melakukan kekerasan pada kita. Sementara kita tidak tahu tujuan mereka mencuri kelapa. Mungkin lebih berguna jika kita diam saja di sini sampai mereka pergi.”

            Santrinya mengangguk meskipun tidak paham dengan jalan pikiran gurunya. Setelah para lelaki itu pergi dengan barang curiannya, ustadz kembali mengajak santrinya berjalan. Seperti tak pernah terjadi apa pun. Mereka memutari kebun dan berjalan kembali ke pondok. Pikiran santri itu masih diliputi keheranan, tapi tak berani bertanya lebih lanjut.

            Sesampai di rumah yang letaknya di belakang pondok pesantren, ustadz segera menemui istrinya. Santri itu sempat mendengar percakapan mereka dari pintu penghubung antara rumah ustadz dan bangunan pesantren.

            “Bu, aku mau cerita kejadian yang kulihat di kebun. Tapi sebelumnya aku mohon ibu ikhlas. Ada beberapa orang mengambil kelapa kita tanpa izin.”

            “Astaghfirullahalazhim!” istrinya terperanjat, tapi ia menuruti kehendak suaminya untuk merelakannya.

            “Kalau kita tidak ikhlas, kelapa yang mereka ambil menjadi barang curian dan hukumnya haram. Kalau barang haram itu dijual atau dimakan oleh anak-istri mereka, pasti akan mendatangkan keburukan. Tetapi kalau kita ikhlaskan, kelapa itu menjadi pemberian. Menjadi sedekah kita. Sudah pasti akan menyelamatkan mereka dan keluarganya. Insya Allah menjadi pahala buat kita.”

            Santri itu akhirnya mendengar suara istri gurunya. “Ya sudah kita ikhlaskan saja.”

            Lantas terdengar langkah ustadz menghilang ke ruang dalam. Tinggal santri itu termenung di tengah lorong. Ia  merasa sedang menerima pelajaran paling berharga dalam hidupnya. Sebuah keteladanan yang sangat sulit ditiru.

            Itu hanya satu contoh dari amal kebajikan gurunya yang membuat santri itu semakin kagum. Satu demi satu ilmu yang turun melalui praktik lebih melekat dalam pikiran, ketimbang segala teori yang ditulis di halaman buku. Kesabaran dan keikhlasan baginya merupakan pelajaran tersulit yang tak kunjung selesai dideras dalam sekolah kehidupan. Kerajinannya melakukan salat, jika tidak disertai keikhlasan, barangkali hanya akan menggugurkan kewajiban dari waktu ke waktu.

            Santri itu kini sudah menjadi seorang mubaligh. Pada halaman masjid, ketika menjadi khatib shalat Idul Fitri, ia menyampaikan kenangan indah itu. Termasuk bagaimana cara ajal menjemput gurunya.

            “Tidak melalui kesulitan apa pun. Tidak dengan sakit berkepanjangan. Tidak dengan penderitaan yang berlarut-larut.  Justru dengan kemudahan yang tidak seorang pun menduga. Beliau meninggal pada sujud terakhir salat Jumat, saat beliau menjadi imam,” kisahnya di atas mimbar dengan gemetar. “Para jamaah yang menjadi makmum saat itu, sujud tak kunjung rampung. Melafalkan doa paling makbul bagi perjalanan ruh imam ke hadirat Allah Swt.”

            Santri yang telah menjadi ustadz dan bicara di atas mimbar itu mengingatkan kita tentang hubungan timbal-balik yang sangat sederhana dan dijamin kebenarannya. Bagi orang-orang yang selalu memudahkan urusan orang lain bakal dimudahkan urusannya oleh Tuhan.

            Di Jakarta, peluang untuk memudahkan urusan orang lain terbuka lebar. Ketika semua jasa diukur dengan materi, keikhlasan menjadi kesempatan langka. Bagaimana kalau kita mulai dari yang termudah? Misalnya saat ada mobil merebut jalur kendaraan kita, tak perlu marah, mari kita ikhlaskan saja. Misalnya saat memberikan ongkos parkir dinilai terlalu mahal, ikhlaskan saja agar uangnya berguna bagi keluarga tukang parkir itu. Mulai sekarang jangan terlalu ngotot menawar di pasar tradisional, toh kita patuh saja terhadap harga pas di supermarket. Jika ada seorang teman yang meminjam buku dan tak kunjung mengembalikan, anggap saja kita sedang menyumbang ilmu dengan cara lain. Apabila ada nasabah asuransi tertimpa musibah dan hendak mengajukan klaim jaminan sesuai yang dijanjikan, segera direspon dan bahkan dipermudah urusannya. Bagaimana kalau gagasan dan hasil karya kita di kantor diakui sebagai kinerja orang lain?

(Kurnia Effendi untuk Rehat di Media Asuransi)