Friday, May 02, 2008

Museum Cinderamata

Hanya sebutir pasir yang dapat

kami beri untuk memperkokoh pondasi

Negara Republik Proklamasi

17-8-1945.

Soeharto.

23-8-1993

Itulah aksara yang tertulis pada sebidang batu marmar berbentuk gunungan wayang di balairung Museum Purna Bhakti Pertiwi. Museum yang terletak di ambang pintu masuk Taman Mini Indonesia Indah (TMII) itu terdiri dari bangunan utama mirip tumpeng raksasa, dikelilingi tumpeng-tumpeng kecil. Ada menara langsing di salah satu sisi dan tiang bendera di halaman setentang pintu utama. Di pengujung pandangan dari beranda museum, tampak berdiri sebuah payung raksasa yang biasa digunakan untuk acara luar-ruangan (outdoor).

Museum yang diresmikan oleh Presiden Soeharto (mantan dan almarhum) pada tanggal 23 Agustus 1993 itu sangat menarik mulai dari gagasannya. Bentuk bangunannya yang unik serupa tumpeng mencerminkan falsafah orang Jawa saat melaksanakan syukuran atas pemberian Tuhan. Misalnya saat merayakan tanggap warsa (ulang tahun), kenaikan pangkat, kelahiran anak, memasuki rumah baru, meresmikan gedung, sembuh dari penyakit, tedhak siti (anak yang turun pertama kali menginjak tanah), dll. Mungkin dari sana pula terbitnya inspirasi, bahwa pemberian dari siapa pun, patut disimpan sekaligus disaksikan oleh banyak orang.

Nama museum terpacak pada ketiga sisi piramida segitiga dekat dengan gerbang parkir, sehinga dapat dipandang dari tiga arah. Lanskap luas yang dihiasi paduan antara rumputan hijau, lantai keramik, batu keriki,l dan tetumbuhan rendah, kian menampakkan kemegahan gedung tumpeng kerucut tujuh lantai itu. Dominasi warna hijau dan kuning seolah merujuk pada warna daun pisang, seperti halnya tumpeng yang karib dengan alas daun dan pincuk.

Kembali berbicara mengenai hadiah dan pemberian, Museum Purna Bhakti Pertiwi memang sebuah graha tempat menyimpan cinderamata. Hadiah kecil maupun besar, rumit maupun sederhana, mahal ataupun murah, yang diterima oleh Presiden Soeharto sepanjang 32 tahun masa pemerintahannya (sejak 1966 sampai 1998) sebagai pemimpin Republik Indonesia. Pemberian itu ada yang sengaja diserahkan kepada Pak Harto dan keluarganya, ada pula yang merupakan pertukaran souvenir antarnegara.

Sebetulnya saya sudah masuk ke museum itu tiga kali. Namun rasanya tak kunjung bosan, karena materi yang dipajang sanggup ”bercerita” banyak. Selain itu, memang tak cukup sebentar untuk menikmati setiap benda, mengingat di sana tertera nama pemberinya dilengkapi peristiwa yang melatarinya. Bahkan ada sebagian cinderamata yang disertai nama pengrajinnya, lama proses pembuatannya, materi yang digunakan, dan jika itu merupakan replika tentu disebutkan muasal benda sejatinya.

Sesungguhnya, mengapa saya tak pernah tuntas mengamati memorabilia itu, karena setiap kunjungan selalu diburu-buru waktu. Yang terakhir kali pun demikian. Minggu 20 April lalu, bertepatan dengan perayaan ulang tahun TMII, saya mengantar putri sulung saya ke Graha Lukisan dalam rangka lomba paduan suara yang diselenggarakan oleh SMA Negeri 61 Jakarta. Ada waktu jeda sejak penampilan kelompok putri saya (kebetulan menjadi konduktor) dengan pengumuman pemenang, yang saya gunakan untuk masuk ke dalam Museum Purna Bhakti Pertiwi.

Seperti biasa, saya menitipkan ransel, sementara kamera digital saya tenteng untuk mengabadikan benada-benda yang menarik hati. Pada bangunan utama, persis bagian tengah diametralnyaa, berdiri pohon hayat yang langsung menjulang ke arah kubah di puncak tumpeng. Saya kagum pada penemu dan pemahat pohon itu. Jika kita memandang ke atas, seperti sedang melihat ”tangga” ke nirwana.

Ruang pamer yang memajang barang-barang souvenir dengan pengelompokan jenis dan materi itu mengisi tiga lantai (bayangkan jika setiap lantai seluas separuh stadion). Sedang empat lantai lainnya yang semakin menyempit dipergunakan sebagai ruang mesin. Begitu informasi sang penjaga dan saya tidak mencoba mencari tahu: mesin apa gerangan di sana. Hanya dugaan saja, pasti ada komputer, listrik, dan sistem pengamana yang luar biasa teliti.

Dalam waktu yang tak terlalu leluasa itu saya mencoba mencatat beberapa cinderamata. Hanya beberapa saja dari ratusan mungkin ribuan (sebab saya juga tak sempat naik ke lantai dua dan tiga—lagi-lagi karena tak punya kelonggaran). Padahal, untuk memandangi satu per satu benda-benda berharga itu memerlukan waktu yang panjang.  Inilah sebagian catatan saya:

Catur dengan buah-buah unik, akuratif, dan unik dari Nelson Mandela Presiden Afrika Selatan 1997. Batu kecubung yang kemilau antara biru dan ungu hadiah dari Albert Zafy, Perdana Menteri Madagaskar 1996. Piring porselen licin bergambar burung elang yang gagah pemberiah dari Bill Clinton, Presiden Amerika Serikat, 1995. Piring porselen dengan foto Sultan Hassanal Bolkiah Brunei Darussalam, bertitimangsa 1994. seperangkat alat makan terbuat dari kuningan merupakan souvenir dari Islam A. Karimov, 1996. Permainan solitaire mutiara Raja Husein Jordania 1996. Piring kuningan hadiah Jim Bolger PM Selandia Baru tanpa tahun.

Dari keranda demi keranda kaca saya mengamati. Lalu saya temukan pedang kristal dari Franjo Tudman, Presiden Republik Kroasia, 1995. Mirip pedang yang dipergunakan dalam film-film fantastik yang kerap menerbitkan segaris cahaya putih kebiruan saat dihunus. Ada setting mebel yang terdiri dari berbagai pemberian (dihimpun dalam satu tatanan) memperlihatkan meja bundar lackuer dari BM Saddiqui Khan Kanjo, Menteri Luar Negeri Pakistan. Lee Teng Hui dari Taiwan menghadiahi benda-benda khas China.

Di tengah blok, berdiri agung Peraduan Putri Tiongkok Dinasti Sung 960-1279 AD. Di situ tertera lengkap sejarah pembuatannya. Cukup menarik sebagai sumber tulisan skripsi atau apapun yang bersifat ilmiah. Bersaing dengan itu: Gamelan Kyai Dipa Asmara Sri Sunan Paku Buwono X Surakarta 1867-1939. Ah, masih banyak yang harus disinak, tentu saja. Saya akan meneruskannya suatu hari nanti...

(Kurnia Effendi)