Monday, April 14, 2008

Warung Pi'an, Anno 1926

Sudah menjaditradisi”, setiap hendak melakukan perjalanan dinas, saya mengontak sejumlah teman di daerah tujuan. Mereka adalah para sahabat, penyair, redaktur, atau budayawan setempat. Maka, ketika saya belum lama ini bertugas ke Tegal, saya janjian ketemu dengan beberapa orang. Namun, yang lebih prioritas adalah berkunjung ke rumah ibu saya di Slawi setelah selesai dengan urusan pekerjaan.

Perjalanan naik kereta api Argo Muria dimulai dari stasiun Gambir. Saya merasa sedikit kesepian, karena saya dinas sendirian, sehingga seperti terpisah dari keramaian sekitar. Seorang Kopassus yang duduk di sebelah saya, di ruang tunggu, tentu tak bisa saya colek untuk digodain. Maka saya mencoba mencari kesibukan dengan mengirim pesan pendek yang panjang kepada teman-teman di seberang berbagai jarak.

Urusan pekerjaan setengah harian di Tegal sudah selesai dengan  baik dan penuh semangat. Mungkin karena diawali dengan makan siang di warung sate kambing muda Sari Mendo (mendo itu bahasa Jawa halus untuk kambing), dan minum teh poci bergula batu. Setelah menjelang naghrib mandi di hotel, saya meluncur ke Slawi dengan Swift yang tak mau diajak pelan. Malam dengan aroma wangi melati teh terhirup hidung yang sudah rindu kampung.

Ibu tak terkejut karena saya sudah mengabari sebelumnya. Ibu juga tidak terkejut ketika saya tawari menginap di hotel saja agar bisa ngobrol lebih panjang. Demikianlah, sepanjang jalan kembali ke Tegal (13 km dari Slawi—untuk kondisi Jakarta tentu sudah lazim sebagai jarak tempuh dari permukiman ke kantor), sms dari teman-teman pun berkelebat menagih janji untuk ketemu.

Mereka adalah penyair Nurhidayat Poso, Entieh Mudakir, dan wartawan RCTI

Yono Daryono. Oleh karena saya bakal sampai hotel sekitar pukul 21, Yono menyempatkan diri untuk menghadiri acara ”Muludan” (Peringatan Maulid Nabi Muhammad) di tempat Ki Dalang Enthus. Menjelang tiba di Tegal, Mas Entieh menelepon agar saya mampir ke Karlita Hotel, tempat dia sedang nonkrong di Kafe Gemini, tempat Igo bermain musik. Rupanya, di kafe itu, ada kantor terbuka, dan Walikota Adi Winarso ada di sana. Kami mengobrol ringan. Mereka (bersama Pak Atmo dari Departemen Komunikasi dan Informasi) sedang menyiapkan ulang tahun kota Tegal, 12 April, akan meluncurkan buku yang mengangkat profil walikota. Agaknya ini semacam buku ”pamitan”, karena Desember nanti akan berlangsung Pilkada.

Menjelang pukul 23, sudah berkumpul Yono Daryono, Nurhidayat Poso, dan Iqbal (yang terakhir ini salah satu calon Walikota Tegal, putra mahkota pemilik bis Dewi Sri, dari PDIP). Sisdiono Akhmad, salah satu budayawan lokal, mengabari lewat sms bahwa dia tak jadi bergabung karena sedang berbincang dengan komunitas politik.

Obrolan bersambung ke Hotel Plaza, tempat saya menginap. Kami berbincang banyak hal, termasuk bagaimana menjaring suara pendukung untuk Iqbal (dia malam itu membayari makan dan minum kami). Soal sastra hanya mendapat porsi kecil saja. Namun, ada satu presentasi Nurhidayat Poso yang menarik bagi saya. Ia bercerita tentang pengalaman makan di Warung Pi’an, yang terletak di depan stasiun kereta api Tegal.

”Itu warung sudah ada di situ sejak saya kecil,” ujar sang penyair. ”Bukan hanya enak rasanya, tapi penyajiannya juga digarap dengan baik.”

Lalu Nurhidayat menggambar dengan isyarat tangan, porsi untuk minuman, sajian makan, yang menurutnya tidak banyak rumah makan melakukan ”akurasi” semacam itu.

Rasa penasaran itu saya sampaikan kepada tuan rumah (maksud saya Dealer Suzuki di Tegal) pada keesokan harinya. Demikianlah, setelah rapat dengan kontraktor, kami meluncur ke kawasan stasiun Tegal. Tepatnya di Jl. Sugiarto No: 30 (dulu tertulis nomor 25). Halamannya bertemu dengan jalan raya, cukup untuk parkir 3-4 mobil.

Dari luar biasa-biasa saja. Di dalamnya pun biasa-biasa saja. Beberapa meja panjang dengan kursi panjang juga. Seperti layaknya warung dengan aneka menu yang ditulis besar-besar di dinding. Warung Pi’an tentu menjadi shopsign di luar, di atas bangunan. Ditambah dengan keterangan: Pusat Informasi Anda (tertulis di atas pintu menuju dapur). Itu tentu cara mencocokkan dengan kata ”PIAN”.

Ketika saya mau memotret foto pemiliknya yang tergantung di sana, diingatkan oleh tuan rumah. ”Kenapa tidak memotret orang aslinya saja?”

Ah! Saya baru tahu, bahwa seorang lelaki perkasa yang jangkung berkulit legam dengan rambut beruban itu adalah Pak Pi’an. Akhirnya tak hanya memotret dirinya dan warungnya, saya pun berfoto bersamanya.

Namanya Rapi’an. Anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yang dilahirkan oleh istri Pak Nurrachman. Warung itu didirikan pada tahun 1926, dengan menu sederhana: nasi lengko, goreng pisang tanpa tepung, tahu dan tempe goreng, serta teh poci. Semua khas Tegal.

Rapi’an muda, yang memiliki tinggi 185 cm, gemar olah raga badminton. Teman-teman bermainnya kerap mampir ke warung itu untuk melepas lelah, makan, dan minum. Namun yang lebih lama berlangsung adalah perbincangan di antara mereka. Jadilah warung itu sebagai tempat berkumpul kaum muda kota Tegal.

Sampai tahun 1970, warung itu dikelola oleh Pak Nurrachman. Setelah itu diambil alih oleh Pak Rapi’an, setelah menikah dengan seorang perempuan yang hanya ¾ tinggi tubuhnya. Pada kesempatan siang itu, saya pun berkenalan dengan ibu yang selalu mengenakan celemek. Aroma dapur membaur di wajahnya yang ramah.

Saya pesan nasi lengko ditambah aksesoris hati-rempela-ayam goreng, dan tentu segelas es jeruk. Benar yang dikatakan oleh teman saya Nurhidayat Poso. Remasan kerupuk mi kuning yang ditabur di atas nasi lengko itu begitu merata, tidak melebihi lingkaran dalam piring dan tidak menampakkan nasi-tauge-tahu-sambalkacang di bawahnya. Lezatnya pun benar-benar pas di lidah. Saya telah makan berulangkali lengko di mana pun, ada saja yang terasa terlalu gurih, atau justru hambar, karena komposisi satu sama lain tidak tepat.

 Apa yang tidak berubah sejak tahun 1926 hingga kini? Menu nasi lengko, pisang goreng, tahu dan tempe goreng, teh poci. Kini telah berkembang menjadi 18 menu, termasuk di antaranya: soto tauco, sate dan gule kambing, capcay, tongseng, sop, dan sayur asem. Saya tentu tak mungkin mencicipi seluruh jenis masakan dalam satu kesempatan. Tetapi saya berniat untuk mampir lagi bila pulang kampung untuk melahap menu yang lain.

Saya kira, Pak Bondan Winarno belum singgah ke sana. Ahli ”mak nyus” itu harus giliran saya sarankan untuk mampir dan mengudap beberapa menu. Saya melihat sajian tongseng, tampak materinya tidak sampai kematangan. Warna sayur untuk capcay pun tampil sangat segar. Sudahlah, Anda memang harus menikmati sendiri: rasa dan estetikanya. Padahal, sekali lagi, warungnya biasa saja, sebagaimana warung nasi.

Ingin tahu siapa saja yang pernah ke sana? Mendagri Makruf, Mendagri Mardiyanto, juga pejabat di Sampoerna, Angky Camaro. Ia bahkan pernah membuat event yang dicatat sebagai rekor MURI: poci terbesar yang air tehnya diminum oleh 1000 orang! Itu terjadi Agustus 2005. Sekarang poci raksasa itu disimpan di mana, pak? Beberapa tamu VIP, konon, jika memesan teh poci, disajikan dengan poci keramik tua buatan Cina.

Suatu kali saya akan memperkenalkan diri sebagai very important person, hahaha. Sampai ketemu lagi Pak Rapi’an!

(Kurnia Effendi)