Wednesday, April 16, 2008

Berbincang dengan Rieke Dyah Pitaloka

Surat-Surat Kartini Selalu Inspratif

            Di Jumat pagi yang cerah, menjelang pukul 7, sms masuk ke ponsel saya. Tertera nama Rieke Pitaloka. Mengingatkan: pukul 9.30 wawancara di Coffe Bean Trans TV. Tentu saya langsung menjawab: “Okay, Rieke. Noted. Thanks.”

Rupanya perjalanan menuju Jl. Tendean terhambat di Pancoran. Untunglah hanya terlambat 5 menit, sesuai dengan usainya Good Morning di Trans TV. Tangan Rieke melambai dari jauh saat melintasi lobi gedung. Kami pun memilih tempat duduk.

“Saya ingin tahu tentang Yayasan Pitaloka, bergerak di bidang apa?”

Sambil mencelupkan kantung kertas green tea di cangkir berisi air mendidih, Rieke menjawab: “Yayasan Pitaloka memang baru diresmikan Februari 2007, tapi kegiatannya sudah berlangsung sejak lama. Kami melakukan kegiatan sosial. Misalnya respon terhadap busung lapar, menyelenggarakan kegiatan amal, dan mendirikan taman bacaan di Porong.”

“Di Jakarta juga?”

“Kami melakukan sosialisasi sastra masuk SMU. Bekerjasama dengan The Body Shop.”

“Lho, apa hubungannya? Itu kan produk kecantikan…”

“Betul. Tapi TBS itu peduli lingkungan. Penggunaan bahannya bukan dengan cara merusak lingkungan. Kami bicara di sekolah-sekolah, bahwa sastra bisa menjadi media untuk bicara tentang lingkungan.”

“Cukup beragam juga kegiatannya.”

“Yayasan Pitaloka punya jargon keren: Bekerja untuk Demokrasi dan Kemanusiaan. Sangat luas, kan?”

“Siapa yang berada di balik yayasan?”

“Saya, Vivi, dan Rini. Tapi bila ada kegiatan, kami merekrut orang-orang. Tergantung kebutuhan.” Rieke menjelaskan. “Untuk kegiatan amal dan pendirian taman bacaan, saya bisa diundang free, tetapi yang hadir diwajibkan membawa buku baru atau bekas. Misalnya seperti itu.”

“Beralih pada kegiatan berkesenian, saya nonton lho, Monolog Perempuan Menuntut Malam…”

“Oiya? Apa komentar terhadap pertunjukan itu?”

“Bagus!” Saya memuji. “Hanya, menurut saya, seharusnya adegan berakhir ketika Ria Irawan dikejar-kejar oleh regu Trantib. Itulah klimaksnya.”

“Sebetulnya bukan begitu urutannya. Saya sudah membuatnya “naik-turun” untuk mengatur emosi penonton. Seharusnya dimulai dengan Niniek L. Karim, Ria Irawan, baru saya. Nah, waktu main di Bandung dan Aceh, berbeda.”

 “Sebetulnya apa yang hendak disampaikan?”

“Dalam rangka Hari Perempuan, kami ingin memperlihatkan problem kekerasan perempuan dalam tiga wilayah. Rumah, tubuh, dan negara. Niniek L Karim berkisah tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Sedangkan Ria Irawan menyampaikan problem perempuan di sekitar tubuh. Bahwa keterbedaan bentuk tubuh antara laki-laki dan perempuan, misalnya soal payudara, berpotensi menimbulkan masalah seksual. Yang ketiga adalah problem perempuan dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah.”

“Siapa yang menulis naskah itu?”

“Saya, tentu dengan banyak masukan dari teman-teman.”

“Agaknya Rieke berbakat kuat dalam menulis. Kapan buku fiksinya terbit?”

Rieke tertawa. “Cerpen saya belum banyak. Saya justru lebih suka menulis opini tentang berbagai topik. Yaaa, nyentil-nyentil politik.”

Tampaknya Rieke memang tertarik dengan politik. Dalam obrolan dia menyitir ucapan seorang pejabat yang menanggapi tertengkapnya suami pedangdut Kristina, membahas kasus grup musik Slank yang membawa-bawa nama Senayan, dan tak lupa soal dicekalnya Dewy Persik... Mungkin bukunya yang bakal terbit berisi kumpulan tulisan dalam aneka topik semacam itu.

“Nah, kalau sudah menyinggung politik, pasti dekat dengan partai. Sekarang sedang aktif di mana?”

“Sejak 10 Januari 2008, saya resmi menjadi kader PDIP.” Jawab Rieke tegas. “Pasti tanya, kenapa? Karena partai itulah yang cocok buat saya. Sebelumnya selama 9 tahun saya bernaung di bawah Partai Kebangkitan Bangsa sejak baru merintis menjelang Pemilu 2004. Di sanalah saya belajar dan berproses. Kini, menjelang usia 35, saya harus lebih serius jika masuk ke dunia politik. Harus punya posisi tawar.”

“Apa yang dimaksud dengan cocok?”

“Saya dan partai harus memiliki ikatan emosional. Partai itu buat saya bisa menjadi tempat sekolah, dan saya dihargai sebagai kader partai. Ideologinya sama. Masuk ke dalam partai bukan karena ajakan orang lain. Karena partai bukan tempat mencari uang seperti LSM meski basisnya nonprofit.”

“Lalu apa tanggapan Rieke perihal kuota 30% untuk perempuan dalam parlemen?”

“Kritik saya terhadap ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang Pemilu tentang kuota perempuan, seharusnya untuk memenuhi kualitas, bukan kuantitas. Setiap partai harus memiliki keseriusan dalam melakukan kaderisasi perempuan. Bagaimana ia memahami konstituen dan yang terpenting memiliki satu ideologi. Karena sangat berbeda bekerja di dalam partai dan di luar partai. Atmosfer dan emosi harus diselaraskan. Dalam politik, unsur sukarela lebih kuat.”

“Lantas bagaimana cara partai mencari perempuan berkualitas untuk dijadikan kader?”

“Saya menghimbau kepada para perempuan yang berkualitas, segeralah masuk ke dalam partai. Mengapa demikian? Agar tidak masuk menjelang dekat pemilu. Akan tidak fair bila dalam tubuh partai sudah ada beberapa perempuan yang sedang membangun “karier” lalu mendadak tersisih oleh kader yang baru masuk karena lebih potensial. Itu justru akan menimbulkan diskriminatif dan perpecahan di tubuh partai.”

“Benar juga. Artinya Rieke sedang menjalankan cara seperti itu?”

“Ya. Adaptasi di dalam partai tidak mudah. Kita harus membangun jaringan internal partai termasuk terhadap daerah. Itu hal yang tidak gampang, butuh kesabaran. Jangan sampai kita tidak tahu segala sesuatu yang harus diperjuangkan. Keterikatan yang dibangun bukan hanya terhadap profesinya namun lebih utama terhadap masyarakat. Bukankah kader partai nantinya akan menjadi pelayan publik?”

“Apa upaya Rieke untuk melaksanakan metode itu?”

“Apa, ya? Antara lain dengan cara melihat kesengsaraan rakyat dari dekat, bukan hanya lewat televisi. Itu lebih memberikan kekuatan dan ikatan emosi di kedua belah pihak.”

“Menjelang Hari Kartini, apa yang biasanya dilakukan oleh Rieke?”

“Ini pertanyaan yang saya tunggu-tunggu!” Rieke bersemangat. “Sebenarnya saya punya kebiasaan semacam ritual. Setiap April, saya selalu membaca ulang atau melanjutkan Surat-Surat Kartini. Mungkin karena sering diwawancara media di sekitar peringatan Hari Kartini, saya selalu membawa buku tentang itu. Nah, anehnya, setiap kali saya membaca Surat-Surat Kartini, setiap kali pula saya mendapatkan inspirasi baru. Tahun ini, saya menemukan bargaining power Kartini saat hendak menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Kartini tidak setuju dengan tugas perempuan yang semata-mata urusan sumur-dapur-kasur. Ia berjanji akan mengurus anak-anak, sebagai kewajiban seorang ibu. Tetapi ia mengajukan permintaan kepada calon suaminya untuk memiliki apa yang diinginkan. Salah satunya adalah membangun sekolah. Apabila suami kelak tidak mengizinkan kegiatan itu, lepas pula kewajibannya sebagai istri. Apa artinya? Cerai! Nah, kebetulan, suaminya mendukung niat Kartini, layaknya seorang kolega. Ia justru mencarikan referensi buku-buku yang perlu dibaca Kartini untuk cita-cita mulianya itu.”

“Hebat, hebat! Padahal itu zaman awal abad 20, ya?”

“Jadi, selain perempuan harus setara dengan laki-laki di ruang publik, emansipasi pun harus terbangun di dalam rumah.”

“Baiklah. Wawancara selesai. Kabarnya mau ke Riau sore nanti, dalam rangka apa?”

“Diundang Dewan Kesenian Riau menjadi pembicara mengenai penulisan cerpen dan puisi.” Rieke tersenyum. Lalu kami mengakhiri dengan pengambilan foto di beranda kafe.

(Kurnia Effendi)