Monday, April 07, 2008

Perpaduan Remy Sylado dan Jose Rizal Manua

Bawang Merah Bawang Putih Bawang Bombay

Apa bunyi ajakan Remy Sylado kepada teman-temannya dari Manado untuk nonton pementasan Teater Tanah Air pekan lalu? “Ayo kita lihat kenakalan Jose Rizal!.” Padahal, kata Jose Rizal, “kenakalan” teater itu bermula dari naskah karya Remy Sylado: “Bawang Merah Bawang Putih Bawang Bombay”

Judulnya saja sudah mengundang tawa. Sebuah dongeng atau folklore yang diplesetkan. Tontonan itu tentu untuk semua umur, dimainkan oleh anak-anak, remaja, dibantu dengan orang-orang dewasa untuk peran ayah dan ibu. Demikianlah, Teater Tanah Air pimpinan Jose Rizal Manua mementaskan naskah karya Remy Sylado dalam dua hari (Sabtu-Minggu, 29-30 Maret 2008) dengan 4 kali pertunjukan, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.

Pentas yang berdurasi 2 jam itu tak pernah sepi penonton, terutama di malam Minggu. Banyak penggemar teater dari luar kota, termasuk pejabat pecinta kesenian dari Sumatera dan provinsi lain di luar Jawa sengaja datang ke Jakarta untuk menyaksikan kiprah Teater Tanah Air. Tentu saja salah satu faktor yang memancing minat mereka adalah kesuksesan teater anak-anak dan remaja itu saat berlomba di Tokyo dan Jerman satu-dua tahun yang lalu. Bahkan atas prestasi itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan Satyalancana Wira Karya kepada para pemainnya dalam salah satu kesempatan khusus.

Seperti yang sudah dapat diduga, naskah Remy memang jenaka sejak dalam bentuk tulisan. Menurut istilah yang sering dipergunakan dalam dunia sinema, cerita ini disebut prekuel. Sebuah cerita yang menggambarkan fragmen sebelum Bawang Merah dan Bawang Putih menjadi satu keluarga. Ada tokoh pemuda bernama Bawang Bombay yang menjadi pemimpin gang preman, sebagai antagonis sentral yang membenangmerahi setiap adegan. Ia menyebut dirinya sebagai perpanjangan tangan Kain (anak Adam yang membunuh Abil). “Kejahatan itu seusia dengan sejarah manusia,” katanya.

Pertunjukan ini disebut sebagai Sandiwara Nyanyi pelarasan lagu-lagu The Beatles. Memang, ada 12 lagu The Beatles yang telah diubah liriknya dalam bahasa Indonesia dengan kalimat dan makna yang jenaka. Pementasan dibuka dengan lagu “Obladi-Oblada”, yang menceritakan tentang Bawang Bombay sebagai peranakan Jawa, Cina, Arab. Babay (panggilan Bawang Bombay) beserta anak buahnya mendapati Bawang Merah yang sedang bermuram durja karena ayahnya meninggal setelah dijebloskan ke dalam perkara korupsi oleh KPK.

Ada sentuhan muatan politik di sana-sini yang cukup menggelitik. Bahkan dialog yang diucapkan oleh para burung merpati (yang dituduh membawa virus flu burung) membawa-bawa istilah kapitalis. Tetapi seluruhnya dikemas dalam jelujur dongeng populer yang mengingatkan adegan dalam Romeo and Juliet karya Shakespeare (terutama perilaku para preman muda itu).

Babay bersedia menolong Bawang Merah dari kesedihannya, lalu dipertemukan dengan Michele, ibunya (dimainkan oleh Clara Shinta). “Michele”—tentu saja adalah judul lagu The Beatles—yang dinyanyikan ibu Bawang Merah. Liriknya merupakan pengakuan, bahwa  Michele bukan nama KTP, nama aslinya adalah Tukiyem cucu bakul mbako di Pasar Kulonprogo sejak zaman kuda gigit besi.

Dengan hitung-hitungan transaski yang disepakati, Babay mendapat tugas menghabisi ibu Bawang Putih yang sakit-sakitan. Dengan menyamar sebagai penjual obat, ibu Bawang Putih yang bernama Jude (dimainkan oleh Maudy Kusnaedi) terkecoh. Ia pun meninggal dunia setelah minum ramuan dari Babay. Apa yang kemudian terjadi? Suaminya (dimainkan oleh Teuku Zacky) sangat berduka menyaksikan istri tercintanya meninggal. “Hey Jude” adalah lagu yang dinyanyikan ayah Bawang Putih, seraya memeluk dan menggendong sang istri dengan perasaan sedih.

Aksi Babay berikutnya adalah mempertemukan ibu Bawang Merah dengan ayah Bawang Putih agar nantinya bisa menikah, melalui surat cinta. Ringkas cerita, seperti pucuk dicinta ulam tiba, kedua duda dan janda itu menikah, yang menyebabkan Bawang Putih dan Bawang Merah menjadi saudara tiri.

Prekuel yang menarik meskipun dibuat sangat sederhana. Tokoh pangeran yang tampil di panggung datang dari Kraton Jawa. Pangeran yang memilih antara Bawang Putih dan Bawang Merah dengan ujian mencabut bunga mawar dari pot, memberikan kemenangan kepada Bawang Putih. Pot bunga mawar itu merupakan bunga kesayangan Bawang Putih yang selalu dicela oleh Bawang Merah.

Di pengujung kisah, Bawang Putih dan Sang Pangeran bernyanyi bersama dengan perasaan bahagia. Happy ending sebagaimana dongeng aslinya. Penonton yang  separuh di antaranya adalah anak-anak dan remaja, sangat terhibur, tertawa sejak awal hingga akhir. Tontonan jenaka itu digarap dengan kreatif, menghadirkan lima sepeda motor ke atas panggung sebagai tunggangan para preman. Peran koreografer (Okty Budiati dan Alfira) sangat mendukung: bagaimana gerakan para pemain ketika menggambar suasana sedih, saat ayah Bawang Putih berduka. Juga beberapa transisi adegan yang diseling dengan tarian dan musik.

Lagu-lagu The Beatles tak mungkin asing bagi telinga orang dalam beberapa generasi. Sungguh pilihan yang jitu. Syairnya diubah sesuai konteks cerita dengan sisipan humor. Persoalannya, apakah sudah ada izin dari ahli waris The Beatles ketika mengubah lirik karya cipta itu untuk tujuan pementasan komersial? Tentu Remy Sylado lebih paham mengenai hukum hak cipta. Setidaknya Tamam Husein, musisi dan komposer, pada hari yang sama di tempat yang berbeda menyampaikan bahwa mengubah lirik lagu untuk keperluan tertentu harus seizin pencipta atau perekamnya.

Secara keseluruhan, pertunjukan Teater Tanah Air ini sangat mengesankan. Tidak terlampau berlebihan jika mendapat perhatian mancanegara. Agenda tahun ini, Teater Tanah Air akan pentas dalam festival teater anak-anak dunia di Rusia bulan Juli, dan diundang untuk naik panggung di Malaysia bulan Agustus.

Garin Nugroho yang menonton di barisan kursi terdepan mengaku tegang ketika menyaksikan putrinya, Adinda Fudia Hanamici yang berperan sebagai Bawang Putih, tampil di panggung. Namun, mengingat cara Jose Rizal Manua menggarap bakat anak-anak itu dengan mengembalikan kepada alam bermain, ekspresi dan gestur tubuh mereka di panggung tampak bebas tanpa beban. Itulah yang menarik, yang membuat mereka mungkin tampak lebih alami dan eksploratif, dibandingkan teater sejenis di luar negeri.

(Kurnia Effendi)

 

 

1 Comments:

Blogger Antown said...

saya suka tulisan mas ttg noriyu itu. saya terinspirasi dengan karya2nya

11:38 PM  

Post a Comment

<< Home