Tuesday, June 10, 2008

Janji Artifisial Menuju Popularitas

Popularitas hampir menjadi kebutuhan setiap individu, tertutama bagi orang-orang yang mendudukkan jalan hidupnya pada karier, baik pekerjaan birokrasi secara struktural maupun profesional. Unjuk kerja demi mencapai prestasi atau reputasi, terkadang ditempuh dengan jalan pintas, aji mumpung, atau mengedepankan sikap oportunistis.  Pada jalur politik, aksi ini cukup kentara. Setiap kali lahir kebijakan pemerintah yang dianggap membebani rakyat (paling aktual adalah kenaikan harga BBM), akan segera disambar dengan komentar negasi yang mengatasnamakan rakyat. Intinya, setiap hal non-populer yang dideklarasikan di depan publik akan dianggap sebagai kontra-produksi dan segera dilibas oleh lawan politik.

Sesungguhnya politik dalam arti luas telah menjadi bagian hidup manusia sehari-hari. Dalam porsi yang lebih kecil, praktik politik sangat biasa terjadi dalam organisasi kantor/perusahaan. Di sana akan berlangsung proses sikut-menyikut antar-karyawan. Demi mencapai posisi jabatan tertentu, kerap dilakukan jalur yang tak halal.

Dalam panggung politik tidak ada pertemanan yang abadi, karena kepentinganlah yang lebih kekal. Sejarah membuktikan itu. Tumbangnya Orde Baru, selain diperjuangkan oleh kalangan mahasiswa yang melakukan demonstrasi bahu-membahu ke gedung MPR/DPR dan Istana Negara, ada kontribusi internal yang membuat runtuhnya dukungan terhadap Presiden Soeharto (1998). Barangkali kita ingat, Akbar Tanjung termasuk kader Golkar pertama yang melepaskan diri dari dukungan itu. Di sisi lain, Harmoko sebagai Ketua MPR/DPR RI periode 1995-1999 juga ”memutuskan” agar Jenderal Soeharto mengundurkan diri dari jabatan mandataris MPR. Mungkin peristiwa pidatonya di televisi tak akan terlupa sebagai kesumat bagi Keluarga Cendana. Saat itu, tinggal Jenderal Wiranto yang secara fisik dan moral melindungi klan Soeharto.

Setelah periode Habibie, yang mendapat hibah jabatan presiden dari Pak Harto, mengakhiri kepemimpinannya dengan penolakan MPR terhadap pertanggunjawabannya, wajah politik Indonesia kembali berubah. Tampilnya Abdurrachman Wahid (Gus Dur) menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia seperti menafikan semua persyaratan fisik seorang pemimpin. Di situ ada faktor dukungan Amien Rais yang akhirnya cukup puas menjadi Ketua MPR. Namun belum tuntas Gus Dur mendiami Istana Negara sampai akhir jabatan, terjadi gonjang-ganjing yang melengserkannya dan kembali Amien Rais menjadi salah seorang yang merancang tampilnya Megawati dari Wakil Presiden menjadi Presiden. Itulah panggung politik!

Kabinet Gotong Royong bentukan Megawati mencoba menampung heterogenitas aspirasi partai. Namun menjelang pemilu berikutnya, peta politik teracak kembali. Munculnya ide-ide yang seolah tampak segar telah menggiring perubahan suara di kalangan rakyat kelas bawah. Megawati dianggap tidak memenuhi janjinya, terutama mengenai Aceh. Padahal saat kampanye, Megawati menyebut diri sebagai ”Tjut Nyak” yang akan membela kepentingan rakyat Aceh. Pada saat itu, agaknya pamor seorang militer yang kharismatik kembali dirindukan.

Demikianlah, panggung politik tersibak kembali. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (keduanya menjadi menteri dalam kabinet Gotong Royong) menghimpun simpati banyak orang. Publik bahkan memplesetkan nama mereka secara positif sebagai penawar dahaga: ”Minum Es Beye dan Juice Kalla”. Popularitas mereka terdukung dengan janji tidak akan menaikkan harga BBM sebagai salah satu idaman rakyat. Tentu saja, posisi Megawati terancam. Akhirnya terbukti, SBY-JK berhasil memperoleh dukungan mayoritas, meskipun dicalonkan oleh partai minoritas: Partai Demokrat. Kekuatan Golkar, konstituen Jusuf Kalla menjadi pondasi yang meyakinkan.

Bagaimana dengan suksesi yang akan berlangsung pada 2009 nanti? Suasana hangat itu sudah terasa sejak sekarang. Apakah SBY akan tetap berduet dengan JK? Praduga tentang kebersamaan mereka atau justru menjadi kompetisi pernah diangkat oleh Parle beberapa edisi yang lalu. Kembali kita akan dihadapkan pada situasi yang sulit ditebak. Kembali kepentingan lebih didahulukan ketimbang persahabatan.

Namun, bukan antara mereka berdua saja yang berambisi untuk duduk di puncak pemerintahan. Masih ada sejumlah pesaing yang justru sebagian di antaranya merupakan wajah lama, mantan presiden pada periode lalu. Bagi para politisi, partai politik, dan pejabat yang sekarang masih aktif, persaingan itu terasa wajar saja. Sementara itu, rakyat yang selalu menjadi modal pijakan perjuangan kaum elite itu sudah mulai pesimis dengan masa depan negara dan bangsa ini. Kegagalan para pemimpin itu seharusnya menjadi cermin untuk mengubah sikap dan memberi kesempatan bagi generasi berikutnya menjalankan gagasan-gagasan bernegara yang mungkin lebih baik.

Saat ini kita kembali membaca nama-nama lama seperti: Gus Dur,  Megawati, Wiranto, Akbar Tanjung, dan tentu saja Susilo Bambang Yudhoyono serta Jusuf Kalla. Lalu muncul tokoh yang terlampau percaya diri seperti Sutiyoso, dan figur yang telah berulang kali didorong untuk tampil ke depan, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono X. Kalau masih berkelindan di sekitar nama-nama itu, rasanya rakyat sudah tahu kualitas seperti apa yang akan dihasilkan sebagai pemimpin. Persoalannya, tak ada dukungan secara meyakinkan bagi generasi berikutnya untuk menggantikan mereka.

Menarik, pendapat yang pernah disampaikan oleh Garin Nugroho, bahwa politisi generasi muda yang kini duduk di kursi eksekutif, legislatif, dan judikatif adalah kaum yang kenyang oleh teori selama 32 tahun. Ketika harus mempraktikkan aspirasi mereka di kancah politik, tak ada pengalaman yang memadai, sehingga yang muncul adalah kegagapan tanpa keberanian mengambil keputusan.

Tampaknya, kondisi itulah yang membuat segelintir politikus sekaligus pengusaha segera mengambil kesempatan. Uang mereka cukup untuk propaganda dan membujuk simpati rakyat dengan berbagai cara. Sutiyoso, mantan Gubernur DKI, sepagi mungkin mengibarkan orasi di mana-mana, bahwa dirinya siap mencalonkan diri sebagai pemimpin negeri. Dalam dunia politik, optimisme seperti itu sah-sah saja. Dari tengah Pulau Jawa, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, juga sejak awal mengisyaratkan tak akan melanjutkan sebagai pemimpin provinsi periode berikutnya karena ingin konsentrasi terhadap masalah nasional. Ada apa sesungguhnya di balik sikap kerendah-hatiannya itu? Kini bahkan memancing reaksi dengan mengatakan: ”Kalau belum ada partai yang melamar, berarti tidak dikehendaki rakyat.”

Dari kaum pengusaha berbeda lagi cara beriklannya. Sutrisno Bachir, Ketua Umum Partai Amanat Nasional bergerak menggunakan momentum seabad Kebangkitan Nasional. Secara serentak, hampir semua stasiun televisi menayangkan iklan aktualisasi dirinya dengan jargon: ”Hidup adalah Perbuatan”, yang dipetik dari sajak Chairil Anwar. Dalam iklan lebih dari 30 detik itu, tampil Sutrisno bersama istrinya ingin membela masa depan anak-anak bangsa. Ratusan, bahkan mungkin ribuan banner dengan foto wajahnya menghiasi jalan-jalan di berbagai kota di Indonesia. Tentu tidak sedikit uang yang digulirkan untuk membiayai aksinya itu. Adakah terpikir bahwa akan lebih nyata tindakannya apabila biaya iklan itu dialihkan menjadi biaya pendidikan anak-anak terlantar dan modal kerja para pengangguran? Jadi, ”perbuatan” apa yang sedang dijanjikan Sutrisno Bachir?

Siapa tahu, diam-diam Aburizal Bakrie, sebagai orang terkaya di Indonesia versi Majalah Globe Asia (2008), juga akan menyusun strategi untuk menjadi orang nomor satu. Tinggal mata jernih rakyat dan hatinurani wakil rakyat (yang kini dinilai ambruk moralnya akibat ulah negatif sejumlah oknum), yang akan menilai. Sungguh sulit sekarang mencari figur yang betul-betul membela rakyat dan memimpin dengan keteladanan. Bukan semata dengan iklan!

Tentu saja, popularitas kadang-kadang perlu dibangun dengan cara politis. Seperti halnya yang dilakukan oleh Barack Obama. Pidatonya menyatakan bahwa ia akan membela Israel, sebagai tindakan mencari simpati kaum Yahudi. Meski dengan risiko ada antipati dari kaum  Muslimin dunia. Nah, bagaimana para elite politik Indonesia akan bermain?

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home