Tuesday, May 13, 2008

Momentum Seabad Kebangkitan Nasional

Seratus tahun Kebangkitan Nasional (1908-2008) seharusnya menjadi gerakan bagi semua elemen bangsa. Kadang-kadang, sebagai manusia Indonesia, perlu retorika pemicu untuk menyemangati diri sendiri agar lekas bangkit dari keterpurukan dalam banyak hal. Sudah terlampau berat beban yang menindih bangsa kita, dari sisi politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, bahkan mungkin kemerdekaan.

Tentu saja, tidak seluruh yang direncanakan menjadi kenyataan, atau sebaliknya, yang tidak kita rancang justru terjadi, seolah sebuah kebetulan atau hadiah (given) yang kemudian bergulung membentuk bola salju. Dalam salah satu perbincangan, ketika M. Fadjroel Rachman berseloroh terhadap Budiman Sudjatmiko mengenai kepindahannya dari Partai Rakyat Merdeka (PRD) ke tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI), ada pertanyaan menggelitik: “Mau apa masuk ke sebuah organisasi tempat para orang tua tidak melakukan regenerasi?” Tentu yang dimaksud, Megawati saja masih ingin menjadi presidan lagi, kapan giliran kaum muda memegang posisi pemimpin?

Budiman hanya tertawa dan mengatakan bahwa ketika gerakan Boedi Oetomo dimulai, saat itu justru tidak terpikir akan menjadi semacam trigger yang bermuara pada persiapan kemerdekaan. Namun demikian, pada akhirnya kita menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak dapat kita nilai dari niatnya. Seumpama gunung es, “niat” yang tak terlihat begitu besarnya terendam dalam lautan, tinggal sedikit ujungnya yang muncul di permukaan. Dalam salah satu pelatihan Rhenald Kazali, sekali waktu, unjuk kerja lebih penting ketimbang cita-cita besar yang hanya tersimpan dalam pikiran. Meskipun, kapal semegah Titanic di awal abad 20 tenggelam olehpandangan” yang keliru tentang gunung es.

Seberapa besar keinginan bangsa Indonesia untuk bebas dari belenggu penjajah, tentu terhimpun dari yang kecil dan sedikit. Tiga ratus lima puluh tahun dalam usia manusia dapat mencakup 3 sampai lima generasi. Pasti banyak di antara rakyat Indonesia yang lahir dan mati sebagai terjajah, namun kita tak dapat menganggapnya sebagai kemalangan. Barangkali lebih malang rakyat jelata kaum grassroot yang tak pernah mengenyam kebahagiaan justru selama Indonsesia merdeka.

Sepanjang pengalaman setiap pergerakan, di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan yang menjadi alas pijakannya. Kaum intelektuil semacam Mohamad Yamin dan Soekarno (di antara yang banyak) telah sanggup merumuskan strategi, prosedur administrasi kenegaraan, dan membakar semangat orang lain melalui bahasa retorika, untuk bersama-sama mencapai harapan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan Belanda sebagai penjajah, masih dapat dipetik manfaatnya ketika berdiri pada sisi keilmuan. Sekolah Teknik (yang menjadi cikal bakal Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung) tidak kecil peranannya dalam membentuk sosok dan pribadi anak bangsa berpendidikan.

Dua puluh tahunan sebelum kemerdekaan masih banyak hambatan pergerakan (walau sudah dirintis oleh Boedi Oetomo, disusul Muhammadiyah yang berakar pada agama) karena masing-masing wilayah di Nusantara (yang pernah dipersatukan Majapahit dan Sriwijaya), seolah memiliki kepentingan masing-masing untuk menjadi (suku) bangsa yang bebas. Kita tentu ingat dengan organisasi kedaerahan semacam Jong Java, Jong Sunda, Jong Ambon, dan seterusnya.

Politik devide et impera yang berhasil dari pihak penjajah (Belanda) terus meninggalkan jejak. Ironinya, siasat dan strategi yang dulu telah memecah-belah bangsa, kini sering digunakan oleh kaum politisi Indonesia. Wajar jika sebuah partai terbelah oleh perbedaan kecil yang terasa besar, kemudian beranak-pinak menjadi partai-partai turunannya. Semua ini sesungguhnya justru membingungkan rakyat yang hendak menitipkan aspirasi mereka.

Dari sisi budaya, Leon Agusta, seorang penyair senior yang tahun ini hendak merayakan ulang tahunnya ke-70, setuju dengan ungkapan Sutan Takdir Alisyahbana (STA). Ia merasa terlambat mengenal pujangga itu, di tahun 1963, padahal pemikiran STA sangat jernih memandang masa depan bangsa. Menurut STA, sastra adalah buah dari bahasa. Dengan demikian bahasa adalah sebuah pohon yang seharusnya tumbuh di tanah budaya.

Leon Agusta lebih lanjut mengatakan bahwa sudah saatnya semua yang merosot itu dikembalikan pada kebenaran. Sudah saatnya antropologi kebudayaan dipelajari lebih mendalam, terutama dalam institusi  resmi yang mengajari mahasiswa tahu persis setiap hal pada posisinya. Dikaitkan dengan seratus tahun kebangkitan nasional ini, menurut Leon Agusta: “Jika kita ingin berhasil menggapai masa depan, kita harus jujur di hadapan sejarah. Sebab jika kita masih berdusta, akan lahir banyak dusta berikutnya untuk menutupi dusta-dusta sebelumnya. Dan selamanya kita taka akan meraih kebenaran masa depan.”

Pada kesempatan lain, Garin Nugroho pernah menyampaikan bahwa untuk menjadi orang hebat dalam bidangnya, kuasailah kepandaian lokalitas. Artinya, seorang intelektuil Jawa setidaknya menguasai kebudayaan dan tradisi kejawaannya. Setelah itu, menurutnya, bikinlah jarak dengan cara memasuki pengetahuan global, misalnya belajar di luar negeri (dapat juga memetiknya dari pelbagai buku). Ketika dia kembali sebagai putra daerah, atau kembali sebagai manusia Indonesia, kemampuan untuk mengatasi masalah lebih terasah. Bahkan karya-karyanya akan mewujudkan nilai yang lebih universal meski berakar pada budaya ibunya.

Mari kita dengar pendapat kaum yang lebih muda. Ine Febriyanti, artis yang cukup cerdas, antara lain menjadi pemeran utama dalam film psikologis Beth dan Novel Tanpa Huruf R, merasa sedikit apatis menghadapi kebangkitan ”yang kedua” ini. ”Bangsa kita sudah sangat tipis rasa nasionalismenya. Pengaruh luar, terutama Barat, begitu besar merasuk ke setiap sendi kehidupan, sehingga kita lupa pada jati diri bangsa. Makanya saya salut dengan Deddy Mizwar, melalui karya filmnya masih berusaha mengingatkan kita pada identitas Indonesia.”

Ine Febrianti sebenarnya memiliki ibu blasteran, tetapi lantaran lama tinggal dan bersosialisasi dengan masyarakat Jawa (di Magelang), merasa dirinya berakar di sana. ”Dari hal-hal kecil, saya mengajari anak untuk mengenal bahasa Ibu, bahasa Jawa. Juga memberi tahu secara pelan-pelan tentang pahlawan, misalnya lewat gambar di mata uang kita. Waktu Pak Harto meninggal juga saya ceritakan tentang siapa dia.” Demikian upaya Ine, ibu dua anak yang sebentar lagi memiliki buah hati ketiga. Ia sangat setuju dengan anjuran Bung Karno agar kita terus menjaga jati diri bangsa, karena itu modal kita untuk berdiri di depan bangsa lain.

Bangkit kembali atau tidak, biarlah roda perjalanan bangsa tetap berputar. Setiap orang akan berbeda pendapat. Namun setiap orang juga wajib berbuat untuk kebaikan negaranya. (Kurnia Effendi)