Diah Hadaning dan Tirta Baskara
(Catatan ulang tahun bagi Diha)
Perjalanan hidup seorang manusia terjadi karena pilihan demi pilihan. Untuk pernyataan ini, saya teringat novel Mimpi-Mimpi Einstein karya Alan Lightman yang diterjemahkan oleh Yusi Avianto Pareanom. Di sana ada bab ketika Einstein menceritakan tentang seorang ibu sedang menasihati anaknya yang dilanda asmara. Nasihat itu mungkin akan dituruti atau ditolak oleh sang anak. Salah satu pilihan akan melanjutkan sejarah kehidupan sang anak yang tentu berbeda dengan pilihan lainnya.
Demikian pula dengan Diah Hadaning yang berulang tahun ke-68 pada tanggal 4 Mei 2008. Usia yang tak ringkas untuk sejarah panjang seorang wanita yang sejak awal telah memilih sastra sebagai “jalan hidup”. Perempuan yang tetap menjalani kodratnya sebagai istri, ibu, dan nenek (karena telah memiliki beberapa cucu), tak pernah risau dengan hasil yang tak memadai secara finansial dari buku-buku puisinya.
Bila kita dengar penuturannya tentang motivasi yang menjadi obor perjalanannya, kita
Penyair yang dipanggil akrab Mbak Diha oleh sejumlah sahabat, konon memiliki shio Naga, yang salah satu sifatnya adalah gemar berkumpul dengan banyak orang. Salah satu buktinya tentu saja komunitas yang menjadi tem
Mungkin setiap penyair Jabotabek mengenal Diah Hadaning bukan sekadar penyair angkatan Piek Ar
Kini Diah Hadaning telah memiliki sekitar 35 buah buku, 11 di antaranya merupakan antologi puisi tunggal, juga novel. Kumpulan puisi bersama para penyair Depok yang diterbitkan paling anyar adalah Gong Bolong (2008). Puisinya yang pertama dibaca oleh publik termuat di Harian Simfoni tahun 1973. Sejak itu ia rajin berkarya, mulai dari
Bicara tentang penghargaan, pertama kali datang justru dari mancanegara. Manuskrip Surat dari Kota yang memuat 100 puisi menda
Em
Sebagai saksi zaman, tentu saja pengalamannya bersastra di bawah pemerintahan lima Presiden Republik Indonesia, tak akan lepas dari situasi politik yang memengaruhinya. Dalam pengakuannya, Diah Hadaning punya 3 buku manuskrip antologi puisi bertema reformasi, masing-masing berisi 50 pucuk sajak. Cukup luas tema yang digarap dalam puisi Diha, karena ia juga bercerita tentang perjalanan, perjuangan wanita, lingkungan hidup, dan kisah anak manusia dari kawasan manapun.
Sepanjang yang saya kenal, Diah Hadaning tak pernah neko-neko. Tetapi ada satu obsesinya yang belum terlaksana dan membuat saya terperangah sekaligus salut. “Dik, seandainya Tuhan memberi saya umur dan diparingi kekuatan, saya ingin memiliki padepokan kecil di pinggiran Jakarta atau Bogor yang da
Alangkah mulianya cita-cita itu, namun tentu tak semudah membalikkan tangan bagi penyair sederhana seperti Diah Hadaning. Ia melanjutkan ucapannya di tengah ketermenungan saya. “Saya menawarkan pertunjukan 1 jam, harmonisasi antara puisi, teater, gending Jawa, tari, dan tembang, yang mengangkat kisah Kesaksian Anak Perempuan Ki Suto Kluthuk. Nah, siapa yang berani membayarnya 1 miliar rupiah?”
Mudah-mudahan ada yang membaca “jejak” ini dan mudah-mudahan ada pengusaha dermawan yang lantas mengulurkan tangan untuk merealisasikan obsesi Mbak Diha. Toh hasilnya akan digunakan mambangun tem
Diah Hadaning saya nilai sosok yang kuat lahir dan batin. Tak hanya tulisannya yang mengembara ke mana-mana sebagi tutur, melainkan fisiknya juga senang berkelana baik sebagai undangan atau keinginan sendiri. Apa resepnya agar tetap bugar, Mbak?
“Minum tirta-baskara, Dik.” Ia membuka rahasia. Ketika saya mengartikan tirta sebagai air dan baskara sebagai matahari, Diha membenarkan. “Saya menyimpan air dalam botol warna hijau yang dijemur seharian, kemu
Sesederhana itu? Sebenarnya demikian yang dilakoni Mbak Diha sejak usia 35 tahun. Resepnya diperoleh dari koran Buana Minggu melalui tulisan seorang lelaki yang sudah berusia 108 tahun kala itu. Mari kita coba dan melakukannya dengan disiplin.
Pantaslah saya suka kaget jika menelepon Mbak Diha. Kadang di
“Sungguh Dik, saya merasa terlahir kembali. Lepas dari beban, lega dan punya gairah hidup yang baru,” begitu Diha mengaku setelah berziarah di makam
(
***
0 Comments:
Post a Comment
<< Home