Monday, June 09, 2008

Menuju Keselamatan Bumi

Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni, telah berlalu. Apakah kita menyadari benar bahwa Bumi ini betul-betul sedang menderita? Atau semua itu sakadar seremoni? Seperti juga ketika kita memperingati Hari Ibu dan Hari Kartini di sekolah yang dikaitkan dengan anjuran kepada perempuan untuk mengenakan kebaya. Spirit permukaan itu tak sampai mengendap ke dalam hati. Masyarakat Indonesia umumnya lebih mengedepankan perilaku fisik, tidak bersumber dari pikiran dan hati nurani, yang membuat seluruh perbuatan hanya tampak oleh publik, namun tak benar-benar mencerminkan integritas.

Menjelang Hari Kemerdekaan, umumnya seluruh penduduk berusaha menghias kampung mereka dengan dekorasi berwarna merah dan putih. Tetapi, tahukah mereka, bahwa di kalangan yang paling dekat dengan kelas bawah masih belum benar-benar merdeka dari kemiskinan dan kebodohan. Bahkan bangsa kita mulai ”dijajah” kembali oleh budaya Barat yang menyerbu dengan deras.

Mari kita kembali membicarakan tentang lingkungan hidup. Mungkin kita perlu mengenal Gaylord  Anton Nelson (4 Juni 1916-3 Juli 2005), seorang politikus Partai Demokrat Amerika dari Wisconsin, yang mencetuskan Hari Bumi (Earth Day) pada 22 Desember 1970. Nuraninya terpanggil saat melihat (menyadari) betapa kotor dan cemarnya Bumi oleh ulah manusia. Lalu ia mengajak para LSM untuk mencurahkan perhatian pada satu hari untuk memelihara Bumi dari kerusakan. Sesungguhnya, secara jujur, perhatian sehari untuk tanah tempat kita berpijak tidak menghasilkan sesuatu yang optimal, kecuali kesadaran itu dibangun terus-menerus dan dilaksanakan setiap hari.

Dari Hari Bumi menuju ke Hari Lingkungan Hidup, terpaut 2 tahun. Pada tanggal 5 Juni 1972, melalui konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa di Stockholm, seluruh negara anggota dilibatkan dalam upaya memelihara lingkungan yang sehat. Prof. Dr. Emil Salim mewakili Indonesia hadir di sana. Kini, 36 tahun kemudian, peringatan Hari Lingkungan Hidup disosialisasikan secara marak di Indonesia.

Global Warming yang akhir tahun lalu dibicarakan berhari-hari di Bali, adalah salah satu kondisi mengenaskan dari Bumi kita. Pelbagai agenda direkomendasikan untuk menyelamatkan planet yang paling memadai untuk berlangsungnya kehidupan ini. Tak lama sesudahnya, program menanam sejuta pohon dimulai, dipimpin langsung oleh Ibu Presiden RI, Ani Yudhoyono, di Bogor dan berbagai tempat di Indonesia.

Industri otomotif Toyota, yang berkontribusi terhadap pemanasan global berusaha menjadi pionir dengan program Green Day (sejak Juni 2006). Bukan hanya hijau di Bumi, melainkan juga memproklamasikan Toyota Eco untuk dunia dan melakukan gerakan Action for Green untuk lokal Indonesia. Salah satu praktiknya, selain meremajakan pepohonan, juga merancang sebuah mobil yang ramah lingkungan dengan nama Toyota Prius Hybrid, dengan bahan bakar kombinasi antara BBM dan baterai. Di saat berpacu di jalan raya, BBM yang beroperasi, sedangkan ketika berhenti berubah menjadi energi listrik yang tak menghasilkan polusi. Di Indonesia, mobil itu dimiliki oleh Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar. Toyota juga meminjamkan mobil sedan sejenis, 1500 cc, kepada Ratih Sanggarwati selama satu bulan untuk diminta komentarnya.

Kampanye Toyota lebih lanjut adalah Green Dealers dan banyak aksi lain yang merujuk pada lingkungan sehat. Sementara The Body Shop sejak awal mengklaim sebagai produk kecantikan yang against animal testing dan menggunakan paper-bag yang akan hancur sendiri pada waktu tertentu. Banyak perusahaan besar dengan kecenderungan memberikan limbah yang merusak lingkungan berlomba untuk turut menjaga Bumi dari kerusakan. Salah satunya melibatkan artis Bunga Citra Lestari dengan semboyan Reduce, Reuse, Recicle.

Di radio, unjuk kesadaran itu dilakukan dalam banyak cara. Dengan mengajak komunikasi pendengarnya (terutama kaum muda usia sekolah) dalam sharing pendapat, tampak respon mereka sangat positif. Muncullah perubahan perilaku yang berangkat dari hal-hal kecil, misalnya: kebiasaan minum softdrink dengan plastik berubah minum dari botolnya, sehingga tak perlu menyampah. Penggunaan kertas bekas (bagian sebaliknya yang kosong) untuk menulis notulen atau fotokopi internal di kantor-kantor sesungguhnya dilakukan terkait dengan krisis ekonomi sepuluh tahun yang lalu. Sedangkan Rieke Dyah Pitaloka, dalam pengakuannya, mulai rutin mematikan lampu di rumah di saat tak diperlukan. Anjuran untuk mematikan televisi jika tidak sedang ditonton—sementara  banyak keluarga yang terus menyalakan televisi siang dan malam—juga  termasuk upaya menghemat energi.

BBM naik, tentu tidak semata karena harga minyak dunia semakin tinggi secara teknis, biaya produksi, dan politik, tetapi karena kenaikan itu salah satunya berawal dari langkanya sumber alam. Bayangkan jika bahan bakar yang diolah dari tetumbuhan juga akan membuat lahan hutan lindung berubah fungsi. Apalagi jika suatu saat terjadi persaingan antara kebutuhan air bagi manusia dan bahan bakar jenis hydro yang mengandalkan sumber air...

Kini banyak ditemui garis-garis putus marka jalan warna kuning menghias tepi jalan komplek kampus UI Depok dan kawasan wisata Ancol. Itu adalah pembatas untuk pengguna sepeda. Agaknya budaya hemat energi akan dimulai dari lingkungan intelektual, dengan menyediakan sepeda di ”terminal awal” bagi para mahasiswa. Mereka akan mengendarai sepeda yang ditaruh di ”terminal tujuan”, yakni gedung fakultas tempatnya kuliah. Sepeda itu akan kembali ke ”terminal awal” oleh mahasiswa yang usai kuliah. Begitu seterusnya.

Sangat mengharukan ketika ada kebiasaan baru di beberapa komplek perumahan, para pemungut sampahnya menggunakan sepatu roda. Ada pula kaum muda yang secara sadar berusaha tidak konsumtif, dengan masih mengenakan tas, sepatu, jaket yang mereka beli beberapa tahun lalu. Unilever juga sedang gencar membagi hadiah tas yang dibuat dengan bahan daur ulang bagi pemenang peserta kuis radio. Dan di kantor Indomobil, sedang dilakukan on-off air conditioning pada waktu istirahat.

Memang berat untuk mengkompromikan antara kebutuhan para pengusaha dalam memasarkan produknya dan pelanggan yang harus berhemat bukan saja terkait ekonomi tetapi lebih kepada masalah lingkungan. Dikhawatirkan, tak sepenuhnya menjalankan dengan hati, sehingga perilaku seperti itu semacam fashion, propaganda yang juga akhirnya hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Ingat kembali pada nasihat Aa Gym beberapa tahun lalu: marilah kita mulai dari diri sendiri, dari hal-hal kecil, saat ini juga. Contoh sederhana yang mudah diterapkan adalah mandi dengan shower akan lebih menghemat air ketimbang menggunakan gayung.

Go green! Save our Earth! Start right now!

(Kurnia Effendi)

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home