Monday, June 16, 2008

Sikap Ksatria Calon Pemimpin

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang bersiap-siap untuk kembali menyelenggarakan perhelatan besar. Sebagai negara yang berusaha menjalankan asas demokrasi, Indonesia telah mengalami pembelajaran politik dari tahun ke tahun. Melalui berbagai perubahan undang-undang tentang pemilu dan undang-undang tentang partai politik, lahirlah calon-calon pemimpin dengan aneka karakter.

Tahun 2009 sudah di ambang pintu, meskipun dalam hitungan bulan masih satu semester lagi, namun kehangatan situasi politik sudah terasa. Bagi Indonesia, suksesi atau pemilihan umum adalah kegiatan rutin  5 tahunan (kecuali ada peristiwa khusus yang membuat agenda berubah, seperti yang terjadi tahun 1966 dan 1998). Antisipasi yang dilakukan oleh lembaga komisi seyogianya berpijak dari pengalaman sebelumnya.

Fairness adalah salah satu syarat yang dijunjung tinggi dalam pemilihan umum legislatif. Pendidikan untuk mencapai tata-etika politik yang disusun oleh masing-masing partai politik harus sehat sejak awal. Ambisi untuk ikut mengendalikan arah perjalanan negara harus dibarengi dengan niat mengemban aspirasi rakyat seluas-luasnya. Dalam hal ini, KPU berfungsi menjadi juru-ramu aturan main, penyelenggara pemilihan umum legislatif dengan menjaga sekaligus menjamin kelangsungan demokrasi. Dulu dikenal dengan istilah LUBER: langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Kapan partai politik boleh mulai kampanye, menawarkan program, menggelar janji, membujuk rakyat sebagai pendukung? Kapan partai politik harus menyiapkan kader-kadernya untuk mewakili suara harapan masyarakatnya? Kapan partai politik menyusun jaringan hingga ke daerah kemudian membuat master plan berupa visi dan misi? Kapan partai politik menggodok kriteria calon yang akan diunggulkan dalam kompetisi merebut kursi pemerintahan tertinggi? Rasanya, sebelum KPU secara resmi meluncurkan jadwal dan aturan main, peta percaturan politik sudah gerah. Secara alamiah, didukung oleh kepentingan-kepentingan yang tak lepas dari hasrat kelompok elit politik, semua telah bergerak lebih dini.

Lahirnya partai-partai baru di satu sisi mencoba mengisi sempalan aspirasi yang tak terwadahi. Di sisi lain dimanfaatkan menjadi kendaraan bagi pejabat tinggi masa lalu yang masih optimis berkarier di kancah politik. Tokoh-tokoh itu, hampir “tidak tidur” dengan terus berjaga-jaga baik sebagai oposan yang senantiasa mengontrol jalannya pemerintahan atau sebagai pembidik yang menanti kesalahan penyelenggaraan negara. Suhu tinggi yang kini makin dirasakan sampai pada kelompok-kelompok kecil masyarakat akan menjadi pihak yang kritis terhadap aturan main pemilihan umum. KPU patut waspada dan betul-betul menjaga kinerja agar setiap prosedur yang ditetapkan merupakan produk yang tidak bercelah menjadi potensi masalah. Sejumlah problem yang timbul dalam pilkada harus dijadikan cermin.

Lepas dari kesiapan KPU dan berbenahnya partai-partai politik melalui konsolidasi, ada yang perlu diamati dari sikap mental para pemimpin kita. Mungkin ada baiknya kita belajar dari negara yang sudah jauh lebih demokratis dan menjunjung tinggi sportivitas dalam kompetisi tingkat tinggi. Amerika Serikat adalah negara adidaya yang proses pemilihan umumnya dipantau oleh seluruh dunia. Kita tahu persis bagaimana seru dan panasnya persaingan antara Hillary Clinton dan Barack Obama dalam memperebutkan kursi senator dari Partai Demokrat. Friksi yang tajam di antara keduanya ibarat sepasang musuh yang ingin saling menghancurkan. Kebetulan, keduanya mengusung sejarah baru: calon presiden wanita pertama dan calon presiden kulit hitam pertama, untuk Amerika Serikat.

Berbagai isu dilontarkan untuk menarik simpati rakyat, dari setiap negara bagian. Lantas, ketika akhirnya Barack Obama memenangkan suara sebagai senator yang mewakili Partai Demokrat, bagaimana bunyi pidato Hillary Clinton?

“I wanted you to be one of the first to know: on Saturday, I will hold an event in Washington D.C. to thank everyone who has supported my campaign. Over the course of the last 16 months, I have been privileged and touched to witness the incredible dedication and sacrifice of so many people working for our campaign. Every minute you put into helping us win, every dollar you gave to keep up the fight meant more to me than I can ever possibly tell you.

On Saturday, I will extend my congratulations to Senator Obama and my support for his candidacy. This has been a long and hard-fought campaign, but as I have always said, my differences with Senator Obama are small compared to the differences we have with Senator McCain and the Republicans.

I have said throughout the campaign that I would strongly support Senator Obama if he were the Democratic Party's nominee, and I intend to deliver on that promise.”

            Betapapun kerasnya persaingan mereka berdua sebelum ditentukan pemenangnya, ketika akhirnya Hillary terbukti kalah, ia tidak turun panggung dengan membawa dendam kesumat. Ia menerima dengan ksatria. Ia “melepas jubah seteru” dan kini memosisikan diri menjadi pendukung atas nama partai yang sama. Situasi ini tentu sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia.

            Kalimat yang pernah diucapkan oleh Taufik Kiemas terhadap Susilo Bambang Yudhoyono menjelang pemilu periode lalu telah menarik simpati rakyat dan berujung dengan kemenangan SBY menjadi presiden menggantikan Megawati Soekarnoputri. Lantas apa yang kini dilakukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan saat ini? Kembali ingin merebut kekuasaan itu.

            Apa pula yang terjadi dalam tubuh Golkar ketika Jusuf Kalla menjabat sebagai Wakil Presiden RI? Seolah ada api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan menyala kembali, bukan untuk dukungan total, melainkan untuk sebuah perebutan posisi. Umumnya, sebuah partai politik atau kontestan yang kalah, lupa berterima kasih kepada pendukungnya yang juga kecewa. Mari kita simak bagian lain pidato Hillary yang elegan:  

“I made you—and everyone who supported me—a promise: to stand up for our shared values and to never back down. I'm going to keep that promise today, tomorrow, and for the rest of my life. I will be speaking on Saturday about how together we can rally the party behind Senator Obama. The stakes are too high and the task before us too important to do otherwise.”

            Ia dan pendukungnya yang sudah kalah justru menyusun kekuatan untuk bersama-sama memenangkan Barack Obama. Bagaimana sikap Abdul Ghafur ketika dikalahkan oleh pasangan Thayb Abdul Armayn dan Abdul Ghani Kasuba di Maluku Utara? Ada kesan pihaknyamenyalahkanpemerintah ketika ia meredakan gejolak pendukungnya. Artinya, dalam hal ini KPU harus siap menghadapi hal-hal serupa yang lebih besar.

Akhirnya, mari kita perhatikan penutup pidato Hillary, yang tidak mengandung bunga-bunga, namun sangat komunikatif sebagai bentuk ketulusan:

“I can never possibly express my gratitude, so let me say simply, thank you.”

            Semoga, para calon pemimpin Indonesia akan bersikap ksatria, terutama yang kalah dalam panggung kompetisi pemilihan presiden. Diharapkan pula, KPU akan memberikan kontribusi atas terbentuknya demokrasi yang bertanggung jawab sejak awal.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home