Monday, July 28, 2008

Meneropong Konflik "Kekal" Tanah Perjanjian.

Timur Tengah merupakan tanah yang kaya dengan minyak. Negeri Abunawas, tempat kisah seribu satu malam berasal, wilayah yang pernah memiliki mitos tentang karpet terbang, menjadi incaran negara-negara Barat. Bahkan sang ”polisi dunia”, Amerika Serikat, tak lepas dari pamrih minyak setiap kali campur tangan dalam konflik negara-negara Arab.

Contoh yang paling dahsyat barangkali Perang Teluk, 1991. Perang yang berakhir dengan drama antiklimaks kematian Saddam Hussein, Presiden Irak yang dihukum gantung. Sosok gagah berani yang sanggup menantang 35 negara lantaran dipicu akuisisinya terhadap Kuwait. Persoalan apa lagi selain genangan minyak Bumi yang menjadi penggerak ekonomi dunia? Namun, nama Saddam Hussein (seperti juga Reza Pahlevi) banyak menitis kepada bayi-bayi lelaki yang lahir awal tahun 90-an. Di luar sisi negatif sejarah militernya, Saddam pernah menjadi ”pahlawan” yang dikagumi.

Jauh sebelum itu dan akan memanjang berpuluh tahun kemudian, terjadi konflik yang seolah kekal, peseteruan antara Palestina dan Israel. Di kawasan itu, tumbuh tiga agama samawi yang saling berposisi kuat: Yahudi, Kristen, dan Islam. Tanah Perjanjian, yang merujuk pada penyeberangan Musa di Laut Merah, adalah bagian paling bersejarah yang menjadi keyakinan Israel sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan.

Benarkah pokok persoalan konflik itu adalah agama? Mengingat yang berseteru berada di bawah panji-panji keimanan yang berbeda kitab suci, lantas kumandang yang sampai ke seantero jagat adalah konflik agama. Mungkin hal itu akhirnya akan terkuak (sebenarnya sudah, tetapi selalu dibuat distorsi dengan propaganda yang menyesatkan). Salah satunya melalui buku Hebron Journal, yang ditulis berdasarkan catatan harian Arthur G. Gish.

Arthur yang akrab dipanggil Art, warga negara Amerika, adalah seorang aktivis perdamaian yang melawan kekejaman Israel di Palestina dengan jalan cinta dan anti-kekerasan. Dalam biodata tidak disebutkan tahun kelahirannya, tetapi ia menghabiskan masa kecil di kompleks pertanian Lancaster County, Pennsylvania. Art Gish telah berjuang di lapangan sejak 1958, bertugas sebagai pengamat bersama Brethren Volunteer Service di Eropa. Dia turut serta dalam Civil Rights Movement yang gigih di tahun 60-an. Sejak masih remaja telah menentang keterlibatan Amerika Serikat dalam setiap peperangan.

Mari kita simak salah satu catatan yang membekas dalam kerak ingatan Art Gish. Ditulis di Tepi Barat, 30 Januari 2003:

Seluruh Hebron hari ini berada di bawah kendali total militer Israel. Saat menyusuri jalan, aku segera menyadari ada keributan di Al Manara. Aku ngeri melihat kejadian di sana. Dua tank dan dua buldozer meratakan pasar sepanjang 2 blok. Bahan-bahan makanan berserakan lumat, sementara di kota ini banyak penduduk kelaparan. Para pemilik kios dengan panik mencoba menyelamatkan berkotak-kotak tomat, jeruk, pisang, dan banyak lagi jenis makanan.

Reaksi pertamaku hanyalah terpatung di sana, menangis tersedu. Pemandangan itu sangat mengerikan, menjijikkan, tak bermoral. Aku tak sanggup menahan emosiku. Aku merasa sungguh tak berdaya.

Pasar itu digelar di Al Manara karena Israel menutup pasar lama, sebagai respons terhadap pembantaian Muslim di Masjid Ibrahim, 1994. Setiap perjanjian yang dibuat sejak saat itu, termasuk hendak membuka kembali pasar itu, tak pernah ditepati oleh Israel. Bangunan itu justru dihuni para pemukim Israel.

Dalam rasa tak berdaya,  aku harus melakukan sesuatu. Kuselamatkan sekitar 12 kotak makanan dari sasaran buldoser. Lalu aku mulai menghadapi para tentara itu. Aku berteriak kepada mereka, bertanya apakah mereka bangga dengan yang mereka lakukan, apakah ini yang disebut perdamaian, apakah ini Israel yang mereka cita-citakan? Aku berseru: ”Baruch hashem Adonai!” (artinya: Terpujilah nama Tuhan!)

Tentara-tentara itu berusaha keras tak memedulikanku, tetapi aku yakin mereka mendengarku. Aku mengabaikan usiran mereka. Seorang tentara meludah ke arahku, seketika aku mendekatinya dan mempersilakannya untuk meludahiku lagi. Dia menolak tawaranku. Tiga tentara mengacungkan senapan mereka menghampiri sekelompok orang Palestina yang menonton. Aku menduga mereka akan menembak orang-orang itu. Aku segera menghambur ke hadapan tentara itu, mengangkat kedua tangan: ”Tembak aku, ayo tembak aku!” Dan tentara-tentara itu langsung menyingkir.

Sebuah tank datang menderu ke hadapanku, moncong raksasanya mengarah kepadaku. Dengan mengangkat kedua tangan ke udara, aku bedoa dan berseru: ”Tembak, tembak! Baruch hashem Adonai!” Tank itu berhenti beberapa inci di depanku.

Aku berlutut di jalanan, berdoa dengan tangan mengudara. Aku merasa sendiri, lemah, tak berdaya. Aku hanya bisa menjerit kepada Tuhan.

Buku Art (catatan sejak Desember 1995-Januari 2001) diterbitkan oleh Mizan dan didiskusikan di Universitas Paramadina dengan mendatangkan penulisnya. Selain diskusi, diselenggarakan juga workshop mengenai gerakan anti-kekerasan dengan Art sebagai narasumber. Tampaknya akan sangat dibutuhkan, mengingat di Indonesia juga kerap terjadi konflik SARA, seperti di Ambon dan Poso. Makarim Wibisono dari Kementerian Deplu yang ahli mengenai Timur Tengah hadir sebagai pembahas. Ia merangkum isi buku secara sistematis dan memuji kesaksian Art sepanjang perjuangannya. Menurutnya hukum yang berjalan di Hebron tidak adil karena selalu menguntungkan Israel. Suhadi, peserta dari Deplu, menengarai adanya sinyalemen ketakutan yang mengakar di kalangan bangsa Arab jika Palestina merdeka. ”Mereka orang-orang pintar yang akan menguasai kawasan Arab.”

Dalam gambaran Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina), tentu ada satu generasi yang dalam tiga puluh tahun terakhir dilahirkan dan dibesarkan dalam tenda, lalu mengantar jenazah kakek-neneknya dari kehidupan tenda itu. Di podium, sebagai keynote speaker, Anies membacakan sepenggal puisi Taufik Ismail yang berjudul: ”Palestina, bagaimana mungkin aku melupakanmu”. Sebuah puisi kesaksian, ketika sang penyair memasuki Hebron, jantung wilayah yang kemudian memberikan parasaan luka berbeda dari yang selama ini didengar melalui berita jarak jauh.

Putut Widjanarko membuat paragraf pertama pengantar buku Hebron Journal, dengan sangat mencekam. Sebuah fragmen yang lantas diabadikan dari sebuah foto dokumentasi ke dalam sampul buku.

Hari itu, di sebuah Jumat di tahun 2003, beredar kabar di masyarakat Muslim di Athens, kota kecil di bagian tenggara negara bagian Ohio, AS, bahwa Art Gish melakukan tindakan luar biasa di Palestina beberapa waktu sebelumnya. Tak tanggung-tanggung, ia menghadang tank Israel yang berniat menghancurkan pasar orang Palestina, hingga moncong tank itu berhenti hanya beberapa sentimeter dari mukanya. Belakangan, ketika duduk bersamanya di pojok ruang utama gedung Islamic Center seusai shalat Jumat, saya tanyakan mengenai keberaniannya itu. Saya lupa jawaban persis Art, kira-kira begini: Keberanian itu datang dari Allah, dan saya hanya merespons apa yang hanya dan harus saya lakukan saat itu. Tak kurang dan tak lebih.

Sementara, yang kita pahami secara politik, Palestina mewakili kelompok muslim yang dikonotasikan sebagai teroris. Dibutuhkan dekonstruksi mitos Tanah Perjanjian dan informasi yang jujur, serta dukungan yang dibutuhkan untuk mencapai perdamaian. Tidak hanya berdoa dari jauh atau mengagung-agungkan proses perundingannya.

(Kurnia Effendi)