Sejarah, Tradisi, dan Realitas Urban
Jakarta sebagai ibukota negeri tentu Jakarta yang dipenuhi kaum urban. Sebagai kota metropolitan yang memiliki wajah stereotip dengan kota-kota besar dunia lain, nyaris kehilangan identitasnya. Hampir seluruh kegiatan menyangkut ekonomi, politik, dan sosial, terpusat di Jakarta, terutama sebelum otonomi daerah dicanangkan. Budaya yang tumbuh di kota Jakarta merupakan akulturasi dari pelbagai karakter manusia penghuninya. Kenyataan itu membuat Jakarta memang milik semua orang Indonesia. Namun demikian, apakah Jakarta tidak memiliki akar budaya sendiri yang berhak untuk dilestarikan?
Pertanyaan ini menggelitik panitia JILFest (Jakarta International Literary Festival) yang diselenggarakan oleh Komunitas Sastra Indonesia bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Permuseuman DKI Jaya. Perhelatan yang akan berlangsung 11-13 Desember 2008 ini akan berlokasi di kawasan Kota Tua Jakarta. Ini merupakan penyelenggaraan pertama yang mudah-mudahan akan berlanjut secara berkala. Pada kesempatan perdana ini, panitia ingin mengingatkan kita semua, bahwa Jakarta memiliki sejarah panjang yang tilasnya dapat dipandang secara nyata.
Tema Jakarta dan Kota Tua itu pula yang melatari lomba cerpen internasional JILFest. Untuk memeriahkan sekaligus memberikan sosialisasi kepada peminat sastra dunia, lomba menulis cerpen itu diselenggarakan, melengkapi agenda JILFest yang cukup padat. Sayangnya, pesertanya tidak seluas yang kami bayangkan, karena masih sebatas Asean. Mungkin karena harus ditulis dalam bahasa Indonesia.
Menggembirakan, sekitar 380 cerpen dari 362 penulis, mengirimkan karyanya. Meskipun tema cukup membatasi ruang lingkup penulisan, namun justru muncul aneka ragam kemungkinan cerita tentang Jakarta. Meskipun ada yang sekadar menempelkan Jakarta tanpa kekuatan emosi sebagai karakter cerita, ternyata setiap pengarang berupaya untuk menyentuh citra Jakarta sesuai yang dikenalnya.
Dewan juri masing-masing membaca ke-380 cerpen yang masuk tanpa terkecuali, karena ingin mendapatkan penilaian yang lebih mendalam. Bagaimanapun selalu tak lepas dari selera subyektif. Kami, Hamsad Rangkuti, Sunu Wasono, dan Kurnia Effendi, di bawah koordinasi Ahmadun Yosi Herfanda; mencoba bersetia pada kriteria yang ditetapkan. Pertama, cerpen itu harus ditulis sesuai tema. Kedua, masalah kemampuan berbahasa sebagai dasar seseorang menyampaikan gagasan secara komunikatif dan benar menurut aturan EYD (Ejaan yang Disempurnakan). Ketiga, mengenai teknik bercerita yang berkaitan dengan majas, sudut pandang, penokohan, dll. Keempat, adalah inovasi dan orisinalitas; sesuatu yang tak mudah ditemukan.
Gugurnya satu demi satu cerpen peserta umumnya oleh kegagalan menyampaikan gagasan. Kebanyakan terkesan menulis terburu-buru dan tidak membaca ulang sehingga dari sisi penampilan sudah berantakan. Jam terbang menentukan bagaimana sebuah cerita mengalir lancar dan menampilkan daya pukaunya sendiri. Namun, bukan berarti semua penulis senior berhasil menemukan emosi yang pas untuk sebuah karya lomba. Agaknya, pertemuan antara ide dan cara berkisah membutuhkan harmoni dengan bekal emosi yang terjaga. Pengarang diuji untuk tetap berposisi sebagai jiwa yang memainkan tarik-ulur antara keinginan terlibat dan keberjarakan. Akhirnya, logika dan realitas (bahkan untuk cerita fantastik sekalipun) menempati urutan pertama yang perlu dikaji dan dipertimbangkan. Kreativitas yang tidak menemukan porsi penggarapan secara matang, justru hadir ganjil dalam ”perasaan” pembaca—termasuk dewan juri.
Dengan rapat yang tidak memerlukan baku-hantam pendapat, kami telah memutuskan 6 pemenang. Selain itu, kami juga memilih 24 cerpen yang hendak dibukukan. Rupanya, meskipun masing-masing mengajukan nominasi, sang mutiara begitu lekas diperoleh. Pembahasan panjang mengenai cerpen-cerpen pemenang akan diuraikan dalam halaman yang lebih tepat. Di sini kami hanya ingin mempertanggungjawabkan secara garis besar saja.
Pemenang pertama, selain kuat pada tema, juga memiliki keprihatinan khusus terhadap budaya tradisi Betawi, tanpa harus berteori. Pemenang kedua mencoba membongkar sejarah Batavia di masa kolonial dengan fragmen yang memesona. Pemenang ketiga, sesuai dengan judulnya yang terkesan retorik, menyajikan nuansa pembauran antartradisi yang terjadi di Jakarta (diwakili Betawi dan Tionghoa). Pemenang harapan pertama menyampaikan realitas ironis yang terjadi hari ini di kawasan kota tua. Pemenang harapan kedua mewakili kerinduan seseorang terhadap masa lalu. Dan pemenang harapan ketiga menggarap suasana rutin kaum urban pekerja kantoran yang berkereta api.
Selanjutnya, ke-24 cerpen yang dipilih, berusaha melengkapi aneka ragam gagasan pengarang, mulai dari yang memilukan (tanpa harus terisak) sampai hal-hal lucu yang patut disimak karena karib dengan keseharian kita.
Mudah-mudahan pilihan kami sesuai dengan dua harapan: (1) Sekalipun sederhana, bercerita tentang Jakarta seperti tak ada habisnya, namun ada sisi unik yang membuat kita tertegun saat membacanya. (2) Sastra tetap memiliki wajah dan jiwa yang berpijak di bumi, dan terus kita cintai sebagai medium yang kaya ekspresi.
Terima kasih untuk kepercayaan yang diletakkan pada pundak kami untuk memeriksa karya-karya peserta lomba cerpen JILFest. Kami telah menjalankan secara saksama dan penuh rasa cinta. Selamat bagi para pemenang! Untuk yang belum mendapatkan kesempatan, kami kira akan menjumpai manfaatnya masing-masing atas karyanya.
(Kurnia Effendi, mewakili dewan juri)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home