Kekhawatiran sebagian besar orang yang menolak disahkannya Undang-Undang (Anti) Pornografi (dan Pornoaksi)—kini kita sebut UUP—antara lain akan mengganggu kebhinekaan bangsa Indonesia. Sejumlah pasal terasa multi tafsir, kurang jelas, dan dapat memicu konflik karena tidak secara lugas menyampaikan maksudnya. Jika mengamati perkembangannya dari awal hingga akhir, yang terasa paling mewarnai perdebatan adalah hal-hal yang dipandang ekstrem.
Dengan berlakunya UUP, seolah-olah setiap unsur budaya yang menyangkut busana (pakaian tradisi, seni tari) dan hasil karya lukisan maupun patung yang mengambil model figur manusia; bakal tersandung. Kemungkinan Indonesia nanti akan steril, seluruh tayangan televisi berubah sangat santun, ada pembatasan saluran dari luar negeri—yang sesungguhnya sulit dibendung. Kemudian, satu per satu buku-buku mulai disortir, dipisahkan antara yang berfungsi untuk ilmu pengetahuan (anatomi, kedokteran, biologi) dan mana yang menjadi bagian dari seni hiburan. Bisa jadi, banyak buku sastra yang terlalu terus terang menggambarkan perilaku seks para tokohnya akan menjadi sasaran pembreidelan.
Kalau dirunut sampai akhirnya Indonesia “memerlukan” undang-undang untuk mencegah merajalelanya pornografi dan pornoaksi, tentu karena banyak akibat yang telah ditimbulkan. Tak ada asap tanpa api. Semua itu seiring dengan perkembangan teknologi. Setiap kemajuan yang diraih oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, dibarengi dengan efek samping yang negatif. Setiap tujuan mulia selalu ada godaan untuk terantuk pada kejatuhan moral, karena peluang itu sangat terbuka.
Dari satu contoh saja, misalnya internet. Betapa besar jasa penemu internet yang membuat dunia ini kehilangan jarak tempuh fisikal. Peristiwa dua pesawat yang menubruk gedung kembar di New York, 11 September 2001, langsung tertangkap kamera CNN dan langsung disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Kita melihat dengan jelas, pesawat kedua terbang lurus ke arah tubuh gedung dan terjadi proses yang mengerikan itu. Dengan jaringan yang bersandar pada kemampuan satelit, dengan jalur serabut media maya yang tembus dinding, berita itu sampai ke sudut-sudut benua tanpa reduksi sedikit pun.
Itu kemuliaan fungsi teknologi informasi. Lantas siapa pengguna sarana dan prasarana itu? Tidak semua orang mulia. Sebagian memanfaatkan untuk praktik hacker, pencurian uang dari bank-bank terkemuka. Sebagian lagi untuk menyebarluaskan gambar-gambar porno, diam maupun bergerak, yang tak lagi bisa memilih segmentasi sasarannya. Informasi gambar, teks, dan suara itu menembus benda-benda padat, langsung ke kamar kita, tampil jelas dalam sebidang layar. Dapatkah kita cegah ”makhluk” yang meluncur kapan saja, terutama di kala kita—para orang tua—terlena akan kegiatan anak-anak?
Beberapa pendidik saat ini sedang mengeluhkan kejatuhan nilai pelajaran para muridnya. Penyebab paling dominan ternyata media maya. Keterampilan mereka menggunakan internet telah menyebabkan jam-jam belajar hilang di warnet atau kafe dengan fasilitas hot spot. Mereka rela begadang sampai larut malam untuk chatting dan SMS. Bahkan kin chatting bisa online melalui handphone. Andaikata hanya sebatas berdialog dan mengoperasikan game, mungkin masih bisa ”dimaafkan”. Tetapi sebagian generasi muda itu justru menjelajah ke wilayah-wilayah pornografi yang belum saatnya mereka jamah. Sesudahnya—seperti disinyalir sejumlah media massa—banyak perilaku seks menyimpang dan belum waktunya yang dilakukan oleh para pelajar.
Oleh nila bertitik-titik, rusaklah susu sebelanga. Bagaimanapun kita paham, betapa kerakusan manusia membuktikan setiap motif penjerumusan moral bangsa dilakukan demi uang. Seks dan narkoba dijalankan untuk mendapatkan uang bagi segelintir makhluk pintar yang bersahabat dengan setan.
Kini, UUP sudah disahkan, namun masih terus mengulirkan perbedaan pendapat. Provinsi Bali yang paling menentang, bahkan secara frontal gubernurnya menyatakan tidak ingin membahas tentang UUP. Wilayah yang paling banyak dikunjungi wisatawan mancanegara itu ingin dibebaskan dari belenggu undang-undang yang dikhawatirkan akan menghentikan arus devisa. Budaya dan seni tradisional Bali sulit untuk kompromi dengan aturan main dalam pasal UUP.
Pada kesempatan peringatan ulang tahun Taman Ismail Marzuki ke-40, bertepatan dengan Hari Pahlawan, Dewan Kesenian Jakarta menandai dengan pidato kebudayaan. Sengaja dipilih seorang praktisi intelektual dari Bali, I Gusti Agung Ayu Ratih, untuk menyampaikan pendapat dan pemikirannya. Berjudul ”Kita, Sejarah, Kebhinekaan”, Ayu Ratih mengajak kita kembali mengenang pengalaman masa lalu.
Pidatonya ingin menangkis UUP. Menurut Ayui Ratih, konsep itu digerakkan oleh keinginan mengubah Indonesia menjadi negara agama. Ia menentang gerakan yang mengurangi kebebasan perempuan dan individu-individu lainnya, sekaligus berlawanan dengan semangat nasionalisme kerakyatan yang melahirkan Indonesia.
”Yang kita hadapi adalah masalah politik. Bangsa Indonesia adalah entitas yang sepenuhnya duniawi. Pada saat proklamasi kemerdekaan, rakyat kepulauan ini tidak dipersatukan oleh agama, suku bangsa, atau bahasa apa pun. Mereka dipersatukan oleh pengalaman sejarah penindasan politik dan eksploitasi ekonomi. Mereka berbagi komitmen untuk menciptakan masayarakat baru yang lebih demokratis, egalitarian melalui pemilu.” Demikian salah satu pernyataan Ayu Ratih dalam pidatonya.
Pemikirannya jernih dan argumentatif. Ia berdiri sebagai perempuan yang merasa kehilangan kebebasan lantaran UUP, sementara pihak penyusun undang-undang bermaksud membela kepentingan perempuan.
Kritiknya yang tajam termaktub dalam pernyataan berikut, ”Partai-partai politik yang mendukung UU Anti Pornografi membenarkan posisi mereka dengan mengatakan bahwa hukum itu dimaksudkan untuk melindungi perempuan dan anak-anak. Ini pembenaran yang ironis karena partai-partai yang sama bertanggung jawab atas berbagai kebijakan ekonomi yang memiskinkan perempuan dan anak-anak.”
Perbedaan persepsi ini memang perlu dibuktikan dalam praktik. Masing-masing pihak membawa kebenaran dan pembenaran, tak kunjung sampai pada titik temu.
Kebhinekaan suku bangsa telah membentuk sebuah negara bernama Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh Marco Kusumawijaya, Ketua DKJ, bahwa tahun ini kita sedang sibuk membela dan merawat kebhinekaan kita. UUP dianggap merusak upaya memelihara kebhinekaan itu. ”Oleh karena itu, kita perlu menelusuri lagi ke akar-akar budaya yang membentuk Indonesia. Kita renungi kebhinekaan pada tataran praktik kebudayaan yang mestinya menjadi sumber kearifan dalam mengelola kehidupan bersama.”
Cobalah kita jalani dulu, sejauh mana manfaat dari masing-masing pendapat?
(Kurnia Effendi)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home