Tuesday, November 25, 2008

Museum, Aset Bangsa yang Memprihatinkan

Kebesaran bangsa konon diukur dari penghargaannya terhadap jasa para pahlawan. Dengan memberikan ruang ‘istirahat’, sebuah kompleks permakaman bagi pahlawan, upaya penghormatan itu tercapai. Dengan mengenangnya melalui materi pelajaran sejarah, diharapkan generasi anak cucu akan turut bangga memiliki leluhur yang telah memerangi penjajah dan memperjuangkan hak-hak rakyat untuk merdeka. Namun ada hal lain yang perlu kita berikan kepedulian, yakni museum.

Dalam sebuah museum tersimpan benda-benda memorabilia yang mengandung riwayat panjang. Di sana tersimpan sejarah, baik yang melampaui peristiwa berdarah maupun gelimang kejayaan budaya. Karya seni leluhur yang berangkat dari tradisi turun-temurun layak menjadi peninggalan berharga. Ada proses dan riwayat yang terjadi sebelum kita lahir dan menjadi pengungkap masa lalu, membuat gelap menjadi terang.

Seharusnya, sebagaimana kita tahu dari pelbagai buku maupun pemberitaan, negara-negara Eropa sangat menghargai tilas sejarah. Mereka menyimpan dengan cermat setiap benda masa lalu yang menjadi ikon kejadian penting dalam sebuah museum. Sebut saja Prancis dengan Museum Louvre, Jerman, Belanda, dan Inggris, sangat terkenal dengan museum. Seorang budayawan, Nirwan Dewanto, setiap kali berkunjung ke luar negeri, sewerti ada kewajiban mengunjungi museum.

Museum merupakan “kitab” pelajaran tersendiri. Semestinya seorang siswa tak hanya membaca sejarah melalui buku teks. Dengan berkunjung ke museum, mereka membaca perjalanan sebuah bangsa. Dengan menatap setiap titimangsa penanda benda-benda peninggalan masa silam, mereka melihat diorama kebudayaan yang pernah bergerak. Dengan menyadari awal yang panjang, para siswa tentu merasa berutang jasa kepada pahlawan yang kini tinggal foto-fotonya, barang-barang milik pribadi yang ditinggalkannya. Mudah-mudahan kesadaran itu akan membentuk mental positif untuk meneruskan perjuangan para pendahulu dengan cara yang sesuai zamannya.

Tetapi, apa yang terjadi di Indonesia? Pengalaman memasuki hampir semua museum di kota-kota besar, selalu melahirkan kesedihan dan perasaan merana. Apakah itu hanya terjadi di Indonesia? Bagaimana bangsa ini mencibtai para pembangun negeri?

Pada sebuah kesempatan mengunjungi dua museum yang letaknya berseberangan, terlahir keprihatinan. Museum Sejarah Jakarta dan Museum Keramik & Seni Rupa, keduanya sungguh menyedihkan. Kekayaan harta masa lalu yang tersimpan di dalamnya nyaris tidak dikelola dan dipelihara dengan pantas. Entah di mana simpul kesalahannya, namun jelas bahwa insan yang semestinya bertanggung jawab terhadap keutuhan peninggalan sang pendahulu tidak menjalankan tugas dengan benar.

Konon dalam Museum Keramik dan Seni Rupa tersimpan lukisan Raden Saleh yang tak ternilai harganya. Saat ini, di museum itu sedang dipamerkan pula benda-benda temuan dari kapal yang tenggelam di abad ke 9 dan 10. Menurut informasi yang tertera pada banner, temuan itu membuktikan sejarah maritim di zaman kehidupan cikal bakal bangsa Nusantara. Nenek moyang kita memang para pelaut!

Ketika masuk ke dalam ruang pamer, ada pesan dari penjaga yang diucapkan sambil lalu: “Di dalam nanti tidak boleh memotret.” Dia menyampaikan amanat itu karena melihat pengunjung membawa kamera. Atau sekadar ucapan otomatis seperti sebuah rekaman yang harus diulang-ulang kepada setiap pengunjung? Aturan itu akan dihargai andaikata diikuti prosedur standar yang memadai.

Misalnya, kamera pengunjung diminta untuk disimpan dalam loker sepanjang kunjungan. Keamanan kamera dijamin dengan kunci yang diberikan kepada pengunjung bersangkutan. Kenyataannya tidak demikian. Pesan itu disampaikan namun praktiknya, para pengunjung bisa memotret dengan leluasa (meskipun memang larangan itu meragukan dari sisi tujuannya). Bahkan pengunjung backpacker tidak diminta untuk menitipkan tas punggungnya. Bagaimana kalau pengunjung mencuri benda penting dalam museum itu dengan cara memasukkannya ke dalam tas?

Kecerobohan itu satu pertanda, bahwa kinerja staf museum tidak memenuhi syarat. Mereka seperti tidak menghargai nilai yang terkandung dalam benda-benda tilas sejarah Indonesia. Hal kedua adalah harga tiket masuk yang kelewat murah, hanya Rp. 2.000,- setiap kepala. Bahkan untuk pelajar hanya dikenakan separuhnya. Betapa murahnya harga benda-benda memorabilia itu yang keamanannya sulit dijamin.

Padahal, jika aturan dilarang mengambil gambar itu dijalankan secara disiplin, mereka dapat menggantinya dengan menyediakan foto atau kartu pos berkualitas bagus yang bisa menjadi kenang-kenangan. Asalkan foto itu sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Hal ketiga dapat disaksikan ketika memasuki ruang-ruang museum itu. Tembok yang melepuh, benda pamer (seperti lukisan dan furnitur) yang mulai rusak dan berubah warna, penanda yang tak lengkap (penulisan angka tahun yang dikosongkan) justru menunjukkan kemalasan juru data. Kondisi itu sangat memprihatinkan. Hal keempat adalah tiadanya penjaga di ruang-ruang yang rawan pencurian. Minimal, mereka menyediakan jasa guide untuk menjelaskan setiap benda yang terpajang di sana, sebagai peninggalan sejarah penting.

Pengunjung pun kecewa ketika ternyata tak dapat melihat lukisan asli Raden Saleh. Yang terpajang di sana hanyalah lukisan reproduksi oleh seniman lain. Ini patut dihargai karena karya sang maestro itu tak dapat sembarangan dipertunjukkan. Sebenarnya ada cara lain, yakni dengan penjagaan yang ketat, sehingga pengunjung dapat menyaksikan karya asli dengan rasa aman dan nyaman.

Lukisan asli Raden Saleh memang tersimpan dalam ruang direksi museum, yang lain tersimpan di Istana Negara. Dengan surat izin mungkin akan diperkenankan untuk melihatnya. Menurut informasi, setiap Sabtu dan Minggu, masyarakat dapat mengikuti tour masuk ke istana, menyaksikan segala benda milik Negara yang tersimpan di sana.

Dalam sebuah percakapan sehabis kunjungan ke museum, terdapat ironisme yang masih menjadi hambatan bagi kebesaran bangsa Indonesia. Kawasan kota tua Jakarta, yang di dalamnya terdapat beberapa museum dan gedung perkantoran masa lalu, hampir mengalami masa kepunahan. Sejumlah bangunan dalam keadaan rusak, sebagian lain telah menjadi milik pribadi, atau diambil alih oleh BUMN untuk difungsikan sebagai kantor bisnis. Menurut narasumber, pajak bangunan masih tinggi, termasuk yang dikenakan kepada museum sebagai ruang publik. Jadi ada beban yang menggelayut di pundak keuangan museum, tak terbantu oleh tarif yang murah, membuat dana pemeliharaan tak sanggup menutupi kebutuhan.

Mudah-mudahan pemerintah menyadari dan peduli pada pemeliharaan museum. Pengelolaan dan penjagaan yang baik, reinforcement gedung-gedung tua, gaji karyawan yang memadai, serta penyediaan guide untuk para pengunjung; adalah semacam kewajiban.  (Kurnia Effendi)