Tuesday, November 11, 2008

Dede Yusuf dalam Mitra Praja Utama:

“Sastrawan dan Lingkungan, Kini Saatnya.”

Para sastrawan yang terhimpun dari 10 provinsi di tempat sejuk Lembang, merasa gembira ketika Wakil Gubernur Jawa Barat, Dede Yusuf, hadir dalam pembukaan temu sastra Mitra Praja Utama. Malam itu, 4 November 2008, cuaca gerimis, lebih mendinginkan Lembang yang sehari-hari biasa dihampiri kabut. Namun sekitar seratus sastrawan, budayawan, dan birokrat dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang mewakili 10 provinsi, beramah-tamah hangat di Hotel Panorama. Setelah menyelesaikan makan malam, mereka berkumpul di ruang pertemuan setengah terbuka. Membiarkan angin dingin menghembus bebas.

Mendampingi Wagub, Bupati Bandung Barat (sebuah kabupaten baru, pemekaran dari Bandung Utara) Abubakar, dan pejabat Disbudpar, Ibu Wiwin. Sambutan pembuka oleh ketua panitia Mitra Praja Utama (MPU), Acep Zamzam Noor. Antara lain mengatakan bahwa acara MPU berlangsung tiap dua tahun sekali. Pertama kali di Banten (2004), berikutnya di Bali (2006), keduanya berlangsung di daerah pantai yang hangat. Kini berlangsung di kawasan pegunungan Lembang, membuat para peserta yang lupa membawa jaket, merasa sangat kedinginan. Dari 10 provinsi (mulai Lampung, seluruh Jawa, sampai NTT), ada satu yang absen yakni peserta dari NTB.

Tari Sunda dengan rampak gendang oleh 4 dara manis menghangatkan malam sebelum Wagub Dede Yusuf naik podium. ”Saya punya kakek seorang sastrawan, angkata Pujangga Baru, namanya Rustam Effendi,” ujarnya. Pantas jika Rahayu Effendi, ibunya juga andal bermain teater. Dede Yusuf sendiri menjadi bintang film sekaligus bintang iklan. Rupanya darah seni mengalir di tubuhnya.

”Kami telah melakukan raker-raker yang membahas tentang lingkungan. Dalam pembahasan itu kami mulai melibatkan para budayawan dan seniman untuk perbaikan lingkungan. Jadi tidak salah jika tema temu sastra kali ini adalah meningkatkan kesadaran kita pada masalah lingkungan. Kini saatnya sastrawan berpikir tentang lingkungan.”

Dede Yusuf tekun mengikuti pembacaan karya dari para sastrawan peserta MPU, sampai menjelang pamit didaulat untuk membaca puisi bersama salah seorang penyair dari Yogya, Dina Oktaviani.

”Bandung in Love” puisi karya Ahmadun Yosi Herfanda, dibacakan secara duet dengan amat manisnya. Kehangatan wakil gubernur telah menandai pertemuan sastrawan yang akan berlangsung hingga tanggal 6 November.

Seminar dan diskusi cukup padat berlangsung pada hari Rabu, 5/11. Sesi pertama bertema hubungan alam (lingkungan) dengan sastrawan, dengan pembicara Prof. Dr. Maman Mahayana (UI) dan Dr. Safrina (UPI Bandung). Sesi kedua lebih menekankan pada khazanah sastra Sunda dan bagaimana perkembangan sastra dewasa ini, dengan pembicara Jakob Soemardjo dan Bambang Sugiharto. Sesi ketiga perihal proses kreatif (Beni Setia) dan pengaruh dunia maya (Triyanto Triwikromo). Sore hari, panitia mengundang pelajar dan mahasiswa untuk menyaksikan pembacaan karya para peserta. Malam harinya, usai dinner, ada sesi diskusi terakhir yang membahas perihal komunitas sastrawan dengan pembicara Warih Wisatsana (Bali) dan Irfan Hidayatullah (Ketua Umum FLP).

Dari sisi tema, mungkin tidak ada yang benar-benar baru. Sastrawan dan alam sebagai inspirasi, proses kreatif, dan komunitas; adalah persoalan yang memang tak habis digali. Presentasi Safrina cukup menarik, ia mengharapkan adanya perhatian terhadap anak-anak dan remaja, dalam berkarya. ”Karena mereka adalah generasi berikutnya yang perlu mendapatkan bahan bacaan yang baik, juga menjadi penulis yang baik.”

Dalam uraiannya, ia menjelaskan tentang ekopuitika dan ecocritisism, sastra yang terkait dengan alam, baik sebagai latar maupun sebagai pesan. Sementara pada sesi pembahasan komunitas, respons peserta cukup hangat. Komunitas selalu mengakibatkan friksi antar-organisasi sastrawan, juga gesekan antar-anggota di dalamnya. Baik Warih maupun Irfan, setuju bahwa komunitas menjadi wadah berekspresi dan wadah untuk saling berbagi. Ideologi dalam komunitas tetap perlu, namun bukan untuk memecah belah. Kelemahan komunitas sastrawan umumnya pada manajemen, karena sastrawan terbiasa tidak disiplin dan awam organisasi. Saran pembicara: ”Dalam organisasi sastrawan perlu merekrut orang-orang yang khusus untuk menangani administrasi.”

Malam terakhir, sebagai puncak acara, panitia menyiapkan Bajidoran. Mengundang Robot Percussion, grup musik tradisional Sunda yang sudah mengalami banyak modifikasi (dangdut, balet, dan unsur pencak silat). Sekitar tujuh penari bergerak gesit sekaligus luwes, diiringi musik dinamis yang mengandalkan keahlian bermain gendang. Perempuan-perempuan gemulai itu turun dari panggung mengajak para penyair untuk joget bersama. Maka tak pelak, Godi Suwarna, Ahmad Syubanudin Alwi, Hamsad Rangkuti, Triyantoi Triwikromo, Warih Wisatsana, Ahmadun Yosi Herfanda pun turun ke arena. Tak puas sampai di situ, diajak pula para perempuan penyair ke ’lantai dansa’, seperti Dina Oktaviani dan Pranita Dewi.

Pada sidang perumusan Kamis pagi, ada perubahan ketentuan MPU yang dituangkan dalam rekomendasi. Pertama, MPU akan berlangsung setahun sekali (sebelumnya dua tahunan). Peserta MPU dari tiap provinsi adalah 7 orang, dengan komposisi 5 sastrawan 2 birokrat Disbudpar (sebelumnya 5 orang dangan komposisi 4-1). Disebutkan pula dalam rekomendasi itu, bahwa tahun 2009, tuan rumah MPU adalah Jawa Tengah dan akan diselenggarakan di Borobudur-Magelang. Provinsi Lampung siapmenjadi tuan rumah pada 2010.

Setelah pertemuan yang walaupun meletihkan namun menyenangkan itu, tuan rumah Jawa Barat membawa seluruh peserta berwisata ke Tangkuban Perahu. ”Kita akan ziarahi Sangkuriang,” kata panitia. Sayangnya cuaca berkabut dan selalu berhias gerimis. Tetapi situasi itu tidak membuat kecewa peserta. Kawah Tangkuban Perahu dan hawa yang menggigit itu justru sangat puitis dan menjadi inspirasi tersendiri bagi para ’peziarah’ (sastrawan) itu.

Setiap pertemuan akan berakhir dengan perpisahan. Makan siang yang terlambat itu adalah kesempatan terakhir untuk berbagi cerita, berbagi janji bertemu lagi. Mungkin yang terpenting, hasil dari pertemuan itu harus ditindaklanjuti dengan karya nyata, bahwa seorang sastrawan wajib berkontribusi terhadap terpeliharanya alam lingkungan.

(Kurnia Effendi)