TEROMPET
“Malam tahun-baru kita jalan-jalan ke mana, Ayah?” tanya Nifa, puteri sulungku. Dekat sekali di depan wajah, sehingga koran yang kubaca terli
“Memangnya mau ke mana? Hujan dari pagi
“Kalau begitu, beli vcd yang banyak!” Afif, adiknya, mengajukan usul. Ia memang keranjingan film. Setiap judul ditonton sedikitnya 6 kali,
“Bukankah televisi akan banyak memutar film?” Aku mengingatkan.
“Kurang seru! Lagi pula bukan film anak-anak.”
“Oke!” Kuli
Meskipun kedua anakku mengangguk, tak yakin mereka mengerti yang dimaksud dengan demokratis. Mereka berloncatan ke dapur, seperti kucing bertemu bola menggelinding. Suaranya memenuhi ruangan: “Ibu! Dipanggil Ayah!”
Akhirnya kami sepakat ke luar rumah. Dan aku sedikit terperanjat, sewaktu kedua anakku mengusulkan: “Nanti kita beli terompet, ya!”
Terompet? Memang hampir setiap tahun baru, benda itu menjadi paling favorit. Tak mungkin
Tentu tak ada ala
“Oke kita beli terompet!” Aku kaget juga dengan keputu
Nifa dan Afif melonjak gembira, seolah-olah benda itu sudah ada di tangan. Selintas dalam diorama pikiranku, ada malaikat yang melom
Tinggal menunggu akhir hari terkulai. Matahari akan meninggalkan kerling perpi
Tapi hujan memang tak henti-henti. Seperti sengaja menghabiskan si
Kukecup ubun-ubun mereka sebelum aku menuju mobil yang kuparkir di depan beranda. Kaca mengabur ketika aku meluncur ke jalan raya. Sulit ditebak
Kupikir mereka tahu, bahwa di negeri ini hanya ada dua musim. Dan hujan, paling banyak jatuh di bulan Desember. Menjual mainan khas pergantian tahun yang dibuat dengan bahan tak tahan hujan, sesungguhnya tindakan penuh resiko. Tetapi itulah penghasilan musiman yang selalu menjadi pilihan mereka. Sementara bagiku, hal semacam itu selalu melewati pertimbangan berlapis-lapis.
Panorama sepanjang teras toko itu menyimpulkan bahwa terompet ternyata tak hanya menghadirkan suara pilu mendayu. Tetapi di pagi hujan seperti ini, mereka menggantung pilu dalam pikulan yang seolah turut mengkerut oleh gigil cuaca.
Ah, lupakan itu! Akhirnya aku tiba di kantor, dan lantai parkir licin oleh cipratan air. Sebenarnya memang tak ada pekerjaan yang sungguh serius. Kami tinggal membereskan meja, merapikan setiap file, memi
Gerimis tinggal desis. Uap air yang terbang ber
“Ayah pulang!” seru Afif. Mengintip dari jendela.
“Nifa, bawakan payung!” perintah ibunya. Ketika jalan berdampingan dengan anak 11 tahunku, tera
“Lihat, Ayah! Terompetku bagus, bukan?” Afif memamerkan. Aku mencoba tergelak, dan hendak mengatakan: “Sayang, hanya punya
“Sup-nya hampir dingin,” isteriku membuka tudung
“Dengan ini?” Aku mengecup bibirnya. Kutarik kursi, lalu menyenduk nasi. “Kasihan ya, pedagang terompet di jalan-jalan.”
“Kenapa?” Isteriku menuang air putih ke dalam gelas. “Bukankah sekarang
“Kulihat mereka berteduh kedinginan di beberapa tem
“Aku sudah beli. Cuma dua sih,” isteriku menjelaskan. Seperti tahu irama pembicaraan, Nifa dan Afif di ruang tamu serentak meniup terompet. Aku tersenyum. Ternyata indah juga suara itu. Mengingatkan seruan ang
*
SESUDAH makan malam, kami meninggalkan rumah. Langit malam kehilangan bintang. Mendung masih menggantung, hujan tinggal rintik yang halus, dan jatuh miring oleh tiupan angin. Tapi tidak mengurangi kegembiraan anak-anakku. Sesuatu yang mungkin manis dikenang kelak, atau menjadi pengalaman berharga.
Jalanan mulai padat sejak memasuki daerah protokol. Pedagang terompet dan minuman pun berduyun-duyun ke arah pu
Berlindung topi, kami mencoba memandang tanda-tanda. Adakah beda yang mencolok, antara malam pergantian tahun dan malam-malam lain? Dingin dan ba
Rintik air tipis terus jatuh, namun sebagian remaja bahkan tak peduli lagi. Ada yang lebih pantas dipikirkan, mi
“Berapa jam lagi tahun-barunya, Ayah?” tanya Nifa. Aku melirik arloji yang kuperce
“Kurang lebih
“Seperti apa sih tahun yang baru itu?” Pertanyaan Afif membuat kami hendak tertawa. Lalu ibu dan kakaknya sibuk menjelaskan. “Kenapa kita mesti tiup terompet?”
Ya, kenapa kita harus meniup terompet? Seperti
Apalagi
“Ayah, bising!” Afif menutup telinga. Aku tertawa memandangi mereka. Memandangi semua yang mendekati gila. Bagaimana andai setiap malam adalah malam tahun baru…?
Tiba-tiba isteriku memeluk. Ah, ia mengikuti perilaku orang-orang di sekitarnya, yang menganggap pa
“Ya, mari kita panjatkan doa. Semoga tahun ini penuh berkah, jauh dari kesulitan.” Lalu kuajak anak-anak untuk kembali ke mobil. Baju kami mulai dingin, mulai dihinggapi gejala masuk angin. Sambil melangkah di antara kerumunan, Nifa dan Afif terus memainkan terompet mereka yang mulai lembab oleh gerimis.
Di dekat mobil, kami dicegat seorang penjual terompet yang pikulannya masih penuh. “Silakan terompetnya, Pak.” Raut wajahnya penuh harapan.
“Kami sudah punya,” kataku. Meskipun hanya dua buah.
“Ini terompet bagus, Bu.” Ia beralih ke isteriku. Kami berpandangan. Kulihat ada keraguan di mata isteriku Ia memang penuh belas kasih, sekalipun kuingatkan dengan isyarat bahwa inilah resiko penjual terompet.
“Tapi tahun-baru sudah lewat,” ujar isteriku. Ya. Setidaknya lewat setengah jam. Gema kegembiraan akan beranjak surut, lambat-laun. Banyak mobil yang mulai bergerak, entah ke mana lagi. Kerumunan akan berangsur hilang.
“Suaranya lebih bagus dari punya anak Ibu. Sungguh!” Ia meyakinkan. Dan lelaki yang setengah menggigil itu mengambil
Anakku tampak setuju. Mereka menghentikan tiupannya, dan memandangku seperti turut membujuk. Aku segera bereaksi. “Ya, memang bagus. Tapi kita tidak memerlukan lagi, Sayang. Kita mau pulang, istirahat. Jangan
Penjual terompet itu melepas 4 buah dari ikatan, seperti abai padaku. Dan aku buru-buru mencegahnya. “Tidak u
“Terompet-terompet ini
“Bagaimana?” bisikku kepada isteriku.
“Maaf, ini tidak u
Aku mendadak kikuk. Mera
“Jangan membayar. Saya hanya ingin memberikan. Saya, terus terang
Semula aku yang hendak mengucapkan kata ikhlas, tapi keduluan. Dan kukira ia tentu memerlukan uang. “Padahal Bapak harus keluar modal untuk membuatnya.”
“Itu jangan dipikirkan. Sudah jadi niat
“Maksud kami, ini untuk Bapak, untuk …ya sekadar…”
“Sekali lagi maaf,” potongnya menghiba. “Saya hanya ingin terompet ini berguna. Saya tidak mau menerima uang.”
Aku mencoba memandang langit. Cemas, jika ini sebuah dongeng. Tentu menggembirakan bagi anak-anak, tapi tera
“Terimakasih, Pak. Kami harus segera pulang.” Aku yang berinisiatif. Penjual terompet itu mengangguk dan tersenyum. Sia-sia aku mencari cahaya sedih di matanya. Anak-anakku melonjak dan merebut dua terompet dari tangan isteriku.
Dalam perjalanan pulang, aku sibuk memikirkan penjual terompet. Dari sudut mataku, tadi, kulihat ia terus membagikan terompetnya kepada orang-orang. Dari mana ia muncul? Dan ke mana ia akan menghilang? Aku mendadak terkesiap, karena teringat jumlah peniup terompet pada pemakaman ayah dulu. Em
*
HAMPIR dua minggu berlalu sejak tahun baru. Kegiatan berjalan kembali seperti kereta-api yang meninggalkan ma
“Memang buatan yang indah,” bisikku memuji. Halus dan rapi, warnanya serasi. Kilau emasnya seperti abadi. Dan bunyinya? Aku ragu untuk melakukan mana yang lebih dulu: memanggil isteriku atau meniup terompet itu? Yang berkelebat adalah paras penjual terompet, tersenyum penuh harapan. Berikutnya adalah wajah khusyu’ em
Akhirnya aku memanggil isteriku dengan cara meniup terompet. Suaranya halus, mirip suara pembuatnya yang menghiba. Mirip suara pilu di pemakaman ayahku. Dalam suara terompet mendayu itu,
***
Oleh:
(Terpilih sebagai Lima Belas Cerpen Terbaik Sayembara Cerpen Horison 2004, dan dimuat di majalah
1 Comments:
Selamat tahun baru ...
Post a Comment
<< Home