Wednesday, January 07, 2009

Ideocrazy

Politik Perlawanan atau Deklarasi Seni?

Tisna Sanjaya tentu bukan orang baru dalam dunia seni grafis. Penjelajahan kreatifnya sejak masa kuliah sudah tampak. Bermacam eksperimen dibuatnya. Soal pendidikan juga tak puas berhenti sebagai sarjana seni rupa dengan ijazah ITB. Setelah lepas dari Kampus Ganesha, Tisna melanjutkan ke Jerman sampai 1994 dengan ‘oleh-oleh’ Diploma dari Freie Kunsthochschule fuer Bildende Kuenste Braunschweig. Masih juga kembali ke Jerman (1997-1998) melalui DAAD fellowship. Gelar Meisterschueler dari HBK Braunschweig diraihnya atas bimbingan Prof. Karl Christ Schulz.

‘Pangkat’ sebagai seniman kelas dunia sudah pantas direngkuhnya. Sepanjang kariernya, Tisna Sanjaya telah menerima berbagai penghargaan sekaligus kerap diundang menjadi seniman tamu di sejumlah negara. Di awal perkembangan kreatifnya, 1996, telah terpilih dalam 10 pelukis terbaik versi Art Awards. Tahun berikutnya terpilih menjadi pelukis terbaik dalam kompetisi Phillip Morris Indonesia Art Awards. Ia mendapatkan sponsor dalam kategori Prizes di Sapporo International Print Competetion 1997 di Jepang.

Tisna tidak hanya berkutat dengan seni grafis, lalu melebar ke seni lukis dan instalasi, melainkan ia juga aktif dalam dunia pertunjukan. Minat dan kemampuannya itu disambut oleh Studi Klub Teater Bandung yang dimasuki sejak 1983. Melalui kelompok teater itu, ia terlibat dalam pementasan ”Romeo & Juliet” (Shakespeare), “Badak-Badak” (Ionesco), “Panji Koming” (Saini KM), dan “Pinangan” (Chekov, dengan sutradara Suyatna Anirun). Tahun 1996 bergabung dengan Teater Payung Hitam, dan memainkan “Ladang Mengerang” sebagai bentuk solidaritas terhadap nasib majalah Tempo dan Detik yang dibreidel. Pada tahun yang sama, bekerjasama dengan pemusik Harry Roesli dan perupa Isa Perkasa, menggelar “Studi Semiotika Mulut Si Bung”.

Kepekaannya terhadap masyarakat kelas bawah dan pinggiran, mengundang jiwa pemberontaknya untuk selalu kritis terhadap pemerintah dan situasi di sekililingnya yang dirasakan tidak adil. Tahun 2004, ia mewawancarai masayarakat Dago dan Lembang dalam bentuk Performance Art dan penelitian di Bandung Utara atas nama pembangunan.

Seni macam apa yang diusung Tisna Sanjaya? Anton Larenz, salah satu kurator memberikan catatan panjang sebagai tafsir atas karya-karya Tisna. Ia menganggap Tisna membawa beragam gaya dan keterampilan teknis artistik. Eksplorasi teknik etsa dan litografi ditempuhnya sejak 1987 di Bandung sampai pada percobaan teknik drypoint menggunakan jarum (1991). Teknik ini hanya menghasilkan selusin cetakan dari plat tembaga, sebab selebihnya akan kehilangan nilai orisinalnya.

Tisna sampai pada titik kesurupan (trance) dalam proses penciptaan karya etsa. Keterpesonaannya terhadap bahan tembaga, aspal cair, dan hasil pengasaman, membuat ia semakin cinta pada seni cetak grafis. Para maestro kuno seperti Rembrandt, Albrecht Duerer, dan Francisco Goya, dianggap sebagai seniman inspirator berdedikasi tinggi.

Dalam karyanya, Tisna menyampaikan absurditas, yang dalam dunia teater diperkenalkan oleh Eugene Ionesco. Antara yang absurd atau surealis dengan kenyataan hanya berbeda tipis. Dalam sastra, seperti dikatakan Budi Darma, lebih banyak loncatan pikiran ketimbang aksi fisik. Absurditas biasanya muncul dari ekspektasi berlebihan yang dikendalikan oleh nafsu dan ego dan belum tentu terlahir sebagai kenyataan. Namun sesungguhnya alangkah luas daya jangkau keinginan manusia, dan hal itu sering dapat diekspresikan melalui seni grafis yang liar.

Menurut Tisna, ia harus melalui kegelapan terlebih dahulu untuk mencerahkan. Tenang dan gelap, itulah konsep utama dalam proses artistik Tisna Sanjaya. Hal itu didasari pengalaman ketika ia hendak ke Jerman. Ia harus belajar bahasa Jerman lebih dulu, namun ketika tiba di negeri Hitler itu, harus mengalami keterasingan (kegelapan) karena masih tak mampu berkomunikasi langsung dengan masyarakat Jerman. Suasana hatinya berbeda jauh dengan ketika masih di Tanah Air. Malam hari, sendiri sampai subuh, Tisna berkarya, menghasilkan ciri khas baru: “melukis di atas gelap”.

Karakter Al-Kimia, yang berangkat dari konsep dasar hitam dan putih, dapat memberikan gambaran sikap dikotomis antara kebaikan dan keburukan, yin dan yang. Menurut Stanley Kubrik, sineas tersohor, dalam kegelapan kita akan menyumbangkan cahaya untuk diri kita sendiri. Pencerahan harus datang dari kedalaman hati. Tisna melewati proses-proses seperti itu.

Kini, untuk menutup tahun 2008, Tisna menggelar seluruh karya yang dimilikinya dalam sebuah pameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia. Memperhatikan setiap karyanya yang ditampilkan, seperti terpandang diorama kehidupan yang nestapa, giris, memilukan, gelap, dan waswas. Tajuk Ideocrazy serupa kredo yang hendak disuarakan kepada khalayak sebagai prinsip keseniannya (rupa dan pertunjukan) juga sesuatu yang sedang diperjuangkannya untuk memperoleh setitik cahaya.

Begitu kita memasuki lobi galeri, terdapat sepasang patung manusia raksasa yang dibangun dengan gedebok (batang pohon) pisang. Satu dalam posisi berdiri tegak, satu lagi terjungkir tegak dengan kepala di bawah. Seluruh tubuh mereka ditancapi berpuluh clurit. Benda tajam itu tersaji pada beberapa frame lukisan Tisna. Benda-benda yang tak hanya menyiratkan fungsi utamanya sebagai penyabit rumput, namun ada semacam teror yang dilambangkan olehnya lantaran terikut sejarah gelap Indonesia dengan partai terlarang berlambang (palu)-arit.

Seluruh dinding lobi ditempel foto wilayah Cigondeuwah yang kumuh. Ada berpuluh bejana bening yang menghimpun air sumur penduduk di kawasan itu. Eksentrik dan penuh luka hati, itu yang terasa ketika mengamati pameran Tisna Sanjaya.

Gelap menjadi dasar dari hampir keseluruhan karya Tisna Sanjaya. Terutama yang dibuat di atas dasar tembaga dengan aspal cair. Drum-drum aspal pun turut menjadi materi pameran dengan judul: “Perjalanan Beraspal”. Ia juga memasang bidang kanvas besar yang diisi dengan koyak-moyak buku-buku dari Palasari, Bandung. Di situ tersirat kandungan ilmu secara ironisme.

Ideocrazy, mengandung unsur ideologi yang sedang diemban oleh seorang Tisna, sekaligus deklarasi untuk memperjuangkannya. Apakah Tisna sedang melawan bentuk kemapanan? Apa lagi yang dicari manusia selain kemapanan? Tentu sepanjang tidak menindas manusia lain. Belakangan, Tisna sedang memperjuangkan Babakan Siliwangi Bandung agar dikembalikan kepada rakyat untuk mewadahi proses kreatif seniman lokal dan menjadi paru-paru kota.

Menempati dua ruang pameran, karya Tisna sejak awal kariernya memang luar biasa banyak. Produktif karena setia pada eksperimen untuk mendapatkan teknik-teknik baru dalam berkarya. Bahkan prosesnya, tubuhnya sendiri menjadi alat untuk melukis. Jim Supangkat sebagai tim kurator telah memberi tempat dan semangat yang tepat untuk Tisna Sanjaya. Ideocrazy, sebuah deklarasi kecemasan

(Kurnia Effendi)