Wednesday, February 04, 2009

Bersaing Kawan Seiring

Pembatalan pasal 214 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, oleh Mahkamah Konstitusi; tampaknya akan memberatkan calon legislatif (caleg). Meraih suara terbanyak, itu kata kuncinya. Regulasi ini menjadi perubahan baru untuk Pemilu 2009 yang akan berlangsung April. Dan tugas untuk meraih suara terbanyak itu dibebankan kepada masing-masing caleg. Lalu bagaimana dukungan partai sebagai konstituen yang memayungi para caleg?

Ada risiko bagi setiap caleg yang akan saling bersaing untuk mendapatkan dukungan, walaupun mereka berada dalam satu partai politik. Ibarat ATPM mobil, biasanya ada kekhawatiran jika terjadi persaingan pasar justru terjadi pada merek sendiri. Umumnya ketika produk yang dikeluarkan masih dalam spesifikasi yang tak jauh berbeda, mereka akan salingmembunuh’.

Sebagaimana pengakuan Nurul Arifin, juga perjuangan Nova Riyanti Yusuf (Partai Demokrat) dan Rieke Dyah Pitaloka (PDIP), menjadi kian berat ketika nomor urut tidak lagi berperan sebagai kans untuk kemungkinan menjadi caleg. Dulu suara tercurah kepada partai dan dengan semakin banyak yang diraih akan semakin banyak pula calon legislatif yang menduduki kursi parlemen. Kini perjuangan bersifat individual, sehingga masing-masing caleg terpaksa melakukan investasi dana kampanye yang tidak sedikit.

Pada masing-masing daerah pemilihan, ia seharusnya bertarung dengan caleg dari partai lain. Itu wajar dan akan dilakukan dengan kesungguhan hati mempertaruhkan keperacayaan masyarakat. Apa saja yang dipertaruhkan, setidaknya akan meliputi empat hal: (1) dapat diandalkan (2) memiliki visi yang jelas (3) dipercaya, amanah dan bergaransi (4) masuk akal.

Seseorang yang dapat diandalkan akan menjadi sandaran banyak orang. Ia akan bertanggung jawab terhadap nasib rakyat, mampu mengatasi tantangan kehidupan bermasyarakat. Dengan visi yang jelas dan fokus, dukungan akan memperkuat kecepatan mencapai tujuan. Terujikah seorang caleg itu amanah dan memiliki jaminan tidak akan menyeleweng? Ini sebuah pilihan berisiko, karena hanya seorang caleg yang sudah pernah menjabat dapat dinilai pekerjaannya selama lima tahun ke belakang. Bagi caleg baru, perlu sosialisasi dengan frekuensi tinggi, dan mau tidak mau harus menjual prestasi kepada calon pendukungnya. Track record selama ini dalam bidang yang dikuasainya harus jelas menunjukkan kualitas yang dibutuhkan masyarakat.

Semua itu pada akhirnya harus realistis. Seorang caleg yang mengkampanyekan program muluk-muluk akan mencurigakan. Dengan apa dia membuktikan janjinya? Secerdas dan seterampil apa dia? Walaupun setiap usaha mencapai cita-cita tidak harus dilakukan sendiri, tim pendukung harus memperlihatkan kekuatan yang semestinya. Studi kelayakan yang masuk dalam ’proposal’ kampanye tak sebatas slogan saja, karena harus memenuhi syarat tahapan kerjanya. Sebut saja proyek Banjir Kanal Timur (BKT); tujuannya jelas untuk mencegah banjir yang selalu datang tiap tahun dan merendam kawasan di sekitar Jakarta Timur. Tetapi, kenyataannya program itu tak kunjung selesai. Banyak hal yang mudah dituangkan di atas kertas, namun pelaksanaannya membutuhkan diplomasi khusus di lapangan. Bagaimana sosialisasi itu dapat diterima masyarakat? Cukup layakkah imbalan yang diterima oleh pemilik tanah yang akan digunakan sebagai lokasi BKT? Itu sekadar contoh.

Bagaimana pun caleg berusaha saling menonjolkan janji untuk merebut simpati pendukung. Masyarakat yang jeli harus melihat benang merah antara satu dan lain caleg yang masih dalam satu partai politik. Apakah sejalan dan saling mendukung? Atau justru terlihat jalan masing-masing?

Persaingan antarpartai adalah yang semestinya terjadi untuk mendapatkan pemenang. Jika yang berlangsung persaingan antarcaleg, akan jadi kurang sehat. Bagi partai politik yang menganut asas keadilan, mungkin akan melakukan dukungan finansial bagi para calegnya secara merata. Dukungan yang tidak merata, apalagi disebabkan unsur like and dislike internal, akan menyebabkan rapuhnya organisasi. Kembali, kekuatan finansial akan memberikan keunggulan awal pada artis caleg.

Cukup masuk akal pendapat Samsudin Adlawi dari Jawa Pos, bahwa ada kecenderungan para caleg berduit lebih memiliki peluang untuk mendulang banyak suara. Kalaupun bukan semata dari faktor uang, popularitas sang tokoh bisa mendongkrak perolehan dukungan. Namun menurutnya, wacana itu secara tidak langsung justru mengambinghitamkan rakyat. Seolah-olah pikatan uang itulah yang akan menarik minat masyarakat menjadi pendukung.

Tetapi jangan salah menilai rakyat. Kembali mangambil analogi dunia otomotif, kenyataannya konsumen (dalam pemilu kita sebut calon pemilih) lebih pintar ketimbang wiraniaga. Sudah sejak awal, sebelum mereka masuk showroom, sudah berbekal pengetahuan seluruh merek sejenis. Mereka telah melakukan bench-mark terhadap kendaraan yang mereka sasar. Apa kelebihan Toyota dibanding Honda dan Suzuki, misalnya. Internet telah memudahkan semua usaha mereka untuk tahu barang yang hendak dibeli.

Memilih wakil di parlemen sama saja dengan menaruh aspirasi kepada orang yang dipercaya. Bolehlah kepercayaannya kita semua terhadap anggota DPR sudah luntur mengingat praktik perilakunya tidak menunjukkan sebagai orang yang patut dipercaya. Mulai dari kegiatan bisnis sampai penyimpangan moral, rasanya cukup lengkap untuk bicara tentang keburukan kinerja. Akan berbeda dengan kondisi di Australia. Salah seorang anggota parlemen yang terlambat hadir dalam rapat karena menunggu jadwal wawancara dari media setempat, harus menerima sanksi yang keras. Artinya, yang mula-mula harus ditegakkan di Indonesia adalah hukum dan keadilan.

Pendidikan rakyat sudah meningkat dan berkembang. Oleh karena itu sangat naif jika menganggap rakyat akan terpesona pada iklan yang didukung anggaran tinggi, sementara integritas manusianya justru dipertanyakan. Seiring dengan perkembangan rakyat kian pintar, lalu kembali golput menjadi bola salju (sehingga dikeluarkan fatwa bahwa golput itu haram—bagaimana dengan golongan hitam?), partai politik pun sangat menyadari. Itu sebabnya, selain menggalang artis yang cerdas, juga merekrut para profesional yang ahli di bidangnya masing-masing.

Sebenarnya fakta itu cukup menggembirakan jika tujuan menempatkan kaum cendekia sebagai wakil rakyat adalah untuk memenuhi harapan kemajuan dan kesejahteraan bersama dalam bernegara dan bermasyarakat. So, anggaran pribadi tak harus dipertaruhkan habis-habisan untuk saling sikut. Bahu-membahulah untuk mengemban misi dan visi.

(Kurnia Effendi)