Tuesday, January 27, 2009

Parti Islam di Simpang Jalan

Sudah tentu, partai Islam bukanlah sebuah kelompok formal yang akan menjalankan syariat Islam dalam praktik kegiatannya sehari-hari. Apalagi jika itu adalah sebuah partai politik berbasis Islam. Kata politik di dalamnya membuat semua prosedur, aturan main, AD/ART akan difungsikan sebagai alat politik. Kata politik yang dekat dengan policy atau kebijakan dapat berarti penyimpangan yang dimaklumi.

Ketika ada sebuah aturan/regulasi baku mendadak mendapatkan jalan buntu dalam salah satu kasus yang tak terpikir sebelumnya, lahirlah kebijakan (policy) untuk mengatasinya. Kebijakan muncul sebagai anomali, kekecualian, pembedaan, dst. Dengan kata lain, kebijakan merupakan penyimpangan. Semakin banyak kebijakan semakin banyak pula penyimpangan, dan akhirnya tidak jelas lagi mana yang lurus mana yang melenceng. Sementara kesetiaan terhadap konstituen bagi anggota partai menjadi semacam kewajiban yang ‘mutlak’. Akibatnya, perbedaan ideologi antaranggota keluarga dalam satu rumah bisa berakibat fatal.

Lunturnya visi dan misi pada sebagaian partai yang berbasis agama Islam melunturkan pula rasa cinta pendukungnya. Perubahan yang sering mengagetkan (dalam bahasa politik disebutmanuver’, dipinjam dari istilah gerakan jungkir balik pada pesawat tempur) tanpa sempat disosialisasikan kepada para pendukung, umumnya karena harus berlomba dengan momentum. Untuk kegiatan politik, dalam hitungan jam, dapat mengubah dari simpati menjadi antipati. Propaganda untuk menarik simpati dari satu pihak justru sering menghasilkan antipati dari pihak yang lain.

Seharusnya partai politik dapat belajar dari pengalaman sebelumnya, misalnya rekrutmen para artis untuk jadi calon legislator. Sedikit-banyak mengakibatkan friksi terhadap calon lain yang tersisih padahal kariernya bergerak dari bawah dengan kesetiaan. Mengenai partai-partai Islam, tentu yang dipersoalkan adalah kepermisifan regulasi.

Kini, kampanye sudah mengalami perkembangan baru lagi. Bukan atas nama partai yang diusung, melainkan mempertaruhkan nama diri dengan nomor urut sebagai caleg dalam partai tertentu. Dari sisi perubahan itu, terasa ada pemindahan tanggung jawab biaya kampanye dari pundak partai ke pundak personal caleg. Kepopuleran seseorang, ketokohan anggota masyarakat, unjuk kerja seorang profesional sangat dipertaruhkan. Apakah nilai-nilai Islam juga akan menjadi modal dasar bagi seorang caleg dari partai berbasis agama Islam? Masyarakat akan mengapresiasi melalui kegiatannya sehari-hari. Acap kali, kesalehan sosial akan lebih mengemuka ketimbang khusyuknya seseorang dalam menjalankan syariat Islam.

Ketika PAN (Partai Amanat Nasional) berdiri, sejak awal mengumumkan bahwa partai itu tidak identik dengan Muhammadiyah. Baju Islamnya dilepaskan, meskipun ketua umumnya, Amin Rais, merupakan Ketua Umum Muhammadiyah. Berbeda dengan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), begitu lekatnya partai itu dengan Nahdlatul Ulama. Meski demikian, kedua partai itu dalam praktiknya tetap moderat, terbuka, dan inklusif. Terlebih ketokohan Gus Dur, tidak hanya menjadi idola kaum muslimin tradisional, namun banyak sahabatnya dari lintas agama. Masyarakat Tionghoa berpihak padanya.

Belum lama ini, Din Syamsudin cenderung memilih membubarkan partai Islam. Pendapatnya itu pasti bukan sebuah ungkapan spontan tanpa dasar. Sebagai Ketua Umum Muhammadiyah, wawasannya telah bertemu pelbagai disiplin ilmu dan mengalami perbenturan politik internal maupun eksternal. Sosoknya yang mulai dilirik oleh calon RI-I untuk jadi RI-II, telah pula mengalami tarik-menarik kepentingan. Separuh untuk politik yang siap mengakomodasi kepentingan orang banyak, separuh lagi untuk mempertahankan lembaga agama yang dikemas secara modern namun tetap strik pada tujuan organisasi. Tentu, di tengah pro-kontra usulannya itu, ada kompromi yang sedang diperjuangkan untuk mendamaikan pelbagai kepentingan.

Itulah sebabnya, politik bisa memiliki seribu wajah. Tergantung sebagai siapa kita memandangnya. Padahal, dalam tarikh masa silam, Rasulullah menempatkan masjid sebagai pusat segala kegiatan. Di dalamnya dapat berkembang urusan ibadah, sosial, kebudayaan, keamanan, dan politik pemerintahan. Masjid bukan semata tempat sujud, namun juga menjadi wahana untuk mempertimbangkan keselamatan umat, serta menjadi tempat briefing mengenai strategi pertahanan dari serangan musuh negara.

Ketika dalam masyarakat sekuler agama hendak dipisahkan dari kegiatan kenegaraan, di satu sisi benar bagi Indonesia yang memiliki penduduk dengan lima agama. Syariat Islam yang pernah tercantum dalam Piagam Jakarta dilepaskan dari pembukaan UUD untuk kepentingan lintas agama. Ketika NKRI terancam, diprediksi akan ada dua provinsi yang dapat memisahkan diri dengan prinsip yang sangat bertolak belakang. Hanya dengan satu kasus, mengenai Undang-Undang anti Pornografi dan Pornoaksi, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Provinsi Bali bersiap-siap mandiri dengan dua alasan berbeda.

Islam dengan fanatisme tersendiri masih terus diperjuangkan oleh masyarakat Aceh. Dengan hukum-hukum Islam, yang dipercaya turun bersamaan dengan wahyu melalui Nabi Muhammad, seluruh perikehidupan akan terpelihara dengan baik. Tak mungkin ada pejabat berani korupsi jika hukuman untuk seorang pencuri adalah dipotong tangannya. Apakah setiap kasus pencurian mendapatkan vonis yang sama? Tidak juga, karena selalu ada proses yang meneliti sebab terjadinya pencurian. Seseorang yang terpaksa mencuri untuk bertahan hidup dari kelaparan, misalnya, mungkin justru melahirkan kritik baru terhadap lingkungan sekitar yang membiarkan orang lain tak tersantuni.

Melihat konflik abadi yang berlangsung di Bumi Palestina, isu agama menjadi santer sebagai propaganda yang disimpangkan. Sentimen keagamaan dipicu untuk membangkitkan kemarahan Islam di seluruh dunia, dan melahirkan tuduhan baru sebagai teroris. Pecinta kemanusiaan dari Hebron Journal, Arthur Gish, menjadi saksi begitu kejamnya Israel terhadap orang-orang Palestina. Namun satu hal yang menjadi penyebab, perebutan tanah air, yang dipercaya menjadi hak Israel sejak nabi Musa.

Kenyataan lain yang disaksikan oleh Luthfi Assyaukani (dari Paramadina Mulia Jakarta) ketika sempat ziarah ke Kota Tua Tel Aviv, mendapati orang-orang Israel adalah kaum yang ramah, gigih, dan mampu membangun lembah itu menjadi hunian yang subur. Mengapa bangsa Arab lain ’diam saja’ terhadap musibah yang menimpa warga Palestina? Orang-orang Palestina, konon menurut Gish, adalah orang-orang cerdas yang akan melibas tanah Arab jika suatu saat memperoleh kemerdekaannya. Jadi, apa yang terjadi sesungguhnya?

Kembali pada masalah partai Islam, tampaknya akan terus memicu sentimen agama untuk kepentingan politik yang berjalan tidak sehat. Sementara masyarakat terus-menerus kecewa terhadap hukum di Indonesia karena keadilan tak kunjung tegak walaupun banyak partai Islam menduduki kursi parlemen. (Kurnia Effendi)

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home