Thursday, January 29, 2009

Ibu-Ibu Gedongan Membahas Buku

Setelah lama berada di luar negeri, ikut suami atau karier pribadi, mereka kembali ke Tanah Air dengan semacam kegagapan dalam arti sesungguhnya. Mereka lebih lancar berbicara menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Tetapi upayanya untuk mencintai Indonesia patut dipuji.

Mereka adalah kaum ibu dengan usia di atas 40-an yang tergabung dalam komunitasMembahas Buku”. Ketika marak di kalangan anak muda penggemar sastra yang membentuk komunitas membaca, kehadiran mereka tentu patut mendapat sambutan. Di Indonesia telah ada komunitas Forum Indonesia Membaca (FIM) yang bergerak dari perpustakaan. Ketua FIM, Dessy Sekar Astina, kini berkantor di Museum Bank Mandiri di Kota, Jakarta Pusat. Gerakan FIM ini membangkitkan kegemaran membaca di kalangan anak-anak dan kaum muda di berbagai tempat. Usahanya dimulai dengan membangun perpustakaan kecil di sejumlah kota dan kelompok pembacanya. Bekerjasama dengan jaringan yang sudah ada, seperti mislanya Sanggar Baca Pelangi di Magelang. Satu dan lainnya dihubungkan dengan komunikasi aktif, berbagi kegiatan diskusi secara berkala sebagai program.

Kita juga telah mengenal “Kubugil” (Kutu Buku Gila) yang beranggotakan para pencinta buku dengan semangat membaca sangat tinggi. Rata-rata mereka membaca 5-10 buku dalam sebulan, walaupun ada di antara mereka yang gemar membeli buku namun membacanya nanti dulu. Kubugil ini pernah mendapat kesempatan bicara dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan di Jakarta dan Surabaya. Umumnya berangkai dengan kegiatan pameran dan bursa buku. Satu dan lain anggota juga bersahabat secara sosial, walaupun anggota tersebar di seluruh Indonesia.

Ada pula Goodreads Indonesia (GRI) yang awalnya didirikan oleh Femmy Syahrani, seorang penerjemah lepas yang tinggal di Bandung. Goodreads, sebagai cabang dari organisasi pembaca buku dunia, bergiat dalam media maya.. Keberadaan mereka memang tidak serta merta memengaruhi penjualan buku di Indonesia, karena justru pada umumnya mereka mendapatkan buku secara cuma-cuma dari penerbit. Mereka yang tergabung dalam GRI, beberapa di antaranya aktif menulis. Pengalaman pembacaan itu tidak semata untuk dimiliki sendiri melainkan disampaikan dalam bentuk review atau resensi di blog-blog pribadi. Dalam situs GRI, kita dapat melihat koleksi buku di perpustakaan pribadi mereka. Mengagumkan, karena pada dasarnya mereka pecinta buku.

Ketiga kelompok atau komunitas di atas sekadar contoh, bahwa di Indonesia terdapat para pecinta buku baik mereka sebagai konsumen/pembaca ataupun sekaligus sebagai pengarang. Munculnya ibu-ibu sebagai kelompok kecil (saat ini baru berdelapan orang) itu  memberika  angin segar, Sebuah majalah, Eve, mencoba memfasiltasi dengan menawarkan judul buku untuk pembacaan bersama.

Pada giliran yang pertama, dipilih buku Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari. Selasa, 20 Januari yang lalu, majalah Eve mengundang pengarang RDP ke Jakarta. Di Café Magenta, Pacific Place, Jakarta, acara itu berlangsung dengan santai dan akrab. Miss G sebagai pemandu acara mengatakan, bahwa kegiatan diskusi buku antara “Membahas Buku” dan pengarang Indonesia akan berlangsung secara berkala. Acara diskusi apresiasi di Magenta, merupakan dialog aktif yang lebih banyak mempertanyakan “Apakah benar di Indonesia ada dukuh seperti yang digambarkan oleh Ahmad Tohari dalam novelnya itu?”

Nova Riyanti Yusuf menjadi moderator. Sepanjang diskusi berlangsung, menurut sumber Parle, Endah Sulwesi, suasana begitu menyenangkan. Antusiasme ibu-ibu yang bukan dari kalangan penggemar sastra, melainkan orang-orang mapan dengan dandanan elegan itu, menarik untuk ‘ditantang’ lebih lanjut. Mereka sangat awam dan keheranan ketika menemukan fakta-fakta unik menyangkut masyarakat miskin yang digambarkan dalam novel. Tentu saja mereka jauh dari persentuhan sosial ke dusun-dusun terpencil. Selain mereka mapan secara ekonomi, tinggal pun lebih lama di luar negeri.

Mereka sebelumnya tidak mengenal para pengarang Indonesia. Justru awal kegiatan itu dimulai dengan pertanyaan: “Kenapa buku-buku sastra Indonesia tidak dikenal di luar negeri?” Ada dua jawaban: (1) Mereka memang tidak mencari dengan teliti, karena sesungguhnya ada beberapa novel yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, termasuk The Dancer (Rongggeng Dukuh Paruk) karya Ahmad Tohari. (2) Masih terlampau sedikit dibanding karya terjemahan asing yang masuk ke Indonesia.

Selanjutnya, untuk diskusi/pembahasan berikutnya, dicalonkan buku Janda dari Jirah, novel karya Cok Sawitri yang sangat puitis dan mengangkat kisah legenda Calonarang. Pada kesempatan itu Endah mempromosikan keberadaan Goodreads, untuk suatu kali di pertemukan dengan komunitas “Membahas Buku” itu. Disampaikan pula, bahwa di Indonesia ada “dewa-dewa sastra” selain Ahmad Tohari; antara lain Pramoedya Ananta Toer, Budi Darma, NH Dini, dan lain-lain. Untuk kalangan pengarang muda, ada di antaranya Seno Gumira Ajidarma atau Ayu Utami.

Ternyata masih ada sekelompok ibu-ibu yang menyisihkan waktu luang dari kegiatan bisnis atau pergaulan kelas atas mereka untuk membaca buku. Kenyataan ini sangat menyenangkan dari sisi budaya dan sosial. Bahkan pilihannya adalah buku sastra karena menganggap tak ada yang menonjol dari pengamatan mereka ketika di luar negeri. Majalah Eve menjanjikan akan mengundang kembali wakil Kubugil, dalam hal ini Endah untuk mendampingi diskusi mereka dengan pengarangnya.

Disayangkan, buku-buku untuk komunitas itu masih dimintakan kepada penerbit. Padahal semestinya, untuk kalangan selevel mereka, harga buku tentu sudah bukan masalah. Sangat terjangkau dan bahkan akan sanggup memborong bila perlu. Kesadaran akan pentingnya buku (fiksi maupun nonfiksi) bagi kelengkapan intelektual mereka, perlu ditingkatkan.

(Kurnia Effendi)