Thursday, January 22, 2009

Republik Petruk, Parodi Otokritik

Ini produksi Teater Koma yang ke-116. Angka itu menunjukkan panjangnya usia. Jika setiap tahun menghasilkan 2 sampai 3 pementasan (rata-rata berlangsung dua minggu) menunjukkan bilangan umur lebih dari tiga puluh tahun. Sebagai sebuah kelompok seni pertunjukan, Teater Koma menjadi fenomena popularitas tersendiri. Naskah asli maupun terjemahan yang dipentaskan, hampir selalu mengundang penonton yang berlimpah. Tampaknya, N. Riantiarno tahu persis keinginan penonton. Ia menyajikan pertunjukan yang, selain mengandung humor yang mudah diterima, selalu mencoba kontekstual dengan kondisi zamannya.

“Republik Petruk”, merupakan bagian terakhir dari trilogi. Sebelumnya pernah dipentaskan “Republik Bagong” (2001) dan “Republik Togog” (2004). Dengan mengangkat kisah yang sangat populer di kalangan penggemar wayang, “Petruk Jadi Ratu”, riwayat tercurinya jimat Kalimasada dari keluarga Pandawa menjadi sempalan yang sangat menarik. Dalam cerita itu, salah satu punakawan di negeri Amarta sempat menikmati kejayaan melalui jimat itu. Siapa yang menjadi sumber dari peristiwa chaos, tak lain adalah Batara Guru dan Batara Narada.

Pementasan kali ini, sebagian besar pemain mengenakan kostum bergaya Manga (komik Jepang). Dengan rambut jabrik warna-warni, para satria Pandawa dan Dewi Mustakaweni, berubah menjadi tontonan pop yang segar. Bahkan banyak ucapan menggunakan bahasa anak muda sekarang, seperti: ‘secara’, ‘capek deh’, ‘akyu’, dll. Mungkin gaya seperti itu, dengan humor di sana-sini, telah membuat pertunjukan Teater Koma kena di hati para penonton. Bahkan, untuk cerita seberat “Kenapa Leonardo?” karya Evald Filsar, September 2008, dihiasi humor-humor yang memancing tawa. Penonton rela bertahan dalam pertunjukan yang rata-rata berdurasi 4 jam.

Sebenarnya, humor itu bukan mengusung gagasan banyolan, tetapi lebih berupa satir. Tawa pahit, menertawakan diri sendiri, parodi yang bersifat otokritik. Di masa lalu, kritik tajam yang menjadi bahan pementasan, pernah mengundang interogasi pemerintah. Di era demokrasi seperti sekarang ini, Teater Koma lebih beruntung, karena lontaran kritiknya tidak serta-merta membentur dinding kekuasaan.

Naskah yang ditulis oleh Riantiarno sendiri ini memang bukan cerita asing. Raja Petruk Belgeduwelbeh Tongtongsot sudah kerap menjadi pilihan dalang wayang kulit maupun wayang orang dengan judul “Petruk Dadi Ratu”, itu seperti ‘kere munggah bale’ alias si jelata yang naik tahta. Secara ‘mental dan genetika’, seorang rakyat biasa yang memimpin negara dan menjadi penghuni istana, selalu digambarkan kurang siap. Jalan hidupnya menjadi semacam utopia, angan-angan kelewat batas, dengan kemampuan yang tak memadai.

Budi Ros, berperan ganda, sebagai Petruk sang tokoh utama, sekaligus menjadi dalang dari cerita keseluruhan. Aktingnya yang kuat, terutama ketika memerankan sebagai pasien rumah rehabilitasi jiwa dalam lakon “Kenapa Leonardo?”, menahan durasi empat jam tetap dalam pertunjukan yang menarik. Kehadiran tokoh Limbuk dan Cangik sebagai batur yang tak pernah uzur dalam kaputren Amarta, sangat menghibur. Tingkahnya yang teatrikal berhasil membuat pertunjukan itu hidup.

Ini kisah tentang Mustakaweni yang berhasil mencuri Jimat Kalimasada. Makna Kalimasada sebenarnya dekat dengan “kalimat syahadat” yang dileburkan ke dalam dunia wayang di masa Wali Sanga, sebagai pegangan hidup orang muslim. Jimat Kalimasada merupakan pusaka Pandawa yang disimpan oleh Wara Drupadi, istri dari Prabu Yudistira, si sulung keluarga Pandawa. Dengan menyamar sebagai Gatutkaca, mengaku diutus oleh Kresna, jimat itu berpindah tangan. Srikandi yang berusaha merebut kembali pusaka itu justru dilumpuhkan oleh Mustakaweni.

Awal dari perbuatan Mustakaweni adalah dendam atas kematian ayahnya oleh Arjuna. Cita-citanya membunuh Arjuna akan berhasil hanya dengan satu cara, yakni menggunakan pusaka itu. Namun ia terpedaya oleh asmara terhadap Bambang Priambada, anak Arjuna dari Dewi Supraba yang hendak mencari ayahnya. Jimat Kalimasada direbut dengan mudah, karena Mustakaweni yang terlanjur gandrung sengaja menyerahkannya. Namun ia terus pura-pura melawan Priambada yang terpaksa menitipkan pusaka itu kepada Petruk.

Di pihak keluarga punakawan, Petruk dianggap minggat tak pulang-pulang. Semar, Gareng, dan Bagong bersedih mencarinya. Mereka tidak menyadari bahwa Petruk telah menyalahgunakan amanat. Ia memerangi dan menaklukkan Kerajaan Lojitengara dengan bekal Jimat Kalimasada, sampai ia diangkat menjadi raja. Kehidupannya sebagai sang raja itulah, ia menganut sistemSerba Boleh Ye…” Di dalam pemerintahan yang serba boleh itu pejabat takut korupsi karena akan dihukum mati, polisi bekerja secara dedikatif. Sementara KKN atas nama demokrasi berjalan marak namun terkendali. Sang Petruk gemar menyanyi dan menari.

Otokritik yang disampaikan, memang masuk ke dalam konteks kondisi saat ini. Seolah tidak ada yang sempurna dalam penyelenggaraan pemerintah, sementara ‘bahaya’ global tetap menyerbu. Ini semacam peringatan bagi kita semua untuk tetap waspada dan perhatian utama harus kepada kepentingan rakyat banyak, bukan demi politik itu sendiri.

Secara keseluruhan, pementasan itu cukup segar. Terutama warna-warni kostum dan dekorasi yang memesona. Setiap perubahan adegan, pergantian latar berlangsung seperti menjadi bagian pertunjukan itu. Musik live yang digelar di depan panggung menyemarakkan sepanjang pertunjukan. Mustakaweni yang diperankan oleh Cornelia Agatha tampil sebagai rocker dengan gaya funky. Nyanyi dan tari memang hampir tak pernah lepas dari pementasan Teater Koma.

Tahun 2009 adalah tahun ke-32 Teater Koma, tulis Ratna Riantiarno dalam buku programa. Pergelaran sandiwara “Republik Petruk” merupakan awal rangkaian kegiatan menyambut usia kelompok teater yang telah melewati angka usia 30. Pilihan terhadap lakon itu, dimaksudkan untuk menatap cermin buram negeri kita.

Teater Koma yang didirikan di Jakarta, 1 Maret 1977, telah menjadi sejarah pementasan tersendiri di Indonesia. Dalam kariernya, Teater Koma pernah meraih rekor MURI, melalui lakon “Sampek Engtay” yang menjadi sandiwara terlama dipentaskan, yakni selama 16 tahun (1988-2004) dengan pergelaran sebanyak 80 kali. Diawali dengan “Rumah Kertas”, karya Riantiarno memang banyak dimainkan, sampai dengan “Republik Petruk” ini. Namun selain skenario asli, Teater Koma juga kerap menggarap karya-karya adaptasi dari dramawan kelas dunia, seperti Bertolt Brecht dan William Shakespeare.

Kesenian memang berfungsi sebagai penghibur, namun juga menjadi alat kritik yang bekerja sangat halus dan multitafsir. 

(Kurnia Effendi)