Sunday, April 30, 2006

Obituari: Pramoedya Ananta Toer

“Selamat Jalan, Bung Pram!”

PRAMOEDYA Ananta Toer, pengarang besar Indonesia yang berkelas dunia, tutup usia hari ini tanggal 30 April 2006, pagi sekitar pukul 9 di rumah Utan Kayu, setelah sempat masuk ICU rumah sakit Saint Carolus Salemba, Jakarta. Usia terakhir beliau adalah 81 tahun 2 bulan lebih 24 hari, karena lahir tanggal 6 Februari tahun 1925. Penyakit yang dideritanya adalah komplikasi antara diabetes dan jantung.

Saya tidak mengenal secara pribadi pengarang kelahiran Blora ini. Hubungan saya dengannya hanya melalui sejumlah karyanya yang juga belum seluruhnya saya baca. Sejarah hidupnya yang melewati masa suram karena selalu berbeda pendapat dengan kebijakan pemerintah, dan pernah menjadi tokoh dalam Lekra, sering membuat perasaan saya gamang: apakah saya harus mencintai atau menjauhi? Tapi semenjak ‘runtuh’nya rezim Soeharto, dan Habibi membuka kebebasan demokrasi, segala sesuatu menjadi lebih terlihat terang, dan ternyata manusia (baik tokoh politik maupun pekerja seni budaya) tidak selalu putih atau hitam. Mereka sering mengenakan
‘baju’ abu-abu, dan memang melalui waktu yang bergulir, yang semula berhadapan sebagai seteru boleh jadi berubah sebagai sahabat atau kawan baru. Meskipun ada yang tetap tegar dengan pendirian, memelihara luka sebagai bekal sikap konsisten. Sehingga muncul semacam perbedaan antara Goenawan Mohamad dan Mochtar Loebis, sebagai sesama tokoh Manikebu, misalnya.

Di satu sisi, Mochtar Loebis tetap berdiri di pihak yang berseberangan, bahkan ditunjukkan dengan cara mengembalikan penghargaan Ramon Magsaysay yang diterimanya dari Filipina, ketika pada kesempatan berikutnya Pramoedya juga menerimanya. Sementara Goenawan Mohamad menyikapi secara lebih netral, bahkan kemudian menulis panjang tentang Pram pada sebuah selingan di majalah Tempo yang diasuhnya, sebagai apresiasi atau penghormatan secara profesional (jurnalis dan sastrawan). Demikian kata Lembaga Magsaysay mengenai Pramoedya Ananta Toer: “Pram menerangi dengan kisah-kisah cemerlangnya kebangkitan kesadaran dan pengalaman modern rakyat Indonesia.”

Pramoedya Ananta Toer merupakan aset bangsa Indonesia yang dikenal luas di mancanegara. Meninggal hari ini dengan berpuluh-puluh buku yang beredar (bebas sejak sekitar sepuluh tahun terakhir) dengan setidaknya dalam 40 bahasa selain bahasa Indonesia. Telah berulang kali masuk dalam nominasi calon penerima hadiah Nobel Sastra, namun selalu luput. Saya memang bukan, hahaha, termasuk yang diminta pertimbangannya untuk itu, namun jika boleh berpendapat, rasanya cukup
pantas Pram menerima hadiah tersebut. Baik dari kualitas karya, keberakarannya terhadap sejarah di tanah air (bahkan penjelajahan kreatifnya sampai ke zaman Singosari), keterlibatannya secara fisik dan batin terhadap gejolak sosial politik Indonesia, kesaksian yang cukup tajam dan detil, serta jumlah (kuantitas) karya yang sulit ditandingi oleh pengarang lain di Indonesia; Pram tidak perlu diragukan lagi
posisinya di antara pengarang dunia. Bahkan kadang-kadang sering saya membandingkan dengan yang telah menerimanya lebih dulu. Misalnya dengan Toni Morrison, atau… ah, sudahlah! Anggap saja belum beruntung.

Sekali lagi saya katakan, saya tidak mengenal Pramoedya secara pribadi, misalnya seperti Eka Budianta atau Taufik Rahzen. Ketika saya mulai punya jejaring untuk dapat dengan mudah mendekati Pram, beliau sudah mulai kurang pendengaran dan kesehatan fisiknya berangsur surut. Saya bertemu terakhir kali pada saat beliau berulang-tahun ke-80, pada tanggal 6 Februari 2005, yang dirayakan secara agak besar di The Pakubuwono Residence, bersamaan dengan meluncurnya buku (yang memperingati peristiwa itu): “Mendengar Pramoedya” karya Eka Budianta. Saya mencantumkan ucapan selamat ulang tahun pada harian Jakarta Post, yang dikoleksi oleh Richard Oh dan Chisato. Pada hari bersejarah itu, saya sempat berfoto dengan Pramoedya yang didampingi oleh Titik Puspa.

Karya-karya Pram memang menakjubkan. Membuat kami yang muda ini hanya sanggup iri dan sulit untuk dapat melampaui, padahal banyak waktu hidup Pram yang dihabiskan secara sedih dan menderita di Pulau Buru. Kita yang seumur hidup merasa merdeka dengan begitu banyak fasilitas justru hanya melenggang dihempas waktu tanpa ‘meninggalkan’ jejak yang ‘monumental’. Tetralogi “Bumi Manusia” adalah yang paling terkemuka dari ratusan buku Pram. Sedangkan karya terakhir yang diterbitkannya adalah “Jalan Pos – Daendels”, Oktober 2005. Menurut salah seorang anaknya, Yudhistira, ada satu buku yang tak sempat dirampungkan, “Ensiklopedia Kawasan Nusantara”, terburu tuhan memanggilnya. Dan pada sebuah omong-omong santai di toko buku MP Point Book malam Sabtu kemarin, tercetus ucapan: “Kapan difilmkan?” Lantas seorang kawan dari Bentang Pustaka menyatakan secara yakin bahwa Garin Nugroho sedang merencanakan itu.

Dulu sekali, di Bandung, tepatnya ketika berjalan di sepanjang Braga, bersama Tia Lesmana, saya masuk ke dalam sebuah toko buku dan menemukan “Rumah Kaca” karya Pram. Saya membeli dengan harga sepuluh ribu rupiah beserta gelimang rasa takut. Waktu itu masih beredar larangan membeli (dan membaca) buku karya-karya Pram, namun penerbit Hasta Mitra tetap melakukan distribusinya secara diam-diam. Barangkali dengan ‘jasa’nya itu, Hasta Mitra perlu pula memperoleh penghargaan. Karena kini, hampir semua penerbit ingin menerbitkan buah karya Pram. Banyak penghargaan yang telah diterima Pram, terutama dari luar negeri. Untuk menyebut beberapa di antaranya: Wertheim Award dari Belanda (1995); Ramon Magsaysay dari Filipina (1995); Madanjeet Singh Prize dari UNESCO Prancis (1996); Freedom to Write Award dari PEN Amerika Serikat (1998); Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan, Amerika Serikat (1999); Chevalier de l’Ordre des Arts et des Letters dari Prancis (1999); dan Fukuoka Cultural Grand Prize dari Jepang (2000). Apakah setelah jasadnya tak hadir di bumi, barulah panitia Nobel memutuskan untuk menganugerahi hadiah? Seperti halnya piala Citra untuk almarhumah Tuti Indra Malaon melalui film “Ibunda”, dan untuk yang kesekian kalinya penghargaan Kompas untuk cerpen terbaik almarhum Kuntowijoyo melalui “Jl Asmaradana” tahun 2005? Wallahu'alam.


Untuk kesekian kalinya saya sampaikan, bahwa saya tak mengenal Pramoedya secara pribadi. Saya mengenalnya melalui pembicaraan, pemberitaan, dan karya-karyanya yang meluas. Saya pernah bertemu dengan istrinya, Maimunah, pada perhelatan ulang tahun Eka Budianta ke-50 di Galeri Cemara sekitar dua bulan lalu. Dan terakhir kali saya saksikan sosok Pram, hanya melalui sebuah film dokumenter berjudul “Menyemai Terang dalam Kelam” bersamaan dengan peluncuran buku “Bukan Kematian” karya Putu Oka Sukanta, tanggal 20 April 2006, di Goethe Institute Jakarta. Kini, hari ini, tanggal 30 April 2006, janazahnya disemayamkan di rumah duka Utan Kayu.

Sebelum saya tutup obituary ini, seorang penyair muda dari Yogya, Joko Pinurbo mengirimkan ungkapan belasungkawanya melalui puisi, yang saya cantumkan disini:

Selamat Jalan, Pram

Selamat jalan, buku
Selamat sampai di ibukata, ibunya rindu
Selamat terbang mengarungi ziarah waktu

Maafkan kami yang belum usai membacamu

JP, 30/4/2006

Baiklah, saya pun ingin menutup dengan kalimat sederhana namun mengandung beban berat ini: “Selamat jalan, Bung Pram! Semoga jejakmu tetap membekas
sebagai monumen karya sastra Indonesia kelas dunia yang tak terlupakan. Kami yang muda ini wajib menjadi generasi pengganti yang mewarisi kualitas karya-karyamu untuk mencipta lebih baik dan lebih mencerahkan.”

(Kurnia Effendi, 30 April 2006)

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Wah, baru saja saya melihat situs ini. Saya turut berduka cita atas berpulangnya Bung Pram. Terus terang saya tidak begitu mengerti perjalanan hidup beliau.
Yang saya ingat...Ketika saya kelas 6 SD, ayah saya merekomendasikan saya tuk membaca buku "Bumi Manusia" buah karya Pramoedya Anantatoer-Ayah saya memang hobi mengkoleksi dan membaca berbagai macam buku. Saat itu yang saya ingat...Ayah saya bilang buku tersebut dilarang oleh pemerintah, jadi saya harus hati-hati membacanya. Samapai saat ini saya juga belum terlalu paham mengapa buku tersebut dilarang. Saya akui, buku tersebut memang sangat berkualitas. Saya angkat topi pada karya Bung Pram.

5:19 PM  
Blogger Unknown said...

christian louboutin shoes
canada goose
rolex watches
adidas trainers
sac longchamp
true religion jeans
coach outlet online
giuseppe zanotti
gucci outlet
mont blanc ballpoint pen
201612.24wengdongdong

4:23 PM  
Blogger 5689 said...

zzzzz2018.8.29
ralph lauren outlet
ray ban sunglasses
supreme shirt
christian louboutin sale
oakley sunglasses
moncler uk
ecco outlet
coach outlet online
michael kors outlet
moncler online

1:12 PM  

Post a Comment

<< Home