Tuesday, June 20, 2006

Bulat Bola Mata


SEJENAK matamu membulat ketika secara spektakular, Im Cahil dari Australia menyarangkan bola ke gawang Kawaguchi, Jepang. Sehingga posisi skor menjadi satu sama. Bahkan sepanjang delapan menit berikutnya, keududukan berubah secara fatal, karena Australia unggul 2 angka. Berkali-kali mata kita terbelalak, adrenalin berdenyar, tangan kita terkepal, dan pekikan terlontar begitu saja dari mulut, mengakhiri ketegangan. Pekikan gembira atau kecewa, tergantung siapa yang kaubela. Sekadar menjadikan salah satu tim sebagai idola atau telah memasang uang taruhan di antara kawan-kawan...

Sejak tanggal 9 Juni, perhatian dunia, dan konon sekitar 3,5 milyar manusia, tertuju pada perhelatan besar Piala Dunia. Barangkali selama sebulan ini segala yang kusut, setiap yang rumit, sebagian besar yang sedih, akan sementara terlupakan. Seorang kawan dari Advertising, Noviana, beberapa waktu yang lalu memiliki gagasan unik namun sedikit mulia. Ketika semua relawan dan posko darurat mengusahakan agar korban gempa Jogja mendapatkan perawatan, tempat bernaung dari hujan, dan makanan yang memadai; perempuan berambut cepak itu menghimpun televisi bekas untuk dikirim ke Jogja. Apakah saudara-saudara kita di lokasi bencana itu masih merindukan sinetron? Bukan! Semata karena ingin berbagi, agar mereka yang terpuruk pun bakal sedikit terhibur oleh pesta FIFA tahun ini!

Ya, bola memang bulat. Karena itu bentuk yang paling tepat agar dapat menggelinding bebas dan terbang tanpa banyak hambatan. Karena bulat pula, bola tak memiliki wajah atau punggung. Ia bisa menghadap ke mana saja, tak pilih kawan atau lawan, karena harus netral dan bersedia ditendang ke segala arah. Tak hanya diperebutkan oleh 22 orang yang berada di lapangan dengan ambisi untuk menang, tapi diperebutkan secara imajiner oleh setiap penonton di pelbagai tempat. Café-café mendadak penuh sesak dan membuka pintu serta bar mereka hingga larut pagi. Dan mereka yang gegap-gempita di malam buta itu, esok siangnya, di kantor masing-masing, kadang-kadang tak sanggup menahan mata mereka agar tetap bulat. Kantuk menyerang pada jam-jam strategis: ketika rapat berlangsung.

Mari kita ingat kisah di masa lalu. Ada seorang anak laki-laki penggemar sepakbola yang bertekad menemui bintang sepakbola idolanya di stadion. Ia telah merencanakan jauh-jauh hari agar dapat bertemu dan bercakap-cakap.

Pada jadwal pertandingan yang ditunggu-tunggu, ia pun berhasil masuk ke ruang ganti pemain. Mengingat waktu untuk perjumpaan itu terbatas, ia segera mencari bintang pujaannya, dan langsung menyapa : "Hai, superstar, saya ingin minta tanda tangan anda."

Sang idola merasa terganggu, maka ia cepat-cepat mencoretkan tandatangan di halaman buku yang diangsurkan tanpa memandang pemiliknya.

"Superstar, saya sangat mengagumi anda. Saya selalu menonton setiap pertandingan anda. Di kamar saya dipenuhi poster-poster gambar anda." kata anak laki-laki itu penuh semangat.

Sang idola menyambut dengan setengah hati dan mengatakan "Terimakasih. Tapi saya sangat sibuk." Sang idola itu hanya memberinya sedikit senyum.

"Saya tahu bagaimana masa kecil anda, kegemaran anda, dan cita-cita anda." Anak kecil itu melanjutkan, untuk menunjukkan kekagumannya. Sang idola kini memandang anak itu. Pada sepasang matanya terdapat pancaran semangat yang sungguh-sungguh. Mata yang membulat seperti bola!

"Hebat kamu. Tapi saya sebentar lagi akan melakukan pemanasan." Ketika sang idola selesai mengenakan sepatu dan mulai berlari-lari kecil, tampaknya itulah saat berpisah.

"Baiklah, Superstar." Anak itu mengulurkan tangan dan mereka berjabatan. "Saya ingin seperti anda. Nama saya... " Ia menyebutkan namanya dengan lantang.

Sepuluh tahun kemudian, anak itu menjadi pemain sepakbola terkenal.

Apakah mata yang berbinar sebulat bola dan menyiarkan semangat untuk menggapai cita-cita merupakan pertanda bahwa upayanya akan berhasil? Rasanya, ya! Untuk bidang pekerjaan apa pun, ternyata yang diperlukan pertama kali adalah keinginan keras untuk merealisasikan niatnya. Untuk menyatakan (mengubah jadi nyata) impiannya. Perjalanan menuju ke ujung cita-cita tidak selalu mudah, penuh aral, bahkan acap kali membuat kita kadang-kadang putus asa. Tetapi, seperti perenang yang harus mengatasi kabut di atas lautan, atau pendaki yang tak henti berlatih demi merengkuh puncak Himalaya, harapan yang nyaris patah harus diperangi.

Teman anak saya, sejak awal kelas III SMP, sudah merekam SMA idolanya dalam telepon selular. Sebuah SMA unggulan, bukan saja untuk wilayah kotamadya, tetapi provinsi bahkan nasional. Setiap didengarnya orang menyebut nama SMA itu, langsung disambut dengan: "Itu SMA gue!" Padahal masih setahun lagi dia akan menempuh bangku SMP-nya. Tetapi sebuah motivasi telah ditanam. Seumpama benih, tanaman impian itu disiram dan ditaburi pupuk setiap hari. Dengan selalu mengingatnya. Dengan belajar sungguh-sungguh untuk melampaui batas minimal nilai yang disyaratkan. Dengan membayangkan, bahwa suatu hari dirinya akan mengenakan seragam abu-abu dan melaksanakan upacara bendera di SMA impian itu! Pada sampul buku pelajarannya ditempel foto-foto SMA idolanya yang diambil dari pelbagai sudut.

Motivasi adalah doa dalam bentuk yang lain. Impian bukan bunga tidur, melainkan cita-cita yang hendak kita raih. Maka, impikan sesuatu yang akan membuatmu merasa bergetar ketika mencoba meraihnya, dan meluap rasa bahagia saat mendapatkannya... seperti bulatnya bola mata kita oleh kegembiraan fantastis!

(kurnia effendi, untuk kolom Jeda Tabloid PARLE, edisi 42, 19 Juni 2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home