Untuk Nova Riyanti Yusuf
NORIYU
Kurnia Effendi
AKU membuka pintu sebelum ia mendaki tangga teras dan mengetuk bidang kayu warna coklat tua. Ia terpana di tanah berumput, memandangku dengan mata tak berkedip. Celana krem dengan blus-kaus warna putih yang memiliki bordir di bagian belahan dada terlampau kontras dengan langit kelabu yang melatarinya.
Lalu turunlah hujan.
Air yang tumpah dari langit tidak membuatnya beranjak dari tempat semula. Tidak tampak mengejutkannya, seperti telah diperkirakan dengan akurasi detik, bahwa mendung di atas kepalanya akan berubah menjadi hujan. Wajahnya sebentar tengadah dan berjuta titik air menyiramnya. Rambutnya seketika basah. Juga pakaiannya.
"Ayo, naiklah!" kataku. Aku berdiri di tengah sepasang pintu yang terbuka lebar. Ada hembusan angin basah yang bertemperasan menempuh tubuhku.
"Kamu ingin aku naik ke beranda?" Ia bertanya seperti tak yakin.
"Salah. Kamu yang ingin naik, dan aku mengingatkanmu."
Kedua alisnya hampir bertaut. Wajahnya yang diguyur hujan tampak lucu. Menggemaskan.
Ia tidak mencoba bertahan dengan berbagai alasan. Kakinya, mulai dari yang kanan, sebagaimana diajarkan oleh orang tuanya sejak masa kanak-kanak, menginjak tangga pertama. (Oh ya, sekarang dia berusia dua puluh tujuh tahun. Tapi buah dadanya cukup memprihatinkan: tak melampui besar buah apel). Kaki kirinya menginjak tangga kedua. Dan seterusnya. Sampai ia berdiri hanya beberapa sentimeter di depanku. Selain aroma hujan, ada wangi yang kuhirup dari parfum yang mungkin tetap lekat di serat pakaiannya.
"Namaku Noriyu," ia memperkenalkan diri.
"Aku sudah tahu."
"Maksudmu?"
"Aku sudah tahu namamu Noriyu."
Kembali sepasang alisnya hendak bertaut tanda sejumlah pertanyaan terhimpun di keningnya. Tapi kemudian ia tersenyum. Kurasa, ia termasuk perempuan yang tak terlalu memikirkan muslihat lawan bicaranya. Ia bisa saja menganggapku seorang Picasso, yang selalu berucap, "Hai, aku sudah mengenalmu sejak sebelum kamu dilahirkan..." kepada setiap perempuan cantik yang menarik minatnya untuk jatuh cinta.
"Bagaimana kini rupaku?" Dia, Noriyu, mengangkat wajahnya menatapku lurus, memperlihatkan seluruh paras yang kuyup oleh hujan.
"Ternyata kamu tak berhasil menjadi buruk," kataku sejujurnya.
"Maksudmu?"
"Ternyata kamu tetap cantik. Bahkan lebih menggemaskan dalam keadaan seperti itu. Jika tidak ingin disebut menggairahkan."
Ia mengumpat perlahan. Seperti seseorang yang kecewa. Tapi aku tidak menyesal telah mengucapkan pendapatku itu. Aku tak pernah berdusta. Bahkan dalam keadaan terpaksa sekalipun.
"Sebaiknya kamu menangis seperti orang lain menangis ketika berduka. Lakukan seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu." Saranku. "Kenapa mesti ditahan dalam dadamu yang rapuh?"
"Kenapa kamu mengejekku?" Ia mendorong dadaku dengan tangannya yang juga basah. Lalu ia masuk ke dalam rumah. Lantai ruang tamu segera dihiasi genangan oleh tetes-tetes air dari tubuhnya.
"Kamu tak ingin melepas sepatumu? Kamu pasti merasa sayang jika sepatu itu rusak. Ada kenangan tersimpan di sana, yang akan mengingatkanmu pada Bandung. Dan..."
"Diaaaam!" Noriyu menjerit dan matanya menyorot tajam kepadaku. "Dari mana kamu tahu semua itu?"
Aku diam saja. Dengan cara itu, aku tahu, Noriyu tidak akan melanjutkan kegeramannya. Dan seperti yang kusarankan, ia melangkah ke sebuah sofa. Duduk tanpa perduli pada air yang akan rembes ke bahan berpori yang membungkus busa kualitas tinggi itu. Benar, dia menangis. Kulihat dadanya naik-turun, bagai ada pompa yang bekerja di dalamnya, berusaha meniup sepasang balon yang terbalut blus-kaus itu, tapi tak pernah berhasil membuat mereka menggelembung.
Tumit kirinya mencoba melepas sepatu di kaki kanan, lalu ujung ibu jari kaki kanannya melepaskan sepatu yang kiri. Kini sepasang kakinya telanjang. Bagian bawah setiap jarinya mulai keriput oleh dingin air yang sempat merendamnya beberapa saat.
Hujan masih membuat lukisan garis pada bingkai jendela. Kadang-kadang berhias petir. Tapi tentu ledakan perasaan sedih jauh lebih kuat di dada Noriyu. Yang kini dialirkan melalui air mata. Meski sulit dibedakan, mana yang terbit dari sudut mata, dan mana yang bersumber dari ujung-ujung rambut basahnya di pelipis.
"Sebaiknya kamu tulis seluruh perasaanmu. Selain akan membuatmu menjadi lega, kamu melahirkan satu kisah lagi yang dapat dibagikan kepada teman-temanmu..."
Kata-kataku terhenti oleh pandangan matanya yang tajam. Tangannya menyeka pipi dengan kasar. "Kamu ingin aku menulis sebuah kekecewaan yang mendalam?"
Aku menggeleng. "Aku hanya mengingatkan. Sejak kamu berjalan dari plaza itu, sudah tumbuh keinginanmu untuk menulis. Dengan segera melakukannya, gumpalan yang menyesaki rongga dadamu itu akan mencair, bahkan mungkin menguap."
Sepasang tangannya tiba-tiba menutupi wajahnya. Dan aku tahu, dari sela-sela jemari kurus itu mengalir air mata. Aku membiarkan kemarahan yang memadat itu terurai. Dengan cara itu, senyumnya akan lekas kembali.
Beberapa menit kemudian Noriyu berdiri. Ia tahu, dengan membiarkan tidak mengganti pakaian, tentu akan masuk angin. Urusan bakal memanjang dan lebih tidak nyaman. Tapi ia masih cukup perduli dengan daya tahan tubuhnya yang terlukis melalui semua ukuran minimum.
Sebelum ia melangkah, ia memandangku. "Apa lagi yang hendak kamu katakan?"
Aku tersenyum. "Mandilah dengan air hangat. Lalu menyeduh segelas susu. Itu akan..."
"... memulihkan tenaga dan menghindari penyakit yang tidak perlu terjadi." Noriyu melanjutkan. "Itu aku tahu, karena aku dokter!"
Aku tidak membantah. Percuma. Aku hanya ingin menjadi sahabatnya. Yang hadir di saat dia membutuhkan. Untuk melipur perasaannya yang terluka. Menjahit hatinya yang robek. Tapi, entahlah. Apakah kali ini berhasil? Walaupun ia seorang dokter, bukan berarti hatinya terbuat dari aluminium.
Sehabis mandi dan meneguk kopi hangat (ternyata bukan susu hangat) dari cangkir keramik, yang tampak terlalu pekat, Noriyu menyalakan komputer. Ia membiarkan cahaya lampu hanya menyala untuk keyboard yang mulai diraba oleh jari-jari kurusnya. Ah, kenapa ia tidak mencoba sedikit rakus saat makan siang, agar lengannya lebih berisi? Rasanya sangat sulit. Jika kubujuk, tentu akan pecah pertengkaran yang ujungnya justru tidak mau makan sama sekali, kecuali mengunyah mangga muda atau sebutir buah pir.
"Mulailah dengan umpatan, agar perasaanmu puas. Setelah amarahmu reda, kata-kata awal itu boleh kamu ganti..."
"Kenapa kamu mengajariku?" Noriyu meradang. "Aku tahu bagaimana aku harus menulis. Kamu pikir aku siapa?"
"Siapa yang mengajarimu? Aku hanya mengingatkan."
Tangan Noriyu terangkat dari keyboard. Merajuk. "Mungkin sebaiknya kamu saja yang menulis. Bukankah itu lebih meringankan bebanku?"
"Apakah benar kamu setuju? Apakah kamu ingin aku menceritakan semuanya tanpa satu adegan pun terlewatkan?" Aku memancing.
"Terserah apa maumu!"
"Sejak kamu duduk di kafe itu menunggu kedatangannya? Atau langsung dari setiap jalan pikirannya yang mulai tidak kamu pahami dan menerbitkan perdebatan sengit?"
Air mata perlahan-lahan meleleh ke pipinya. Ke pipi Noriyu yang mulai cekung, padahal pagi tadi masih tampak bulat.
"Atau diawali dengan selera makanmu yang hilang? Atau agar lebih menarik, justru dibuka dengan kejadian ketika kamu meletakkan bingkisan yang sedianya kamu serahkan secara manis, tapi berubah dengan - bahkan - melepas cincinmu? Ya, persis sebelum kemudian kamu dengan setengah berlari meninggalkan kafe..."
Sepasang tangan Noriyu kini menutup telinganya. Matanya terpejam, seperti yakin pelupuk yang terkatup itu sanggup menahan gempuran luar biasa yang datang dari dalam hatinya. Lalu ia berteriak: "Diaaaaam!"
Aku pun terdiam. Namun suasana tidak sungguh-sungguh sepi, karena masih terdengar desis gerimis di luar rumah. Warna langit putih tua. Pada warna serupa itu, waktu tak dapat dibaca dengan cermat: masih siang atau sudah sorekah?
"Siapa sebenarnya kamu?" tanya Noriyu lantang. "Dan apa maumu?"
Aku tersenyum sabar. "Aku hanya ingin menjadi sahabatmu. Aku akan menghalau seluruh temperamenmu yang hanya akan membuatmu putus asa. Aku akan menjaga perasaanmu yang paling rapuh."
Noriyu menggeleng. "Aku tidak mengerti..."
"Sesungguhnya kamu mengerti. Kamu tahu. Seperti aku tahu siapa kamu sesungguhnya."
"Siapa namamu?"
"Kamu bisa memberi nama siapa pun untukku."
Noriyu terdiam. Ia memandangku demikian cermat. Lalu terdengar suaranya perlahan, pertanda emosinya reda. "Kamu laki-laki atau perempuan?"
Aku tidak menjawab. Karena aku tahu, Noriyu pasti tahu, aku laki-laki atau perempuan. Dia sangat tahu, aku adalah bagian dirinya yang memisahkan diri saat perasaan kecewa, sedih, marah, atau kehilangan sedang meremas hatinya. Aku yakin dia tahu.
***
(untuk Nova Riyanti Yusuf)
Jakarta, 23 September 2005, 22.00 -23.54
1 Comments:
mantap, mas, tulisanmu membuatku teringat kembali siapa itu Noriyu. Meskipun aku blom pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
Sulit meninggalkan kata dalam waktu yang terpisah untuk selesaikan membaca tulisanmu. Sekali lagi, mantap!!
Terus berkarya yak!
antown.blogspot.com
usmany.deviantart.com
Post a Comment
<< Home