Sang Peminag Waktu
Laki-laki itu masih belia. Bening matanya memancarkan semangat. Dalam dadanya yang terbungkus kemeja Arrow warna pastel, seperti terdapat buncah antusiasme. Langkah kakinya, dengan sepatu Aigner, mantap dan pasti. Lolos dari pintu lift pada jam kesibukan tinggi, membuat Satpam -- di lobby lantai kesekian gedung berdinding granit yang memergokinya -- segera merapatkan kaki, berdiri tegap, dan memberi anggukan hormat. Siapakah dia?
Mungkin tak perlu nama. Dialah Sang Peminang Waktu! Yang kemudian masuk ke ruangan bersih, wangi, separuh transparan. Interior berkarakter gaya Widagdo dan Rekan, seperangkat meubelair kelas Diethelm, menjadi bagian dari kehadirannya. Dasinya sedikit berayun ketika tangannya meraih telepon. Sekejap tersingkap ujung manset jasnya, berkilau Rolex di pangkal nadinya. Selanjutnya ia bersandar di kursi bersalut kulit terbaik, terdengar greeting yang segar dari bibirnya, dan pandangannya menembus jendela ke arah punggung apartemen di seberang...
Sekali lagi: ia masih belia! Dan sedini usianya, sudah berada pada posisi nomor awal sebuah korporasi. Tentu membuat gemetar para gadis, yang secara sistematis segera berhitung, dan memberanikan diri bermimpi untuk - bahkan jika hanya sesaat - memilikinya.
Apakah ia selalu menyelamatkan waktu? Atau, justru waktu telah menyelamatkannya? Kita tahu: Bung Karno telah mengambil waktu yang tepat untuk moment kemerdekaan Indonesia. Waktu yang mustahil (bagi akal awam kita) telah membawa Rasulullah berjalan jauh dan naik ke langit dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Pertanyaannya kini: adakah salah satu dari kita yang diberi jumlah lebih banyak atau lebih sedikit dari waktu alam raya, yang telah berlangsung milyaran tahun?
Inilah yang paling menarik dari sebuah hidup. "Waktu" menjadi sosok abstrak, namun tinggal bersama kita. Melekat dan tak mungkin kita ceraikan, kecuali dengan perginya ruh dari badan dan masuk ke ...rongga-waktu yang baru. Dalam ilmu tertentu, waktu berperan menjadi dimensi, setelah besaran panjang, lebar, dan tinggi, sulit menjelaskan ukuran benda. Waktu berjalan tetap. Konsisten dan selalu melangkah ke depan. Tak perduli kita tidur, atau berlari sebagaimana kisah Marathon. Justru sikap kita terhadapnya yang mengubah waktu menjadi pelbagai kesan.
Mungkin kita terpesona, ketika menyadari bahwa saat benak kita memutar-balik kenangan: menjelajah ke masa lalu dengan detail yang sayup, unforgetable memories, tersenyum sendiri: itu pun memerlukan waktu yang sesungguhnya berjalan ke muka. Di bagian akhir novel filsafat "Dunia Sophie" karya Jostein Garder, dijelaskan (kembali) bahwa gemintang yang terlihat malam ini adalah komposisi beberapa puluh tahun (cahaya) yang silam. Dengan kata lain, waktu selalu maju, sementara jarak membedakan (dan membekukan) sesuatu yang kita pandang.
Diam-diam, boleh jadi, kita iri dengan golongan muda yang transfer gajinya melebihi standar. Kagum kepada seseorang yang acap kali mengubah opini publik. Kepincut terhadap mobilitas tinggi mereka. Lantas...selama ini kita berada di mana? Rentang benang informasi, yang tampak dan yang luput, demikian rumit tak tersentuh. Tiba-tiba kita merasa ngungun karena terletak di luar kesibukan itu. Atau kita tak lagi mampu memasukinya: seperti seorang yang lama pingsan dan kembali ke panggung dengan setelan old-fashion.
Kita semua telah, sedang, dan akan terus melewati seleksi alam, sungguh pun tidak sepenuhnya kita sadari. Survive adalah kata kunci, juga tindakan konkret, dalam keadaan baik maupun buruk. Dan waktu adalah garis linier, panjang menuju entah kapan, seperti eskalator di sebuah bandara yang boleh kita ikuti putarannya atau kita diam dan segera ditinggalkannya.
Kembali kepada cerita awal, Sang Peminang Waktu ternyata menelepon sahabatnya. Seseorang di seberang menerima dengan suara bangun tidur. "Oh, kamu! Di mana ini?"
"Di kantor. Baru saja kudengar kenaikan indeks saham kami. Sambil menunggu hasil tender kilang minyak di lepas pantai Panama, tiba-tiba aku kangen kamu. Kebetulan Fitri kirim e-mail, katanya akan ada reuni. Rencanaku, anak-anak kuajak liburan di Aussy, terus langsung ke Bandung, kita kumpul di Sabuga."
Kawan di seberang, bangkit dari posisi berbaring dan bagai terperanjat melihat - mungkin - arloji atau almanaknya. "Tanggal berapa reuni kita?"
"Dua Juli. Ups, sorry! Nanti kutelepon lagi, ya? Tamu dari Konsorsium Kontraktor Pertambangan sudah tiba."
Telepon itu telah ditutup. Dunia yang menjadi 'sekecil' bola golf lantaran teknologi telekomunikasi, mengisyaratkan nisbinya sebuah jarak. Kawan yang terbangun oleh dering telepon kini turun dari ranjang. Kepalanya yang mulai berisi mesin dengan roda-roda berkarat, berpikir: "Ah, sebelum mandi perlu mengisi teka-teki. Melangkah ke kantor pukul 10, rasanya sangat cocok. Sambil menunggu satu-dua konsumen, merokok dan minum kopi barang secangkir alangkah nikmat..."
Dalam antologi "Mimpi Gugur Daun Zaitun", ada salah satu sajak Dorothea Rosa Herliany berjudul "Para Pembunuh Waktu". Digambarkan tentang manusia yang bermalas-malas, melakukan pekerjaan iseng yang boleh jadi sia-sia. Secara tulus, mari bertanya: benarkah kita sedang 'membunuh waktu'? Minum di kafe berjam-jam, melamun di depan akuarium, menunda bangun tidur hingga matahari sepenggalah, begadang di ujung gang dengan setengah mabuk; adakah termasuk membunuh waktu? Bagaimana kalau ternyata Waktu yang membunuh Kita?
Tuhan memberikan waktu yang sama kepada pengusaha sukses dan yang bangkrut; kepada ajengan pesantren dan bromocorah; kepada antariksawan di NASA dan calo bis di Pulogadung; kepada pembicara seminar dan sejumlah mahasiswa yang sedang bolos kuliah... Kepada mereka, juga seluruh isi bumi, diberikan waktu 24 jam sehari. Namun tidak setiap orang mejadi Sang Peminang Waktu. Banyak di antaranya melepaskan saat-saat penting untuk berkarya, barangkali termasuk kita, yang suka lupa kapan harus kembali dari makan siang. Ternyata, dengan riang masih bisa kita relakan jam demi jam terbuang tanpa penyesalan.
Cukup arif, rasanya, bila sesekali kita tengok lorong waktu yang telah lampau. Apa yang pernah kita tabung di dalamnya? Berkeping uang permata, tebaran biji-biji ilmu, sepetak rumah di surga, atau jaminan hari tua? Meski hedonisme terus menyihir kita untuk tak perduli dengan nilai-nilai konservatif itu. Jadi, perlu kita baca baris pertama sajak Dorothea: "Sampai hatikah engkau membunuh waktu?"
Semacam ironi telah menjadi budaya: ketika kita sedikit berfoya-foya persis di hari ulang tahun. Sementara di sudut rahasia, Sang Waktu mencabut satu helai tahun yang diberikan kepada hidup kita. Ya, diam-diam ia berjalan menjemput...
(Kurnia Effendi, dimuat di kolom JEDA, tabloid PARLE, edisi 3 Juli 2006)
***
1 Comments:
judulnya kurang N tuh kang...:)
Post a Comment
<< Home