Monday, July 10, 2006

ZAT Harus Dirasakan Apa Adanya

 

 

BANYAK orang kesulitan menulis puisi, namun beberapa orang (yang kemudian disebut penyair) begitu mahir menulis puisi. Bahkan beberapa di antaranya, puisi sudah menjadi bagian dari ucapannya sehari-hari, atau sanggup mengalir begitu saja dari gerakan jemarinya melalui pena atau tuts papan-kunci komputer. Sehingga, setiap gelagat (untuk menunjuk bagian dari peristiwa atau perasaan) mampu ditangkap oleh sang penyair dan secara serta-merta membentuk diri menjadi seuntai kata-kata. Spontan? Ya. Tapi untuk melahirkan respon spontan demikian itu, seorang penyair telah melampaui banyak asam-garam perjalanan kreatif (dalam hitungan waktu maupun frekuensi keterlibatan) dengan alam yang sebenarnya maupun ‘alam yang lebih luas’ yakni cakrawala wawasannya yang mungkin ditempuh melalui pembacaan (studi pustaka) dan pergaulan (berguru atau konsultasi dan diskusi dengan para pendahulunya).

 

 

Itu sebabnya, Joko Pinurbo dapat menulis puisi sederhana yang mendalam hanya beberapa saat setelah mendengar kabar Pramoedya Ananta Toer wafat. Saya kutip lengkap puisinya:

 

 

Selamat Jalan, Pram

 

Selamat jalan, buku

Selamat jalan di ibukata, ibunya rindu

Selamat terbang mengarungi ziarah waktu

Maafkan kami yang belum usai membacamu

 

 

 

Atau Hasan Aspahani, penyair dan jurnalis dari Batam, yang demikian sensitif terhadap makna kata. Serangkaian puisinya bahkan mengangkat kata-kata ‘baru’ dalam kamus. Ini salah satu contohnya:

 

 

Sajak Kamus Berawalan Huruf L

 

licak : pada akhirnya, hanya padang lumpur semata kaki,

      selapis pasir menajam terasah telapak kita sendiri;

      aku tergelincir berkali-kali, dan semakin mengerti

kenapa dulu kaurelakan saja aku pergi. Sendiri.

 

 

 

Mereka yang kesulitan menulis puisi belum tentu tidak menyukai puisi. Mereka adalah pembaca puisi (secara pertunjukan maupun untuk diri sendiri). Banyak penggemar dan penikmat puisi yang tidak dapat membuat puisi, tetapi sanggup memberikan beberapa contoh puisi yang baik kepada kita. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa menulis puisi bukanlah perkara mudah. Banyak lagu yang menggunakan lirik puisi, tetapi bukan berarti setiap lirik lagu adalah puisi.

 

 

Oleh karena mencipta atau menggubah puisi bukan hal yang gampang, seni menulis puisi patut dihargai. Setelah berhasil membuat satu atau dua puisi, mungkin boleh menyandang atribut penyair, tinggal mempersoalkan kesetaraan: antara penyair pemula (ditilik dari kapan terjun ke dunia penciptaan puisi, bukan masalah usia) dan penyair senior. Dari terminologi ini akan terbedakan antara Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sitor Situmorang, dengan sejumlah penyair di Teater Zat, misalnya. Akan tetapi, jangan khawatir, kadang-kadang yang baru saja memulai debutnya dalam perpuisian begitu lekas mencapai ‘posisi’ terhormat. Karena apa? Saya akan sangat setuju jika disebabkan oleh kualitas dan orisinalitas puisinya. Sebab, dalam kancah seni apa pun, kerap muncul semacam upaya melambungkan nama seseorang melalui kekuatan media massa. Tetapi percayalah, seperti yang pernah disampaikan oleh pengarang K Usman dalam sebuah acara: “Berapa banyak sastrawan yang diorbitkan oleh HB Jassin? Tetapi tidak semua bertahan atau konsisten sebagai sastrawan.” Di balik itu, meskipun prosentasenya dapat diperdebatkan, peranan bakat menjadi sangat penting.

 

 

Dalam kumpulan puisi Teater Zat ini, para penyair adalah anggota teater. Dari biodata yang saya baca, umumnya mereka pernah mementaskan – bahkan menulis naskah – teater. Memang ada hubungan erat antara puisi dan teater, jika sosialisasi puisi ditempuh dengan cara menghampiri penikmatnya melalui pertunjukan (pembacaan puisi, deklamasi). Tetapi jika puisi itu hanya tampil dalam bentuk teks di media cetak, dan pembaca yang menghampirinya, tentu akan sangat berbeda dengan teater yang sama sekali tidak hidup jika hanya berupa teks. Teater mengandung, setidaknya, unsur gerak, blocking, dan disiplin (urutan) waktu.

 

 

Pada saat para pemain teater menulis puisi, sepanjang dia bukan bermula sebagai penyair, akan tampak perbedaan. Penggunaan kata pilihan yang bersumber dari (sejumlah) perenungan tidak sama dengan penggunaan kata yang bertujuan untuk mengkomunikasikan pesan melalui ungkapan verbal. Ada teater yang puitis (dari sisi narasi, percakapan, latar visual), namun belum tentu efektif sebagai tujuan pertunjukan. Sebaliknya, puisi yang menitikberatkan pada keindahan pembacaan umumnya lebih mudah dicerna, misalnya karya Hamid Jabbar, Jose Rizal Manua. Hanya beberapa penyair yang sanggup berpijak pada dua genre dengan sama baiknya, antara lain Rendra dan Arifin C Noer.

 

 

Jadi seperti apa puisi yang baik? Pendapat setiap orang, bahkan kritikus sastra, akan berbeda-beda. Dengan kata lain, petik salah satu penilaian yang paling sesuai dengan hati nurani. Karena pada dasarnya, setiap penciptaan itu harus dari kedalaman hati sendiri. Sebuah karya akan terasa utuh jika antara bentuk dan isi menjadi harmonis. Umumnya puisi adalah bentuk ekspresi diri (meskipun merupakan olahan dari stimulus luar yang ditangkap oleh pancaindra), sehingga yang diutamakan adalah kejujuran. Ketika kita mengungkap rasa sedih, dalam pilihan kata atau pencapaian suasana melalui kata, sudah seharusnya bukanlah basa-basi. Ketika Chairil Anwar menulis puisi berjudul “Doa”, kita sebagai pembaca merasakan, ada kekhusyukan di sana. Ada yang ‘hilang bentuk’ pada proses spiritual Chairil. Tanpa harus saya menunjukkan satu per satu, rasakanlah pada masing-masing puisi dalam kumpulan ini: apa yang sedang terjadi dengan penyairnya?

 

 

Setelah itu, tentu teknik. Ini lebih bersifat keterampilan, yang dapat dicapai melalui latihan. Semakin sering seseorang menulis puisi, semakin lancar dia mentransformasikan segala yang ditangkap oleh pancaindra ke dalam media tulisan. Yang berdesir di luar lebih lekas terterjemahkan sebagai desir yang terjadi di dalam pikiran dan hati. Seperti halnya teater, mana mungkin kita melakukan aksi-peran yang baik tanpa penjiwaan dan latihan sebelumnya. Dan yang disebut latihan, tidak perlu tabu pada seorang guru. Semakin banyak ilmu yang kita dapat dari orang-orang yang lebih dulu tahu, justru berarti kita sedang melakukan ‘jalan pintas’ positif. Yang paling tabu buat kita adalah menjadi plagiat. Menjadi epigon sejenak boleh saja, namun selanjutnya segera mencari jati diri. Karena sesungguhnya, karya adalah sidik jari. Semakin berpisah dengan gaya orang lain, akan semakin tegas ‘sidik jari’ kita.

 

 

Aneka ragam puisi pada kumpulan ini belum menunjukkan ‘sidik jari’ itu. Tapi tidak perlu berkecil hati, karena tidak ada pendakian puncak gunung yang tidak dimulai dengan langkah pertama. Saya tentu tak akan menilai satu per satu puisi, kecuali untuk mengambil contoh. Pengalaman juga memberikan bukti, semakin tinggi ‘jam terbang’ seorang penyair, akan semakin matang pemilihan kosakatanya. Mungkin sebelumnya melalui perjalanan berliku, menemukan pelbagai peristiwa seru, lalu setiap sensasi yang dijumpai ingin diungkapkan, sehingga puisi menjadi berat bukan oleh kualitas yang bernas, namun justru oleh beban kata-kata yang letih oleh ‘tema besar’. Padahal dari urusan cinta saja, sanggup mengalirkan banyak metafor dan rinci perasaan yang tak dikenali saat kita tidak sedang jatuh cinta.

 

 

Baiklah, dalam kumpulan puisi ini ada yang mencoba berkarya dengan sajak-sajak pendek. Misalnya Hafid Amrullah. Puisi-puisi pendek, bukanlah puisi-puisi yang mati langkah. Ia justru telah melakukan ‘metamorfosa’ dari sesuatu yang berlebihan dan cerewet menjadi ringkas dan kaya makna. Haiku atau Kwatrin atau Rubaiyyat, adalah contoh-contoh gaya puisi pendek. Kesederhanaan susunan kata namun mewakili perasaan yang mendalam atau peristiwa yang tak terlupakan, akan lebih berharga dibanding puisi bombastis ditulis dengan panjang yang sekadar mengulang dan menguatkan segala yang hendak disampaikan penyair. Sapardi Djoko Damono, Medy Loekito, dan beberapa puisi pendek Abdul Hadi WM, dapat dijadikan referensi. Dengan latihan yang tepat, menulis puisi pendek menjadi pilihan yang baik, karena sesungguhnya tidak mudah menulis puisi pendek yang utuh. Saya kutipkan satu puisi Medy Loekito di bawah ini:

 

 

Danau Maninjau

 

di biru danau Maninjau

tangan Tuhan menabur bintang

yang memijar di mata ikan-ikan

 

 

 

Pemilihan judul juga menentukan bagi sebuah puisi, meskipun tidak sepenting pada prosa. Afrizal Malna, salah satu penyair angkatan 80-an yang fenomenal, sering membuat judul yang tak lazim sebagai kalimat atau frasa. Tetapi itu sangat cocok dengan isi puisi yang diungkapkannya. Misalnya, “Liburan Keluarga dan Pipa-pipa Air” (dari kumpulan puisi Arsitektur Hujan, Afrizal Malna). Dalam kumpulan puisi Teater Zat, ada beberapa judul yang ‘menarik’. “Biar Nanti Dibicarakan Nanti” (Irwan Maulana), dan “Kata yang Jangan” (Atron). Judul yang unik memang menjadi dambaan para penyair. Misalnya Goenawan Mohamad dengan: “Sore Ini Gerimis Telah Jadi Logam”. Mari kita bayangkan sifat logam yang keras, berat, kuat, dingin… bagaimana jika menjadi sifat gerimis? Tentu dingin tajam menusuk melukai begitu dalam… Sementara pernah ada periode ketika judul ditulis demikian panjangnya (seperti satu bait tersendiri), yang pernah dilakukan oleh beberapa penyair Kelompok Poci dan juga Taufik Ismail. Sah saja. Namun yang penting, di samping estetik, sebaiknya judul juga bermakna.

 

 

Seperti yang saya sampaikan, bahwa pengalaman akan membuahkan keseimbangan antara ide dan ungkapan, antara ego pribadi dan penghargaan terhadap orang lain (pembaca). Dalam berkarya, seorang penyair yang matang akan mengerti, puisi mana yang pantas dilahirkan. Setidaknya Wa Ode Wulan Ratna telah belajar tentang itu. Jika ada pertanyaan, apakah menulis puisi itu perlu serius? Jawabnya bisa beragam. Bahkan Gus tf yang belum lama ini meluncurkan buku puisi berjudul “Daging Akar” (penerbit Kompas), dianggap ‘tidak serius’ terhadap kosmologi, filsafat, dan arkeologi yang diusung dalam puisi-puisinya, oleh Nirwan Dewanto. Karena Gus tf hanya meminjam spiritnya untuk menyampaikan ‘pertarungan’ yang terjadi dalam pikirannya. Dengan kata lain, menulis puisi sebaiknya ditandai dengan proses pergulatan batin itu. Meskipun awalnya iseng (seperti pengakuan Muhammad Fadli, yang juga berhasil memenangi lomba), menyair adalah pekerjaan yang tidak main-main.

 

 

Keterikatan antar-bait pada sebuah puisi adalah termasuk yang harus diperhatikan. Bahkan hubungan antar-baris seyogyanya saling memberikan arti yang akan membangun maksud dari seluruh puisi. Saya kutip puisi karya Rahmi Eva berjudul “Di mana?’

 

 

apakah semua pisau

tajam?

apakah semua pedang

mematikan?

jika ya

di mana aku berada?

 

 

Antara 4 baris (2 pertanyaan) yang pertama, dengan dua baris terakhir tidak saya lihat hubungan yang mutlak. Dengan demikian, puisi ini susah diambil maknanya. Siapakah ‘aku’? Apakah ‘aku’ adalah penggenggam (fisikal) kedua alat itu? Atau ‘aku’ adalah sebuah wakil dari luka, darah, rasa sakit, atau…?

 

 

Dan di bawah ini saya kutip bait pertama puisi karya Agung Kurniawan yang berjudul “Sedih”:

 

sungguh ku pernah mengenal sedih

apa itu entah

bukan hanya tangisan anak mama

tentu saja jika benar itu memihakku

jika pun sebenarnya salah memihakku

ingin juga kubasuh tiap tetes air matamu

sungguhkah aku?

 

….

 

 

Pada bait puisi di atas, saya kesulitan menarik jejak, hendak ke mana puisi ini akan ‘bergerak’. Memang kesimpulan dapat dicari secara paksa di akhir puisi atau dalam keseluruhan; namun kata, baris, dan bait pertama adalah gagasan yang akan merangsang pembaca untuk menemukan makna, bahkan untuk jenis pantun sekalipun (yang awalnya adalah sampiran). Jadi, jangan biarkan pembaca tersesat sejak langkah pertama.

 

 

Yang penting untuk kita sadari adalah bahwa puisi, sebagaimana kesenian yang lain, bukan sebuah alat untuk mengubah masyarakat secara serta-merta. Selalu ada proses dan ketekunan. Sebelum tiba pada fungsi yang melampaui kemampuannya, mari kita jadikan puisi sebagai salah satu kepekaan hatinurani kita dalam menyikapi peristiwa di muka bumi. Dengan bahasa sebagai alat, seorang penyair punya banyak pilihan kata untuk membuka pikiran orang lain, memengaruhi orang lain, dan memberikan pencerahan. Atau selemah-lemahnya, membuat orang lain paham terhadap yang kita rasakan dan ungkapkan. Keindahan sebuah puisi terbentuk dengan sendirinya ketika serat halus perasaan kita menemukan kosa kata yang tepat dan terangkai secara seimbang

 

 

Jadi, sejumlah puisi yang dihimpun ini kita umpamakan zat. Kita rasakan sebagai apa adanya. Jika zat ini benih, berharap akan tumbuh berkembang sesuai jumlah sinar matahari referensi, curah hujan kemauan, dan tanah gembur bakat yang memeliharanya sebagai ranah proses kreatif bagi masing-masing penyairnya. Juga tergantung dari kupu-kupu inspirasi yang terbang lalu-lalang mempertemukan benangsari kepada putik.

 

***

 

Jakarta, 4 Juni 2006

 

(Kurnia Effendi, untuk pengantar sebuah kumpulan puisi Teater ZAT)

1 Comments:

Blogger hendragunawan said...

setuju..setuju. kang kef, puisi2 dari kumpulan 990 sajaknya bisa dibagi?

4:36 PM  

Post a Comment

<< Home