Friday, August 04, 2006

Bumi Renta

Bumi sanggup mencukupi kebutuhan hidup manusia, selama bukan untuk keserakahan.”

 

DEMIKIANLAH ucapan Gandhi. Terdengar begitu arif. Diperdengarkan kembali oleh Ahmad Tohari. Seorang sastrawan Indonesia yang masyur dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Pada sebuah percakapan malam, menjelang pukul sebelas. Di lereng sebuah bukit perkebunan teh. Ketika bulan menggantung di langit rendah. Dengan bentuk serupa potongan semangka kuning.

Sementara itu, pameran otomotif yang bertajuk Indonesian International Motor Show 2006, baru saja selesai. Di balairung Jakarta Hilton Convention Centre (JHCC), setidaknya ada berpuluh Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM) saling unjuk produk yang paling anyar. Di sana, yang diungggulkan bukan hanya desain dan kenyamanan berkendara, namun juga teknologi terkini. Seperti sang arif, masing-masing berlombamenjualmobil konsep. Dengan mengedepankan upaya ramah lingkungan.

Langkah apa yang dapat dicapai oleh kaki peradaban ketika manusia sadar bahwa bumi ini makin renta? Di ubun-ubun langit terdapat lubang ozon. Di balik tanah yang kita pijak terdapat rongga yang mengkhawatirkan. Di dasar samudera, sepasang lempeng raksasa tak kunjung henti bergerakterus menggeliat dan menari.

Prakarsa yang berpaling pada sumber daya selain minyak bumi, menjadi bagian dari khazanah intelektual dan moral. Sejumlah kandungan materi ternyata memiliki ambang batas. Mereka selalu setia pada hitungan waktu dalam proses menjadi bentuk lain. Dari plankton jutaan tahun yang lalu, rembes menjadi cairan bahan bakar. Maka akan sangat bersalah jika kita menebang pohon dua kali dalam setahun. Apalagi lingkaran tahun batang jati sanggup menempuh ukuran empat dasawarsa. Selalu saja kita terlambat meremajakan. Selalu saja kita kalap dengan keinginan bermegah dan berfoya. Dan sekali lagi, sebagaimana ditafsir dari pernyataan Mahatma Gandhi: keserakahan akan mencelakakan (secara kolektif) diri sendiri. Pandangan jauh pejuang India itu telah menemukan sifat pemboros pada umat manusia.

Apakah sudah saatnya bersandar penuh kepada tenaga surya? Boleh juga. Tapi bagaimana cara menyimpan pasokan itu sebelum gelap malam atau musim penghujan menderai berpekan-pekan? Tenaga listrik atau baterai? Akankah sanggup meluncur deras bagi penggemar kecepatan tinggi? Tenaga air? Boleh jadi kebutuhan pengendara bakal berebut dengan kebutuhan tunggangannya. Padahal saat ini saja, sebotol air mineral 600 mililiter sebanding dengan biaya bensin.

Hybrida? Aha, istilah apakah itu? Mengingatkan tentang pohon kelapa. Bukankah sekarang ini segala sesuatu ingin dua hal: cepat berproduksi dan awet. Maka dengan cara yang mungkin mengkhianati kaidah pertumbuhan, pohon dan hewan piaraan dipacu untuk selekas mungkin menjadi gemuk dan subur. Setelah itu, semua yang berkelimpahan karena perangkat teknologi memasuki proses pengawetan demi: pengiriman jarak jauh, dan pemakaian di suatu hari kelak (yang bukan sekarang).

          Kejar-kejaran itu tak akan pernah selesai. Kebutuhan manusia lebih pesat berkembang ketimbang sumber daya yang harus disediakan. Lihat saja pergerakan infrastruktur dengan jumlah kendaraan yang tumbuh seiring dengan kelahiran manusia. Atau justru tak pernah terbentuk jarak antara ketersediaan dengan penggunaannya. Tahu-tahu kini: minyak bumi tinggal beberapa tahun lagi. Kertas untuk kebutuhan manusia di bumi telah menghapus jutaan hektar hutan setiap tahunnya. Hukum alam hendak kita nafikan.

          Akal pun diputar. Lantas muncul gagasan biodiesel. Minyak yang tidak berasal dari timbunan jasad renik jutaan tahun silam, namun dari perasan batang-batang tumbuhan. Lebih bersifat biologi. Hayati. Tapi benderang cakrawala itu segera tampak redup. Ketika hitung-hitungan dibuat, pohon jarak tak sesangkil atau semangkus yang kita bayangkan. Bahkan dari sisi bisnis belum mencerahkan. Tumbuhan dengan sifat tertentu, ternyata baru diharapkan produktif bila ditanam di tempat yang tepat, dengan kadar air minimum.

 

***

 

APA sebenarnya yang sedang kita bicarakan malam itu? Bersama Budi Darma, Ahmad Tohari, Sulaiman Tripa, dan Endah Sulwesi. Hanya sebuah dialog utara-selatan dalam arti yang sesungguhnya: ngalor-ngidul. Mulai dari tokoh novel sampai dengan tokoh politik. Antara lain gagasan awal terbentuknya kisah Srintil. Melalui obsesi seorang pemburu muda yang mengejar burung korbannya. Yang tak jatuh ditembak senapan angin. Hingga langkahnya tiba pada rimbun beringin. Setengah akarnya menggantung ke lembah. Lalu pemandangan sensual tercuri oleh sepasang matanya: wanita muda setengah telanjang di bawah pancuran mata air.

Fiksi tentu tidak dimulai dari nol. Ada fakta yang digubah, disederhanakan, disimbolkan. Lalu sebuah cermin tengadah, refleksi perasaan yang meronta. Bahasa menjadi jembatan pesan. Bukankah agaknya seorang pengarang adalah juga sang penemu? Nilai-nilai moral sudah seharusnya menjadikewajibanbagi pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Penyadaran melalui kata-kata, apalagi yang harus ditempuh dengan cara membaca, memang bergerak lambat. Tapi, percayalah, bahwa ilmu memerlukan medium yang tak hanya lisan.

Ketika krisis bumi mulai terasa bukan semata sebagai propaganda, sudah waktunya kita berkaca. Setidaknya bercermin pada peringatan Gandhi: untuk tidak serakah. Tampaknya ada segelintir warganegara yang punya segala, namun sebagian besar merana. Bahkan, mungkin, institusi yang bernama Negara Indonesia semakin tenggelam dalam hutang. Belum sanggup membangunkapal Nuhuntuk menyelamatkan rakyatnya yang makin terpuruk.

Jadi, ketika bumi semakin renta, apa yang harus kita abdikan?

 

 

(Kurnia Effendi. Untuk JEDA tabloid PARLE edisi 7 Agustus 2006)

 

 

 

 

 

 

 

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

menarik sekali perspektifnya. saya suka dengan kutipan dari gandhi itu. memang, hanya keserakahan yang membuat bumi jera.

1:31 PM  

Post a Comment

<< Home