Tuesday, August 01, 2006

J a r a k

Seorang teman bercerita, pada pertemuan para pemimpin redaksi media (baik cetak maupun radio) ada yang pantas menjadi bahan perenungan. Namun sebelum direnungkan, mereka sempat tertawa dan saling mengarahkan telunjuk. Apakah gerangan masalahnya?

 

Jarak, itu masalahnya. Yang dimaksud tentu bukan jarak secara fisik, melainkan jarak abstrak yang merentangkan dua sudut pandang. Memisahkan masing-masing persepsi, pendapat, pemikiran, dan bermuara pada keluarannya: kebijakan.

 

Setidaknya, mereka yang bertemu dengan jabatan yang sama: Pemimpin Redaksi; adalah mereka yang pernah menjaditeman sepermainandi saat berjuang dari bawah. Apa saja yang mereka percakapkan, di saat seluruh idealisme masih mengkristal, menjadi amunisi paling berharga yang diusung ke mana-mana. Dengan pikiran-pikiranbesar’, perjuangan seperti menemukan jalan lurus di tengah rimba yang ditempuhnya. Babat alas! Dengan kritikan yang masih menggunakan ketajamanpisau analisis’ (istilah yang kerap digunakan para aktivis kampus di tahun 80-an), kita menjadi sangat benar. Mungkin lantaran ada latar kepentingan rakyat (ini baju yang nyaris selalu digunakan untuk modal berjuang), kepentingan orang banyak yang justru sering kalah oleh orang sedikit.

 

Tentu, tulisan yang mereka buat kemudiantajam tak bertepi’ (ini judul lagu Trio Bimbo tempo dulu). Dan umumnya mentok pada sidang redaksi. Lantas ada memo untuk memperhalus, mencoba netral, bermain aman. Dengan perasaan gondok, para jurnalis muda ini akhirnya menyerah pada kebijakan pemimpin redaksi. Awas! Begitu batin mereka mengancam lugas: “Tunggu saatnya saya menjadi Pemimpin Redaksi.”

 

Mari kita kembali pada awal cerita. Pada malam pertemuan para pemimpin redaksi yang dulu pernah sama-sama menjadi jurnalis di jalanan, merasa sedang sama-sama bercermin ke masa lalu. Mereka mendadak menemukan wajah dengan topeng paling indah. Seolah hendak mengatakan: mana idealisme yang dulu berkobar-kobar?

 

Demikianlah. Sebuah jarak mulai memainkan peran. Di saat kita sedangmenjadirakyat, segala langkah dan gagasan diperuntukkan demi rakyat. Di saat kita masuk ke dalam belanga besar sebuah manajemen, dalam hal ini media massa, perlahan-lahan ada proses cuci otak. Ideologi, jika boleh disebut demikian, mulai bergeser. Rakyat semakin tampak samar-samar, sebelum hilang sama sekali. Beberapa tahun kemudian, kita seolah bukan bagian dari rakyat.

 

Itu sebabnya, dalam pertemuan yang dihiasi cangkir-cangkir berisi kopi krim, cemilan berlemak, dan hawa ruangan seperti di perbukitan, pembicaraan agak jauh dari persoalan rakyat. Sebenarnya masing-masing memendam rasa bersalah. Sehingga kemudian, saat seseorang nyeletuk tentang arah pemberitaan, meledaklah otokritik itu. Mereka bisa tertawa, sedikit dengan perasaan teriris, dan saling menunjuk wajah teman.

 

“Owner tidak ingin radionya dilibas Pemda.” AtauJuragan saya ingin koran kami tetap mulus, kan banyak tenaga kerja yang musti dihidupi.” Ya. Boleh jadi, tanggung jawab terhadap sumber daya manusia juga menjadi pertimbangan. Bukankah itu juga rakyat? Ah, sudahlah. Jujur saja, kita tahu persis media mana yang benar-benar masih berjuang untuk kebenaran (sekalipun dengan cara netral dan obyektif), dan mana yang sangat menghamba kepada kepentingan petinggi.

 

Itulah pentingnya sebuah posisi berjarak. Apakah PARLE cukup berjarak dengan Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya? Cukup berjarak dengan para eksekutif yang kita sebut Pemerintah? Apakah juga cukup berjarak dengan rakyat (dengan asumsi, bahwa rakyat juga tidak sepenuhnya mengibarkan kebenaran)?

 

Atau karena itu pula, pada larut malam, Radhar Panca Dahana mengirim berita, yang ringkasnya demikian: “Dengan pertimbangan matang dan nasihat para sahabat, akhirnya saya mengundurkan diri dari pengurus bidang sastra Dewan Kesenian Jakarta. Terima kasih atas dukungan dan kesempatan terlibat sampai terbentuk kepengurusan baru.”

 

Barangkali, itu cara Radhar agar tetap berjarak dengan Dewan Kesenian Jakarta. Sehingga, sewaktu-waktu sejumlah karibnya dalam organisasi itu melakukan kesalahan langkah, ia masih sanggup mengingatkan. Atau ia akan siap memberi masukan yang lebih jernih karena tidak terkait dengan kepentingan pribadi, berbeda bila ia berada dalam perahu itu. Ia, rasanya hanya ingin menjadi menara mercu, bukan sebagai nakhoda kapal.

 

Ketika beberapa waktu lalu heboh soal kebijakan pemerintah RI tentang gaji ke-13 untuk pegawai negeri termasuk anggota DPR, ada hal yang boleh kita senyumi. Kebijakan itu tentu telah disetujui oleh DPR tahun lalu, namun saat pelaksanaan akan berlangsung di tahun ini, ada sebagian suara DPR yang menolaknya. Negeri ini seperti hendak dijadikan sebuah pentas sandiwara dengan pelbagai cerita. Sementara rakyat, sebagai penonton, belum tentu bersedia hadir dalamruang teateritu.

 

Kebijakan itu tak dapat dibatalkan, begitu ungkap salah satu petinggi. Karena telah masuk dalam sistem dan terus bergerak dalam proses yang melibatkan banyak departemen. Tetapi menurut hemat saya, segala sesuatu yang dibuat oleh manusia, apalagi itu kebijakan, dapat diubah. Apalagi jika kita membuka nurani untuk melihat dengan mata hati, bahwa ada penderitaan akibat bencana yang terus terjadi. Setidaknya, gaji ke-13 itu diarahkan kepada pegawai negeri golongan rendah saja yang memang masih belum sejahtera.

 

Sementara itu, ironisnya, peringatan mengenai bahaya tsunami di Pangandaran yang dikirim oleh detektor Jepang, justrudibatalkan’. Maka setengah jam sia-sia itu telah meniupkan hawa maut yang menewaskan lebih dari lima ratus orang, dan entah berapa yang hilang. Apakah ini sakadar khilaf?

 

Jarak menjadi penting dan berharga jika kita manfaatkan sebagai bagian dari obyektivitas.

 

(Kurnia Effendi, untuk kolom JEDA di PARLE 48, 31 Juli 2006)

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home