Tuesday, July 18, 2006

Gempa Jogja dan Kepekaan Perasaan Seniman

Di atas panggung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, ketika malam semakin suwung dan larut, Rendra berujar: “Saya tidak akan menambahi rasa duka. Apa yang telah disampaikan oleh Ahmadun dan Putu Wijaya, sudah melukiskan keadaan Jogja saat ini. Saya melihat, bahwa dalam setiap bencana, rakyat selalu bergerak lebih cepat, dibanding pemerintah…”

 

Kita tentu tak akan berdebat mengenai hal itu. Sudah menjadi kewajiban sebagai saudara sebangsa, tetangga terdekat maupun jauh namun dalam jangkauan, untuk segera turun tangan membantu yang sedang terpuruk dalam musibah. Gerakan itu bagai refleks, seperti ketika bagian tubuh kita terbentur sesuatu, anggota tubuh yang lain bergerak untuk menghalau sakit dan benturan berikutnya. Meskipun masyarakat modern mulai mengidap virus ego, berkembang menuju sifat hidup individual, rupanya masih tersisa lekat nilai kegotongroyongan yang muncul serta-merta di saat pihak lain sedang terjerembab dalam jurang mahaduka.

 

Pertanyaannya adalah: apakah selalu diperlukan peristiwa bencana (gempa bumi, tsunami, banjir-bandang, tanah longsor, gunung meletus) untuk memanggil atau membangunkan hati nurani seseorang? Musibah itu seperti musuh bersama, yang berjasa dalam mempertautkan antar satu dan hati yang lain, saling bahu-membahu. Kita tahu, melalui pelbagai ekspresi: posko-posko dibentuk, dapur umum didirikan, kotak amal beredar, nomor rekening diumumkansemua itu berjalan dengan antusiasme jiwa sang penolong. Meskipun sebagian, boleh jadi, ada yang mengandung unsur politis. Tapi itu tak penting benar, sepanjang tercapai tujuan untuk meringankan beban bagi penderita.

 

Namun demikian, Jogjakarta memang bukan kota biasa. Daerah istimewa yang awalnya dikenal sebagai kota pelajar, sekaligus kota seni, telah memberikan kenangan tertentu hampir bagi setiap orang. Bagi yang mengalami secara fisik, tentu akan sulit melupakan sebuah lingkungan yang telah membentuk ikatan batin tersendiri. Suasana budaya, karakter tradisi, perilaku antar-personal, pemikiran yang khas, sedikitnya berhasil menorehkan corak intelektual nJawani bagi penduduknya (asli maupun pendatang).

 

Secara statistika, banyak penduduk Jogjakarta yang berpredikat seniman (sebagai profesi maupun gaya hidup). Mulai dari seni rupa (lukis, batik, patung), seni sastra, seni tari, seni kriya (kerajinan), seni musik (karawitan), seni teater, seni pedalangan

 

***

 

Pada suatu pagi, kota dengan aroma tradisi yang kuat itu mendadak porak poranda. Gempa tektonik yang bekerja sepanjang 57 detik dari lepas pantai Laut Selatan itu membuat sekitar empat puluh ribu rumah ambruk ‘rata’ dengan bumi dan lebih dari lima ribu penduduknya tewas.

 

Subuh baru saja berlalu pada Sabtu 27 Mei itu, fajar menyepuh remang perbukitan, dan penduduk sebenarnya sedang dicemaskan oleh amuk Gunung Merapi. Demikianlah, musibah itu terjadi, tanpa tanda-tanda yang cukup dipahami.

 

Bencana tidak memilih korban. Apakah mereka petani, pedagang, pegawai negeri, anggota partai, bahkan seniman, tak luput dari mata maut. Rumah milik sendiri atau kontrakan rubuh bersama-sama. Yang terlepas dari guguran bangunan dan selamat, malam Minggu itu tak lagi terlindung atap saat hujan mengguyur deras.

 

Tak terbayang ilmu yang turut hancur karena sejumlah besar buku pada sebuah perpustakaan tertimbun puing reruntuhan dan basah oleh air dari langit. Siapa yang sanggup menyelamatkan, ketika keluarga sendiri masih belum ketahuan nasibnya? Seolah sempurna sudah penderitaan itu menghampiri mereka sebagai tabir kegelapan.

 

Di tengah upaya menolong mereka, para seniman di Jakarta segera tergerak untuk menggalang dana bantuan bagi para seniman yang menjadi korban gempa di Jogjakarta. Melalui prakarsa Wowok Hesti Prabowo, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) merangkul keluarga besar Yin Hua (komunitas sastrawan Tionghoa), Jakarta First Light Choir (kelompok paduan suara), Bengkel Teater, dan Dewan Kesenian Banten, beserta Serikat Pekerja Nasional, membangun Forum Solidaritas Perduli Jogja dan Jateng. Jalan yang ditempuh tentu saja menggelar pertunjukan seni, mengundang banyak orang, demi memperoleh dana yang pantas dan memadai sebagai sumbangan.

 

Barangkali ini menjadi semacam ujian, sehalus apakah perasaan kita sebagai seniman? Kreator atau pekerja seni yang selalu mengandalkan rasa dan imajinasi, tentu sangat sensitif terhadap peristiwa ini. Kita bukan hanya sedang kehilangan sahabat, lebih jauh dari itu, sejumlah potensi seni nyaris terhapus dari peta karya Jogjakarta.

 

Pertanyaan yang terlontar dari kita saat mendengar peristiwa itu antara lain: bagaimana nasib padepokan Bagong Kussudiardjo, sanggar Agus Suwage, Genthong HSA, Hamdy Salad dan keluarganya, Raudal Tanjung Banua, Joni Ariadinata, Dina Oktaviani, Evi Idawati, Mustofa W Hasyim, dan seterusnya... Rata-rata dari mereka telah kehilangan tempat tinggal dan tidak tahu harus menginap di mana. ”Kita telah menjadi kaum pengungsi raya,”  begitu kabar dari novelis Abidah el Khalieqi. Rasanya air mata tak bisa ditahan lagi.

 

Ketika malam penggalangan dana tiba, 9 Juni 2006, rasa haru itu memenuhi dada. Semua seniman yang tampil benar-benar dalam semangat kebersamaan yang tinggi. Antara lain dramawan Putu Wijaya, Ratna Sarumpaet, dan para penyair seperti Slamet Sukirnato, Slamet Widodo, Diah Hadaning, Yose Rizal Manua, Ahmadun Yosi Herfanda, Medy Loekito, Chavchay Syaifullah, Rukmi Wisnu Wardani, Endang Supriadi, Akidah Gauzillah, Herwan FR dan Sihar Ramses Simatupang, mencurahkan perasaan bela sungkawa dengan cara masing-masing.

 

Tidak hanya pembacaan puisi, paduan suara Jakarta First Light  Choir  dari keluarga besar Tionghoa (menampilkan medley 13 lagu Nusantara), group nasyid Snada dengan senandung religius, Deavi’s Sanggar Matahari menampilkan musikalisasi puisi yang melankolik, Bola Mata, dan tembang Cianjuran dari Dewan Kesenian Cianjur. Bahkan sejumlah penari muda dari Dewan Kesenian Banten telah memukau dengan koreografer yang menggabungkan antara gerak tradisi Islami dan modern, mempersembahkan Tari Beduk Warnane yang diawali dengan shalawat.

 

Keberagaman yang berpadu secara harmonis begitu terasa dalam pertunjukan malam itu. Pada saat saudara-saudara seniman sedang diliputi kesedihan, bahkan mungkin kehilangan harapan, karena untuk waktu yang tak sebentar akan kesulitan berkarya; solidaritas lahir tanpa pertimbangan batas-batas suku, agama, dan ras. Manusia kembali kepada fitrah sebagai makhluk sosial.

 

Kontribusi komunitas Yin Hua sangat terasa, melalui peran Ibu Jeanne Yap dan Wilson Tjandinegara yang selama ini aktif memperkenalkan khazanah sastra Tionghoa di Indonesia. Mereka merasa ringan ‘menyingsingkan baju’ untuk memberikan bantuan. Bahkan sebelum ”Malam Peduli Jogja-Jateng” berlangsung, telah terhimpun dana sekitar 55 juta rupiah.

 

Tampilnya para seniman keluarga Tionghoa, melebur melalui paduan suara yang apik dan penuh power, juga menunjukkan kesungguhan dalam mempersembahkan karya. Mereka membawakan 13 lagu yang sebagian besar dipetik dari pelbagai ranah di Nusantara secara medley. 

 

Pada kesempatan yang sama, Yin Hua meluncurkan buku antologi sastra (cerpen dan puisi) berjudul ”Seribu Merpati”. Di tengah-tengah parade pergelaran seni, buku antologi itu dilelang dalam tiga paket yang masing-masing berisi: 2 buku, 5 buku, dan 10 buku. Tidak sia-sia, dari lelang tersebut terkumpul dana sekitar Rp 6 juta. Hasil lelang dan penjualan buku malam itu, seluruhnya disumbangkan kepada korban gempa di Jogja dan sekitarnya. Melengkapi acara di panggung Teater Kecil, di lobi digelar pameran foto karya Wilson Tjandinegara, dengan tema kemiskinan di Indonesia.

 

Kepedulian yang ditunjukkan sebagai solidaritas sesama seniman ini diharapkan tidak berhenti sampai di sini. Keberangkatan tim relawan yang terdiri dari penyair dan cerpenis beserta wakil dari Serikat Pekerja, pada hari Sabtu 10 Juni 2006, untuk melihat langsung kondisi para sahabat dan menyalurkan bantuan; diharapkan bukanlah untuk yang pertama dan terakhir kali. Tindakan penuh simpati ini, menyusul gerakan relawan dari banyak penjuru, mesti berkesinambungan. Kehalusan perasaan para seniman tak boleh imun, justru seharusnya semakin peka dan luas jejaring upayanya dalam mengerahkan bantuan selanjutnya.

 

Dalam waktu dekat, forum solidaritas yang sama, bermaksud mengenang sebulan peritiwa gempa Jogja-Jateng dengan menyelenggarakan pameran foto para jurnalis dan relawan, untuk tetap memelihara sense of crisis di tengah riuh-rendah pesta sepak bola piala dunia. Sebagaimana cerita Bambang Widiatmoko, kordinator tim relawan seniman, secara jujur tak sanggup menyaksikan kondisi yang terhampar di lokasi bencana. Mudah-mudahan, kepekaan kita terus terasah, dan semangat solidaritas terus terpelihara. Siapa lagi yang akan membantu mereka selain kita semua?

 

Menjelang tengah malam, di panggung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Rendra dengan suara rendah tidak membaca puisi. Ia menyampaikan, betapa keberagaman telah sanggup mencapai kebersamaan, untuk membuat segala penderitaan menjadi ringan.

 

Acara yang padat dan hangat itu ditutup dengan doa oleh Amin Wangsitalaja. Orang tua penyair sufistik ini juga kehilangan rumah di Bantul. Maka simaklah awal doanya yang sangat menarik dan menunjukkan ketabahan: „Ya Allah, kami bersyukur kepadaMu, karena telah diberi kesempatan untuk memandang keindanhan langit dengan berjuta gemintang tanpa pengjhalang langit-langit...”

 

Ya, bagaimanapun kita sebagai makhluk yang lemah, tetap wajib bersyukur. Bahwa di antara hati kita yang rapuh ini, masih ada kekuatan doa, masih ada kebersamaan yang menghaluskan perasaan untuk selalu perduli. ***

 

 

 

 

Kurnia Effendi

(Dimuat di Republika Minggu 25 Juni 2006)