Tentang Anakmu
“Anakmu bukanlah anakmu… “ Itulah petikan kalimat paling popular dari naskah “The Prophet” karya Kahlil Gibran, Mungkin benar, bahwa orang tua, seorang ibu khususnya, hanya medium bagi kelahiran seorang manusia di muka bumi. Meskipun proses pembentukannya dalam sembilan bulan sepuluh hari dibarengi dengan tali ikatan emosional, tak sekadar sari makanan yang disantap calon bayi dari ibunya, tapi sesungguhnya: baik sang ibu atau sang anak sama sekali tidak dapat memilih. Seorang ibu tak dapat memilih anak yang dikandungnya. Sang anak pun tak kuasa memilih ibu yang hendak melahirkannya.
Apakah dengan demikian, anak akan memerdekakan diri begitu mencium aroma dunia? Atau seorang ibu merasa selesai tugasnya setelah bayi itu terlepas dari jalinan tali pusarnya? Berpisah dengan ‘kakang ari-ari’ dan bernapas sempurna melalui paru-parunya. Lantas serta-merta, sebuah kekuasaan berupa undang-undang memberinya status: engkau warganegara ini atau itu.
Mengapa tidak kita sebut saja ia sebagai warganegara dunia? Atau… seperti salah sebuah judul buku Pramoedya Ananta Toer: Anak Semua Bangsa.
Dalam ajaran Islam, anak adalah amanah yang dititipkan Tuhan. Ayah-bundanya wajib mengisi ‘tabula rasa’ itu dengan segala yang baik: nama, iman, dan ilmu… Melalui perilaku hubungan itu, tumbuhlah cinta dan kasih sayang, sehingga amanah bukan lagi beban, justru menjadi sebentuk rasa memiliki yang terkadang sulit diukur dengan rasio. Apakah Kahlil Gibran perlu mengubah kalimatnya menjadi: “Anakku adalah anakku…”
Sebuah kisah di zaman Baginda Raja Nabi Sulaiman, kita ingat karena mengandung pelajaran yang berawal dari misteri perasaan cinta dan memiliki. Seorang bayi yang diperebutkan oleh dua orang ibu, yang masing-masing mengaku sebagai ibu kandungnya, terbuka tabirnya saat diputuskan oleh Sulaiman agar membelah tubuh bayi itu demi keadilan. Tentu, yang benar-benar sebagai ibu kandungnya menjerit berurai air mata nyaris pingsan dan lebih baik merelakan bayinya diserahkan kepada yang bukan ibunya dengan tujuan anaknya tetap selamat. Sebagai medium, seorang ibu sanggup bertaruh nyawa bagi titipan Tuhannya.
Di masa Firaun berjaya, setiap bayi lelaki yang lahir dianggap akan menumbangkan kekuasannya. Untuk itulah perintahnya lugas dan tak terperi: bunuh sejak jabang bayi! Kemudian Tuhan menggoreskan takdir, bayi lelaki Musa dihanyutkan bersama keranjangnya pada arus sungai Nil. Manakala Asyiah, isteri Firaun – yang oleh kebesaran Allah tak tersentuh tangan nafsu sang maharaja – mempertahankan bayi merah lelaki temuannya itu. Pengumuman mencari ibu susuan mempertemukan kembali Musa dengan bunda kandungnya. Selanjutnya kita tahu, bayi yang lidahnya terbakar arang membara sebagai pembuktian bahwa ia tak sanggup membedakan antara benda yang membahayakan dan menyelamatkan, menjadi nabi yang menenggelamkan ‘ayah’nya di Laut Merah.
Namun demikian, anak juga menyimpan fitnah. Dari sudut pandang ini, beban yang dipikul kedua orang tua alangkah berat. Kewajiban membesarkannya dibarengi rasa cemas terhadap kemungkinan sang anak kelak justru mencelakakan mereka. Durhaka. Atau sebaliknya, hak-hak anak yang tak dipenuhi membuat orang tuanya turut terseret oleh azab di pengadilan akhirat. Di satu sisi, mereka adalah buah-buah hati, sementara di sisi lain menjadi batu sandungan perjalanan hidup.
Akhir-akhir ini, dalam aibtainment (ah, ini sekadar menggarisbawahi ungkapan Bimbo sebelum menyanyikan lagu kasidah di sebuah panggung, bahwa tayangan gosip pada infotainment televisi adalah menjual aib), banyak peristiwa memprihatinkan seputar anak. Putra dan putri yang sukses tidak mengakui orang tua biologisnya. Selebritis yang sukses tidak mengakui anak biologisnya. Sementara ada keluarga yang dengan keras mempertahankan anak keturunan jalur darah sang ayah dan ibu, direbut dari hak asuh ibu kandungnya yang berposisi menantu cerai. Kenyataan ini mengingatkan saya pada sebuah buku karya Tariq Ali berjudul “Perempuan Batu”. Betapa dalam lingkungan kehidupan keluarga ningrat selalu ada aib tersembunyi. Senantiasa terdapat hubungan rahasia yang sengaja ditutup rapat demi keagungan citra darah biru. Betapa sesungguhnya silang-sengkarut keturunan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rasa pongah di satu sisi dan kegetiran di sisi lain. Pada setiap peradaban, ternyata ada garis yang lepas ketika darah biru tercecer di luar istana atau sebaliknya, yang merasa separuh hidupnya menjadi sang ningrat ternyata titisan kaum jelata.
Kehadiran seorang anak begitu pentingnya bagi ayah dan ibunya. Seorang ayah dan ibu dianggap sempurna ketika berhasil melahirkan keturunan. Di mana pun tempat melahirkannya, dengan bangsa mana pun mereka saling mencintai dan menikah. Namun ternyata kini tidak lagi sederhana situasi dan kondisinya. Pembauran antarsuku, antarbangsa, ternyata bukan langkah yang mendapatkan restu dunia. Karena kini akan mengundang masalah menurut Undang-undang Kewarganegaraan
Sekali lagi, mungkin benar, bahwa sang ibu hanyalah berfungsi sebagai medium bagi lahirnya warga baru bumi. Andaikata sosok ibu ternyata bisa dibuat seperti mesin dalam tubuh robot, bayi yang lahir kita sebut produk, lalu dengan bangga label diterakan: warganegara
Jadi benarkah: “Anakmu bukanlah anakmu” ?
***
Kurnia Effendi
Kolom JEDA, Tabloid PARLE edisi 47, 24 Juli 2006
0 Comments:
Post a Comment
<< Home