C A N D U
SEGALA sesuatu yang membuat kita merasa ketagihan dan menyebabkan ketergantungan adalah ‘candu’. Oleh karena itu, ‘candu’ acap dijadikan ‘senjata’ untuk melumpuhkan.
Candu adalah sebuah nama untuk pelbagai jenis narkotika. Zat yang semula bertujuan untuk menahan rasa sakit, mengalihkan pikiran dari penderitaan, telah menciptakan dunia baru: meninggalkan kenyataan.
Namun ternyata kini, yang membuat kita ketagihan bukan semata opium, daun ganja yang dibakar dan dihirup, atau suntikan heroin ke dalam jalan darah. Ia adalah sesuatu yang membuat kita tak beranjak dari tempat duduk. Sesuatu yang sangat kita hafal jadwalnya, dan menumbuhkan disiplin baru, agar tidak ketinggalan barang semenit. Sebuah materi yang seolah lebih berharga ketimbang isi dokumen kantor, atau bahan kuliah esok pagi. Apa lagi jika bukan infotainment?
Dengan aneka ragam nama acara, infotainment di televisi hadir ke rumah kita rata-rata sehari tiga kali. Menjelang sarapan pagi, saat matahari sepenggalah, atau selepas Ashar. Informasi terkini mengenai pribadi public figure menjadi bahan percakapan yang – oleh situasi serba gegas – serasa tak boleh ketinggalan dibanding rekan lain. Seolah ‘tabu’ apabila teman sejawat dalam lift, menyampaikan kabar terbaru tentang artis A, sementara kita luput menyimak beritanya. “Ke mana saja kamu?” Kuping sejenak memerah oleh celetukan itu, saat tatapan mata kita kosong informasi. “Beredar, dong!”
Begitu pintar sang narator dan presenter mengaduk rasa penasaran penonton. Dengan nada sinis, teks yang mereka baca mengarah pada ungkapan provokasi: “Tega-teganya dia melakukan hal itu…” atau “Siapa sih yang tidak berang bila pasangannya selingkuh…” atau “Dia bilang sih hanya teman biasa, tapi hati orang siapa tahu?”. Terdengar sepele, seperti diucapkan sambil lalu, bagai angin semilir yang bertiup dari
Setidaknya, melalui infotainment kita pernah mendengar kasus Gusti Randa dan isterinya Nia Paramita yang melibatkan tokoh partai, pertikaian Kiki Fatmala dengan sang ibu, perkara Dewi Persik dengan suaminya, membongkar hubungan pribadi Rhoma Irama dengan Angel, atau seteru Ahmad Dhani dengan ayahnya terkait Mulan Kwok. Percayakah kita pada pemberitaan itu? Atau sebaliknya: masihkah kita tidak percaya dengan gambar hidup yang menampilkan emosi wajah dan tegangnya kata-kata yang diucapkan di depan kamera?
Hidup mereka, para selebriti itu, ibarat sebuah akuarium. Setiap orang dapat memandang tembus ke dalam, menjenguk segala yang terjadi, secara detil dan privat. Mungkin akan sangat membanggakan, andaikata yang diangkat ke hadapan publik adalah prestasi mereka, kegiatan sosial dan budaya yang positif, keteladanan yang patut ditiru. Sesuatu yang tak hanya mengangkat nama keluarga, namun juga bangsa. Celakanya, yang berpihak justru centang-perenang nasib perkawinan mereka, keretakan hubungan antara sang bintang dengan orang tuanya, kasus narkoba…
***
PERNAHKAH kita mencoba untuk hidup sehari saja tanpa televisi? Rasanya ujian yang kelewat berat, mirip puasa untuk menahan hawa nafsu.
Memang jauh berbeda materi yang ditayangkan oleh televisi hari ini dibanding saat awal kehadirannya di tahun enam puluhan. Dulu, televisi adalah teknologi sekaligus budaya baru yang masih bersifat menara gading. Ketika Kris Biantoro menyajikan kuis atau
Ketika stasiun televisi membiak, masing-masing perancang program adu kreativitas. Kepala mereka dituntut untuk menciptakan gagasan-gagasan baru mengenai tayangan. Lantas lahir model penyiaran dengan dialog interaktif. Bahkan selanjutnya, urusan remeh-temeh begitu mudahnya tersaji di televisi. Percandaan yang melepaskan batas-batas formalitas sebuah kerangka tontonan, terasa lebih atraktif dibanding radio. Di layar kaca, tak hanya terdengar suara, melainkan juga paras muka dan tampilnya warna-warna dan fashion.
Seiring dengan berkembangnya iklim demokrasi, keterbukaan berlangsung di mana-mana. Entah bagaimana prosesnya, kini seperti menjadi konvensi, bahwa kehidupan para bintang bagian dari hak khalayak untuk mengetahuinya. Seolah-olah itu menjadi kepentingan umum. Dan karena rating (ukuran ‘mutu’ bagi acara televisi) selalu tinggi untuk tayangan infotainment, mereka berlomba mengemas berita yang sensasional.
Serupa kisah bersambung yang selalu menerbitkan rasa penasaran, infotainment membangun rasa ketagihan itu. Infotainment, perlahan-lahan namun pasti menjadi semacam candu. Untuk sembuh dari pengaruh candu, tentu bukan perkara mudah. Sangat dibutuhkan kesadaran kedua belah pihak: penonton dan penyaji infotainment.
Sebagai penonton (atau penggemar) infotainment, mari belajar membayangkan kisah ini: Kita adalah seorang artis yang sedang naik daun. Oleh kesalahpahaman, sedikit bersitegang dengan pasangan kita. Hal itu tercium oleh wartawan. Mata pena mereka yang tajam segera mengorek orang-orang terdekat kita, hingga ditemukan mantan kekasih masing-masing. Dari pihak-pihak ketiga itulah wartawan mengembangkan spekulasi cerita. Lantas kita pun terpancing untuk mengomentari ungkapan para mantan itu… dan seterusnya.
Pertanyaannya adalah: nyamankah perasaan kita? Padahal kita tahu, bahwa kebohongan yang diucapkan seribu kali, akan menjadi ‘kebenaran’. Dengan demikian, kapan kita mulai melepaskan diri dari aroma candu itu?
(Kurnia Effendi. Kolom JEDA tabloid PARLE edisi 51)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home