E n a m
ADAKAH misteri pada angka 6? Apakah 6 yang berderet tiga menjadi (ah, seandainya cerita ini tidak dibuat oleh manusia sebagai sang kreator luar biasa) perlambang setan? Itu jika merujuk pada film Damien The Omen, film tentang musuh kekal manusia, yang sudah tentu masuk dalam genre horor. Di kepala sang anak keturunan setan itu terdapat semacam pusar tattoo yang merupakan jalinan tiga angka 6 saling beradu punggung. Tapi… boleh jadi justru dibaca sebagai 999.
Seorang teman, Satrio Arismunandar, dulu pernah menjadi wartawan Kompas dan bersama-sama tumbuh dengan saya sebagai pengarang cerpen remaja di majalah Anita Cemerlang, menyampaikan kiriman
Saat ini kita mulai menjelang dirgahayu
Kembali kepada angka 6, boleh jadi ada semacam kebetulan yang kini dicemaskan. Misalnya, sebagaimana yang tertelisik pada posting forum pembaca Kompas melalui Satrio, peristiwa yang sudah menyejarah: Tiga presiden awal Republik
Sebaliknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lahir pada tanggal 9 bulan 9 (September), menjadi RI-1 melalui partai no 9 (Partai Demokrat). Jadilah sederet angka 999. Seharusnya itu angka hoki (menurut feng shui atau perhitungan tradisi Cina, karena angka 9 memang merupakan jumlah nilai terti9nggi yang demikian ajaib bahkan melalui kelipatannya). Persoalannya, jika ketiga angka tersebut dibaca secara terbalik, serta-merta menjadi 666. Wah!
***
KITA lupakan saja perkara tafsir-menafsir yang barangkali lebih banyak keliru. Rasanya lebih baik kita bercermin, memandang wajah sendiri, tentu bukan untuk mengambil sifat Narcissus. Seperti apakah rupanya? Menakutkan (oleh himpunan pikiran jahat) atau menenteramkan (oleh limpahan kearifan)? Umumnya paras muka kita menjadi jendela bagi keadaan jiwa di dalamnya. Itu bila kita nilai secara individu. Bagaimana jika kita memandang wajah bangsa? Raut muka
Usia kemerdekaan bertambah, ‘puber kedua’ pun seharusnya sudah terlampaui. Pada posisi yang semestinya ‘mapan’, ternyata justru persoalan bangsa semakin komplek. Orde Lama diganti oleh Orde Baru, dengan pelbagai konsep pembangunan yang memukau. Secara fisik banyak mengalami perubahan: bombas dan serba terbesar. Tapi mungkin ada yang terlupakan, yakni tidak ditanamkannya benih moral yang baik. Secara sistematik, pemerintahan justru membangun ‘imperium’ kroni.
Sejak Mei 1998, Orde Baru ditumbangkan oleh gerakan Reformasi. Pintu demokrasi pun dibuka lebar-lebar, sehingga untuk ‘ngomongin’ presiden atau menteri di media
Bahkan dari sisi budaya, kebebasan melahirkan deskripsi seksual yang rebak merona pada halaman-halaman sastra (sebagai ranah kaum pujangga). ‘Pengguntingan pita’-nya dilakukan oleh novel “Saman” karya Ayu Utami (pemenang sayembara novel DKJ, 1997) yang terbit seiring kelahiran iklim demokrasi. Sebenarnya, sepanjang setiap kemerdekaan berekspresi tetap dapat dipertanggungjawabkan, situasi akan berjalan sehat dan proporsional. Misalnya, jam tayang acara televisi untuk komsumsi penonton dewasa dimulai paling awal pukul 21.00. Atau ada kesadaran dari programmer untuk membatasi siaran infotainment yang materinya akhir-akhir ini tidak sehat bagi pemirsa anak-anak.
Pertanyaannya: apakah
Daftar pertanyaan bisa memanjang, dan jawabannya tidak pernah memuaskan semua pihak. Karena generasi penerus (yang bukan ‘generasi pengganti’) kita suapi dengan bahan makanan yang keliru, mustahil mengharapkan tumbuhnya bangsa yang bernas. Sebagaimana jentik nyamuk yang lahir di lingkungan beraroma aerosol, mereka akan hidup dengan daya tahan keimunan tertentu. Boleh jadi, anak-anak kita sejak awal sudah tak karib dengan budi pekerti. Istilah ‘modern’ disematkan dengan persepsi yang melenceng. Orang tua tak sekadar menjadi teman bertukar pikiran, namun sekaligus menjadi teman yang sering dilecehkan.
Akhirnya, secara malu-malu, saya menyimpulkan bahwa hulu dari semua permasalahan bangsa ini terletak pada moral. Tanpa moral yang benar, terlampau sulit untuk menegakkan hukum. Jadi pelbagai undang-undang yang disahkan demi mewujudkan keberesan jalannya kehidupan bernegara, terasa sia-sia saja apabila tak pernah ditaati. Akhirnya kita terperangah sendiri, karena segala keterpurukan (ekonomi, politik, budaya, dan keamanan) bermula dari goyahnya sendi-sendi moral. Tentu saja ini isu yang nyaris basi, tapi senantiasa tak tertangani.
Mari sekali lagi kita lupakan tafsir-menafsir angka 6, di masa Presiden yang ke-6.
(Kurnia Effendi. Kolom JEDA, tabloid PARLE edisi 50, Senin 14 Agustus 2006)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home