Membaca dan Menulis
bung kef, maukah memberiku sebuah kalimat saja yang sedikit memberi semangat.-- teu pede wae euy mau nulis.
sepotong berhenti, sepotong nggak diterusin..
makasih,
dhenok
Dhenok,
Ini pengalamanku yang kemudian kujadikan pernyataan, semoga membuatmu tak ingin berhenti (dan selalu disiplin) menulis:
“Membaca adalah 50% dari kebahagiaanku, sedangkan menulis telah melengkapi kebahagiaanku menjadi 100%”
Banyak orang punya waktu tersia untuk kegiatan yang tidak menghasilkan ilmu, padahal hanya dengan membaca kita bisa ‘sekolah’ sambil ngopi, menunggu panggilan dokter, berbaring menjelang tidur, membunuh waktu perjalanan yang membosankan, bahkan (maaf) saat kita berada di toilet. Andai semua manusia
Setelah membaca, setelah menyerap segala ilmu (yang buruk menjadi referensi untuk tidak digunakan, sedangkan yang baik harus dikembangbiakkan), bolehlah dinikmati sendiri. Akan tetapi, tentu lebih baik jika kita tuangkan kembali dengan pelbagai nilai tambah dari benak kita sendiri, berdasarkan gagasan murni atau pengalaman hidup yang kaya ini, menjadi tulisan baru. Seperti kata Goenawan Mohamad, menanggapi tafsir yang disampaikan oleh Haidar Bagir atas Catatan Pinggir, bahwa tafsir terhadap karya adalah sebuah karya tersendiri.
Jadi, alangkah berharga dan terpujinya andaikata segala yang kita serap dari banyak buku atau peristiwa (membaca
Nah, Dhenok Hastuti, aku dikenal sebagai penimbun buku. Banyak beli (dan diberi) buku, tetapi tidak selalu tuntas membaca. Ini memang persoalan lain. Jam kerjaku di kantor, ditambah dengan perjalanan sehari-hari dari rumah ke kantor untuk kondisi
Lantas kapan menulisnya jika membaca saja waktunya begitu memprihatinkan? Mungkin dikau dan juga teman-teman perlu tahu, bahwa andaikata aku punya waktu senggang 4 jam (sebuah kekayaan luar biasa), akan kubagi untuk membaca dan menulis masing-masing dua jam. Tetapi kalau hanya memiliki 2 jam saja, aku akan menggunakannya untuk menulis. (Terdengar pilih kasih, ya?). Itulah yang secara tanpa disadari kulakukan.
Kenyataannya, jarang sekali bisa bermewah-mewah seperti itu. Karena itu aku menyiasati dengan sedikit menyiksa diri: beranjak tidur lebih akhir. Sejak pukul 22an aku mulai menyalakan komputer dan mungkin menutupnya lagi saat kelopak mata memberat, sekitar 00.30an. Atau saat datang kepagian di kantor (karena wajib mengantar anak ke sekolah sebelum pukul 7 pagi). Menulis di kantor barang setengah sampai satu jam, kadang-kadang melahirkan satu kolom yang tiba deadline, atau awal sebuah cerpen. Nah, membaca akan kulakukan di saat jauh dari komputer atau ketika ditugaskan ke luar
Mudah-mudahan, dengan sedikit membuka rahasia di atas, Dhenok dan teman-teman lain akan termotivasi untuk: MENULIS. Jangan berhenti menulis selagi sempat. Apalagi ketika kepala dan benak telah dipenuhi banyak gagasan untuk dituangkan. Jadikan menulis seperti kita ngobrol dengan kawan, sebuah kebutuhan yang tak tersadari dan dilakukan dengan ringan.
Salam,
Kef
2 Comments:
kang kef, rada ga setuju nih sama data statistik yang mengatakan orang eropa dan jepang lebih 'pintar'. menurut saya, mereka hanya lebih melek informasi karena fasilitas dan etos kerja yang lebih baik.
tapi kalo dibilang lebih pintar, tunggu dulu. siapa yang paling sering juara olimpiade sains tingkat internasional, siapa yang menjadi the next nobel laureate alias nobelis junior? hehe. memang sih, itu kasuistis, tapi saya yakin bangsa dan ras yang kang kef sebutin hanya selangkah lebih dulu tahu. bukan lebih pintar.
nuhun kang kef sarannya ttg menulis ..... setuju
riyan
Post a Comment
<< Home