Friday, August 18, 2006

Membaca dan Menulis

 

bung kef, maukah memberiku sebuah kalimat saja yang sedikit memberi semangat.--  teu pede wae euy mau nulis.

sepotong berhenti, sepotong nggak diterusin..

 

makasih,

dhenok

 

 

 

Dhenok,

Ini pengalamanku yang kemudian kujadikan pernyataan, semoga membuatmu tak ingin berhenti (dan selalu disiplin) menulis:

 

Membaca adalah 50% dari kebahagiaanku, sedangkan menulis telah melengkapi kebahagiaanku menjadi 100%”

 

Banyak orang punya waktu tersia untuk kegiatan yang tidak menghasilkan ilmu, padahal hanya dengan membaca kita bisasekolahsambil ngopi, menunggu panggilan dokter, berbaring menjelang tidur, membunuh waktu perjalanan yang membosankan, bahkan (maaf) saat kita berada di toilet. Andai semua manusia Indonesia, yang sekolah maupun telah berhenti sekolah tetap getol membaca, Insya Allah, Taufiq Ismail akan bicara lain. Karena menurut penelitian beliau, di antara warganegara Asean yang lain saja, masyarakat kita (Indonesia) paling malas membaca. Sehingga dalam perhitungan statistika, hanya sekitar 1 novel rata-rata dibaca oleh orang Indonesia dalam setahun. Dengan demikian,  wajar jika orang-orang di luar sana (Jepang, Amerika, Eropa) ‘sedikitlebih pintar ketimbang kita. Dengan demikian juga, bagaimana mungkin anak bangsa Indonesia akan mulai menulis? Membaca saja susah, tentu tak terpikir untuk menulis yang berarti akan dibaca oleh orang lain.

Setelah membaca, setelah menyerap segala ilmu (yang buruk menjadi referensi untuk tidak digunakan, sedangkan yang baik harus dikembangbiakkan), bolehlah dinikmati sendiri. Akan tetapi, tentu lebih baik jika kita tuangkan kembali dengan pelbagai nilai tambah dari benak kita sendiri, berdasarkan gagasan murni atau pengalaman hidup yang kaya ini, menjadi tulisan baru. Seperti kata Goenawan Mohamad, menanggapi tafsir yang disampaikan oleh Haidar Bagir atas Catatan Pinggir, bahwa tafsir terhadap karya adalah sebuah karya tersendiri.

Jadi, alangkah berharga dan terpujinya andaikata segala yang kita serap dari banyak buku atau peristiwa (membaca kan bukan hanya terhadap teks?), kita tuliskan sebagai karya baru: ‘anak-anakintelektual yang bernurani. Demi untukpencerahanpembacanya. Minimal, pembaca itu adalah diri kita sendiri juga, sebelum banyak orang turut membuka mata.

Nah, Dhenok Hastuti, aku dikenal sebagai penimbun buku. Banyak beli (dan diberi) buku, tetapi tidak selalu tuntas membaca. Ini  memang persoalan lain. Jam kerjaku di kantor, ditambah dengan perjalanan sehari-hari dari rumah ke kantor untuk kondisi Jakarta, akan menyita minimal 10 jam. Andai ada rapat yang melanggarkesejahteraan karyawandalam hal waktu, ya bakalan lebih. Sisanya tentu dibagi amat tidak merata untuk keluarga dan kegiatan pribadi yang lain, serta hal-hal yang membuat kita mengeluh: misalnya keran kamar mandi rusak, gambar televisi berbintik rapat, alarm mobil bermasalah, banyak tikus yang harus dibasmi, dsb. Jadi, aku akan membaca berdasarkan prioritas: untuk materi makalah diskusi, untuk sebuah resensi, atau yang akan diperbincangkan pada pertemuan sastra terbatas. Oleh karena itu, buku-bukuku bertebaran di mana-mana dengan pembatas yang terletak di halaman awal atau tengah. Di mana-mana ada buku: laci kantor, jok mobil, kamar tidur, rak buku (tentu), dekat ruang makan, sebelah komputer, di sofa tamu

Lantas kapan menulisnya jika membaca saja waktunya begitu memprihatinkan? Mungkin dikau dan juga teman-teman perlu tahu, bahwa andaikata aku punya waktu senggang 4 jam (sebuah kekayaan luar biasa), akan kubagi untuk membaca dan menulis masing-masing dua jam. Tetapi kalau hanya memiliki 2 jam saja, aku akan menggunakannya untuk menulis. (Terdengar pilih kasih, ya?). Itulah yang secara tanpa disadari kulakukan.

Kenyataannya, jarang sekali bisa bermewah-mewah seperti itu. Karena itu aku menyiasati dengan sedikit menyiksa diri: beranjak tidur lebih akhir. Sejak pukul 22an aku mulai menyalakan komputer dan mungkin menutupnya lagi saat kelopak mata memberat, sekitar 00.30an. Atau saat datang kepagian di kantor (karena wajib mengantar anak ke sekolah sebelum pukul 7 pagi). Menulis di kantor barang setengah sampai satu jam, kadang-kadang melahirkan satu kolom yang tiba deadline, atau awal sebuah cerpen. Nah, membaca akan kulakukan di saat jauh dari komputer atau ketika ditugaskan ke luar kota,

Mudah-mudahan, dengan sedikit membuka rahasia di atas, Dhenok dan teman-teman lain akan termotivasi untuk: MENULIS. Jangan berhenti menulis selagi sempat. Apalagi ketika kepala dan benak telah dipenuhi banyak gagasan untuk dituangkan. Jadikan menulis seperti kita ngobrol dengan kawan, sebuah kebutuhan yang tak tersadari dan dilakukan dengan ringan.

 

Salam,

Kef

 

 

 

 

 

 

 

 

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

kang kef, rada ga setuju nih sama data statistik yang mengatakan orang eropa dan jepang lebih 'pintar'. menurut saya, mereka hanya lebih melek informasi karena fasilitas dan etos kerja yang lebih baik.

tapi kalo dibilang lebih pintar, tunggu dulu. siapa yang paling sering juara olimpiade sains tingkat internasional, siapa yang menjadi the next nobel laureate alias nobelis junior? hehe. memang sih, itu kasuistis, tapi saya yakin bangsa dan ras yang kang kef sebutin hanya selangkah lebih dulu tahu. bukan lebih pintar.

12:44 PM  
Blogger riyan_sumindar said...

nuhun kang kef sarannya ttg menulis ..... setuju


riyan

3:32 AM  

Post a Comment

<< Home