Tuesday, January 09, 2007

Wajah

Apa yang dapat dibaca dari seraut wajah? Bagi seorang cenayang, pilihan untuk melihat masa depan selalu dari rajah tangan. Seseorang akan diperiksa kemungkinan nasibnya melalui garis-garis pada telapak tangan, bukan pada muka seseorang. Meskipun pada sebuah wajah, ada sepasang cermin, bola mata yang menyimpan suasana perasaan.

Suatu malam, pada ulang tahun kedua Federasi Teater Indonesia, Abdulrahman Saleh, mantan Jakasa Agung Indonesia, sedikit bercerita tentang wajah. Ia tentu tidak sedang bermonolog di atas panggung itu. Ia, walaupun pernah berangkat sebagai orang teater, mengaku tidak terlampau berbakat untuk acting. Sementara menurut dia, dalam dunia peradilan kita, berlangsung peristiwa teater yang sebenarnya.

Diceritakan ada seorang perempuan separuh baya yang berasal dari Gunung Kidul atau Tegal (‘atau’ di sini tampaknya tidak menunjukkan satu tempat dengan dua istilah, tetapi lebih menengarai alternatif daerah yang pantas dijadikan contoh sebuah ketidakberdayaan) yang mau pergi ke Jakarta menumpang kereta api. Perempuan itu membawa sebuah kopor yang berisi segala miliknya, yang senantiasa dilndungi dengan kedua tangannya. Sementara ada penumpang yang selalu memperhatikan dengan sikap mencurigakan. Ia seorang laki-laki dengan wajah keruh, matanya nanar seperti mengandung sisa mabuk, kumis dan brewoknya tidak terawat.

Sampai di stasiun tujuan, menjelang turun penumpang, tiba-tiba lelaki itu menyerobot koper sang perempuan separuh baya dan lari menghilang di antara kerumun orang. Perempuan itu menjerit kaget, meminta tolong, namun tak seorang pun benar-benar peduli. Masing-masing sibuk dengan barang bawaan dan berdesakan untuk turun, mungkin akan bertemu dengan keluarga masing-masing. Maka dengan berurai air mata, perempuan itu mencari pertolongan ke kantor Kepala Stasiun. Ia sangat terkejut ketika berhadapan dengan Kepala Stasiun, karena ia menemukan wajah yang kusut, bermata nanar seperti baru saja selesai mabuk, kumis dan brewoknya tidak tercukur. Apalagi ketika Kepala Stasiun itu bertanya: “Ibu punya uang berapa?” Mana mungkin ia harus membayar ongkos untuk untuk mencari kopornya. Kepala Stasiun menyarankan agar perempuan itu melapor kepada polisi di pos terdekat.

Dengan keadaan sedih, mengingat kopor itu harta miliknya yang terakhir, berjalan ke pos polisi. Ia pun dipersilakan masuk ke dalam ruang untuk ditanya ini itu. Namun perempuan itu terkejut untuk kedua kali, karena Pak Polisi yang dihadapinya adalah lelaki yang memiliki serauh wajah kusut, pandangan mata yang nanar, dan kumis maupun cambangnya tumbuh tak rapi. Tapi bagaimanapun ia harus melaporkan kehilangannya.

“Berapa uang yang ibu punya?” tanya Pak Polisi. Tentu sang perempuan menggeleng putus asa. Namun urusan itu terus berlanjut ke pengadilan. Dan di sana, di ruang sidang, perempuan itu menemukan Jaksa, Hakim, Panitera, dan petugas hukum lainnya yang berwajah kusut, bermata nanar, berkumis dan brewok tak beraturan. Semua mengawali pertanyaannya dengan: “Ibu punya uang berapa?”

Mudah-mudahan, Pak Abdulrahman Saleh sedang berseloroh di hadapan orang-orang teater. Ia tentu tidak sedang bermonolog di atas panggung. Namun lelaki kurus yang mudah-mudahan tidak turut hanyut dalam peran orang-orang berwajah kusut dan bermata nanar, mengatakan: “Itulah wajah hukum di negara kita saat ini.”

Apa yang dapat kita baca dari seraut wajah? Mungkin sebuah kesedihan, keputusasaan, kerinduan, kemarahan, kebencian, kegembiraan, kemenangan, atau tak sesuatu pun tampak di sana?

            Setiap memasuki tahun yang baru, pada batin kita kerap muncul cita-cita baru. Perubahan angka tahun, waktu yang sangat diyakini sebagai akhir dan awal, dijadikan momentum untuk bergulirnya sebuah rencana. Ritual ini akan berbeda bagi masing-masing orang, tergantung dari profesi, peran, dan kondisinya. Tidak hanya sebagai individu, melainkan juga secara kolektif. Mudah-mudahan, semangat baru yang bergolak dalam hati dan pikiran kita tercermin di raut wajah berupa cahaya yang berbinar.

Mudah-mudahan raut wajah kita tahun 2007 adalah ejawantah dari optimisme yang akan mengubur semua wajah kusut bermata nanar itu. Paras gemilang yang akan menjadi mengawali sebuah perjuangan untuk kebenaran. ***

 

(Kurnia Effendi, untuk kolom JEDA tabloid PARLE)

 

1 Comments:

Blogger Linda said...

halo pak, salam kenal ya
tau blognya dari Pak Amrilt Gobel :)

2:29 PM  

Post a Comment

<< Home