Tuesday, February 06, 2007

Cinta

SIAPA dapat merumuskan cinta dengan tepat dan seksama? Pertanyaan ini terasa sederhana, mengingat setiap orang niscaya merasakan cinta atau setidaknya pernah mendengar pengalaman orang lain. Namun, dari seribu kepala, kemungkinan bakal muncul seribu pendapat. Oleh karena itu, menurut saya, cinta begitu kaya makna. Tak dapat dipungkiri, bahwa cinta serupa butir berlian dengan banyak sisi yang masing-masing sanggup memancarkan kemilau, tergantung dari sudut mana cahaya menyinari, dan dari sudut mana kami memandang.

Cinta sanggup menerobos tabir permusuhan yang begitu pekat antara keluarga Montague dan Capulet dalam kisah Romeo dan Juliet. Meskipun berujung pada maut, terbukti bahwa cinta memiliki kekuatan yang luar biasa. Cinta juga bersedia mempertaruhkan nyawa bagi seorang patriot yang salah seorang anaknya terbunuh, dalam film yang dimainkan oleh Mel Gibson. Cinta tersirat sebagai ambigu, terbit dari perasaan Rama ketika mendapatkan Sinta kembali setelah disekap sekian lama di istana Rahwana. Cinta mampu membuat seseorang jadi pembunuh ketika rasa cemburu sebagai sang posesif membuatnya mata gelap. Jadi, ada apa dengan cinta?

Setiap orang yang jatuh cinta, percayalah, akan merasakan arti kehilangan. Ketika kita tak kunjung bersedih saat milik kita yang paling berharga lepas dari tangan (dicuri, hancur, hilang, mati, sirna), pertanda kita tidak memiliki ikatan emosional terhadapnya. Sementara Nabi Muhammad SAW, seorang manusia pilihan yang telah tiba pada tataran sang bijak nan jujur, cerdas serta amanah, sempat dirundung duka ketika dalam waktu nyaris bersamaan harus kehilangan dua orang yang paling dicintai: istrinya, Siti Khadijah dan pamannya, Abdul Muthalib yang merawatnya sejak kecil. Mungkin air matanya membasahi beranda surga, sehingga Gusti Allah mencoba menghibur dengan membawanya “tamasya” ke Sidratul Munthaha.

Lantas bagaimana dengan manusia biasa seperti kita? Mungkin histeris kala mendengar kekasih, anak, orang tua, suami, atau siapa pun yang memiliki tali ikatan kekerabatan atau perkawinan, turut menjadi korban jatuhnya pesawat Adam Air. Boleh jadi kita menjadi perenung murung saat menemukan kenyataan keluarga kita turut tenggelam dalam musibah kapal penumpang Senopati. Perluasan ego sebagai sense of belonging itu yang membuat hati kita seolah diambil sebagian, atau mungkin tak tersisa.

Mari kita intip kisah tragis yang menimpa Valentin, seorang uskup dari kota Terni di Italia. Ia telah melakukan sebuah “kesalahan” karena merestui perkawinan orang-orang Kristen yang sedang jatuh cinta atau pacaran. Ia menghadiahi pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan dengan bunga yang dipetik dari kebunnya. Tindakannya itu memicu Kaisar Claudius II memerintahkan kepada algojonya untuk memenggal kepala Valentin. Kejadian itu berlangsung tanggal 14 Februari 269. Tanggal yang kemudian diperingati sebagai hari Valentine.

Apakah benar seperti itu kisahnya? Mungkin ada versi lain yang berkaitan dengan Valentin ini, tapi setidaknya peristiwa itu mengawali sebutan “hari kasih sayang” pada tanggal 14 Februari. Hari ketika seseorang mengirim atau memberikan bunga kepada yang paling terkasih: kekasih, sahabat, saudara, dan seterusnya. Dari tahun ke tahun, peristiwa itu berkembang menjadi gagasan insan marketer sejumlah perusahaan. Memberikan hadiah atau suvenir dengan momentum Valentine Day’s event, membungkus upaya menjual barang dan jasa. Umumnya terjadi pada produk cokelat, bakery, boneka, ATK, kafe, tempat hiburan untuk remaja, serta sajian yang mengarah kepada romantisme dan lucu.

Tradisi itu berkembang dan menimbulkan pro-kontra, terutama pada kalangan Islam fanatik, yang menganggap sejarah itu bersumber dari sejarah kaum Kristiani. Terlepas dari itu, seakan-akan cinta hanya boleh tumbuh dengan subur pada tanggal 14 Februari. Lantas, ke mana hilangnya titimangsa lain sebagi jejak sejarah cinta?

Misalnya ketika Baginda Sulaiman menaklukkan hati Ratu Bulqis, atau saat Ken Arok terpikat cahaya Ken Dedes, atau ketika Bandung Bondowoso harus melaksanakan syarat Loro Jonggrang, atau sewaktu Roro Mendut menyatakan ingin turut Pronocitro ke alam yang lebih hakiki. Semua memiliki drama masing-masing, dan terkadang terjun ke dalam tragedi. Pasti banyak contoh lain, dari yang normal sampai yang sulit dipahami oleh akal sehat. Bagaimana pun, cinta platonis Kahlil Gibran terhadap May Ziadah telah menghasilkan jutaan kata-kata yang kemudian beredar ke seluruh dunia dan dibaca hingga hari ini.

Betapa besar kekuatan cinta yang acap kali sanggup menyembuhkan penyakit, membangkitkan harapan yang terpuruk, dan menjaga bumi ini dari kehancuran yang lebih cepat. Namun demikian, cinta yang saya maksud adalah cinta yang tak terlarang. Cinta “suci” yang mungkin tumbuh bukan pada waktu dan ruang yang tepat, memang, bila tidak disertai kekuatan iman, akan tergoda untuk menyimpang. Sementara cinta yang membuat seseorang kehilangan rasio, begitu tipis batasnya dengan rasa sakit. Ah… cintaku telah sampai pada batas sakit!

Sebaik-baik cinta, barangkali, adalah yang selalu memberi ruang bagi rasio, di antara gelembung emosi yang memberikan warna-warni romantis dan membuat hati berbunga-bunga. Dengan rasio, kita terhindar dari frustrasi saat harus putus cinta, bahkan oleh kebaikan sekalipun (diminta oleh Tuhan, misalnya). Dengan rasio, bahkan, kita sempat memikirkan “warisan” terbaik bagi masing-masing yang akan ditinggalkan. Dari sisi harta, mungkin jaminan asuransi menjadi salah satu jawaban. Dari sisi citra, tatahlah nama baik sebagai kehormatan bagi sang ahli waris apabila kita harus lebih dulu berangkat ke akhirat. Saya kira, yang bergema panjang sesudah kita wafat adalah bentuk cinta yang lebih hakiki. Ia kekal dan membuat orang-orang yang dicintai selalu merasa berharga, walau mungkin tinggal nama.

Jadi, menurut saya, cinta di bumi ini belum selesai.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home