Tuesday, April 10, 2007

Keterbatasan

BERSYUKURLAH kita karena memiliki keterbatasan. Andaikata mata kita mampu melihat bakteri, mungkin kita telah berulang-kali pingsan sejak bangun tidur ketika menemukan jutaan bakteri di permukaan kulit kita. Oleh karena sepasang mata kita adalah dua lensa mikroskop, kita tak akan berani tiduran di atas karpet yang mengandung jutaan binatang renik yang terus-terusan bergerak.

Keterbatasan menjadi keberuntungan buat kita. Kalau telinga kita sanggup mendengar suara seluruh kegiatan organ tubuh: degup jantung, aliran udara yang memasuki paru-paru melalui lubang hidung dan lorong-lorong pipa dalam tubuh, geriut usus meremas bahan makanan yang telah dikunyah oleh gigi.... Alangkah ributnya dunia ini!

Seandainya kita tak pernah mengantuk, apa yang terjadi? Barangkali kita akan membaca berpuluh buku, menyanyi tak putus-putus, mencoba semua menu untuk dimasak, makan dan minum, olah raga berjam-jam, yang ujung-ujungnya jenuh dan merindukan tidur namun tak kunjung datang. Betapa lelahnya fisik, pikiran, dan batin kita diperdaya oleh mata yang terus terjaga nyalang.

Kekuatan perasaan juga terbatas. Ditandai dengan air mata yang membasahi pipi ketika rasa haru, sedih, dan kecewa, menyerbu. Kekuatan kesabaran juga terbatas, menurut manusia. Tentu, karena kita bukan golongan para Nabi. Keterbatasan itu, sayangnya, kerap ditunjukkan dengan peristiwa-peristiwa mengerikan. Mungkin kita tak dapat melupakan kejadian seorang ibu yang bunuh diri seusai menghabisi keempat anaknya dengan serbuk potas. Karena apa? Menurut kesimpulan yang diperoleh dari pelbagai jejaknya, penyebab semua itu adalah keterbatasan dalam menghadapi masalah. Pertanyaannya, benarkah masalah yang terbebankan kepadanya tak sanggup lagi ditanggungkan?

Saya merasa seperti diingatkan oleh Yang Maha Besar. Ketika seorang teman, Herry Gendut Janarto, Redaktur majalah Bobo, mengatakan bahwa ada contoh nyata tentang sebuah kekuatan di hadapan kita. Namanya Hee Ah Lee, pianis Korea yang hanya memiliki empat jari.

Ya, kami bertemu di lobi teater Nusa Indah Balai Kartini, menjelang pertunjukan konser Hee Ah Lee. Di antara percakapan yang banyak, kalimat itulah yang saya ingat. Lantas saya melihat perbedaan keterbatasan yang menganga seperti jurang. Keterbatasan alamiah manusia tak mungkin diperjuangkan untuk menembusnya. Tapi keterbatasan yang membedakan satu orang dengan orang yang lain, ketika ia memperjuangkannya untuk sanggup mengatasinya, adalah kekuatan yang menakjubkan.

Seorang berbakat musik yang menunjukkan keahliannya memainkan piano tanpa keliru, sudah tentu dianggap wajar. Tepuk tangan kita berikan untuk kemampuannya menghibur kita. Tetapi jika seorang gadis yang menderita lobster claw syndrome sejak lahir berhasil memainkan tujuh belas komposisi lagu, 12 di antaranya repertoar piano klasik, hanya dengan keempat jari dan pedal yang ditendang oleh kedua kaki sebatas lutut, adalah serangkaian keajaiban. Seharusnya kita tak hanya memberinya aplaus dengan berdiri dari kursi. Kita akan dengan tulus mengenangnya sebagai permainan yang tak terlupakan sampai entah berapa lama.

Apa yang sesungguhnya sedang dilakukan oleh Hee Ah Lee di panggung itu? Tak hanya malam itu, melainkan beratus-ratus malam sebelumnya, di rumah sakit, ketika menjalani terapi untuk kekuatan jemarinya yang mirip capit kepiting itu. Ia sedang mengatasi keterbatasannya. Ia melawan keterbatasan itu dan ingin menjadi si normal (dalam kemampuan bermain piano) justru dalam keadaan tidak normal (secara fisik).

Apa pula yang telah dilakukan oleh ibunya? Tidak hanya saat melatihnya atau menemaninya berlatih piano, melainkan sejak mengandung dan melahirkannya. Bukankah hati dan perasaannya terbuat dari materi yang sama seperti kita? Tetapi ada kekuatan tak tampak yang berhasil mengatasi keterbatasan manusia lain saat menghadapi kesedihan dan masalah. Ada cinta yang tak terukur dalam melawan kenyataan bahwa anaknya yang cacat itu juga mengalami keterbelakangan mental. Sempurna sudah beban yang ditanggungnya. Tapi, dalam keterbatasannya sebagai ibu, ia memiliki kesabaran yang nyaris tidak terbatas.  

Diam-diam saya bersyukur sempat mengenalnya. Keajaiban itu menyentuh hati, menyadarkan diri pada kesempurnaan yang tak termanfaatkan secara maksimal. Saya berterima kasih karena diberi kesempatan untuk, andaikata jadi, menulis memoarnya. Ini sebuah kehormatan. Juga bagi keluarga Mizan Group sebagai calon penerbitnya.

Malam itu, juga hari sebelumnya, banyak pelajaran saya dapatkan. Hee Ah Lee, yang dipanggil Happy oleh teman-temannya di Filipina, adalah gadis yang selalu ceria. Jadi apa yang salah pada kita? Seorang teman perempuan mengatakan: “Ini tamparan bagi saya yang merasa kelabakan ketika wajahnya sedikit lecet….”

Saya kira masih banyak orang-orang dengan segala keterbatasannya namun sanggup menggapai impian. Misalnya Helen Keller yang luar biasa itu.

Dalam sebuah seminar kepemimpinan yang pernah saya ikuti, saya sempat menyaksikan video tentang olimpiade orang-orang cacat. Segala yang serasa mustahil tampak nyata di sana. Pelompat tinggi dengan satu kaki, perenang tanpa tangan, dan pelari marathon yang menggunakan kedua tangannya karena kedua kakinya invalid.

Mari kita mensyukuri keterbatasan yang kita miliki. Karena dengan keterbatasan itu, mudah-mudahan kita akan menyadari setiap kelebihan yang terkandung di dalamnya.

(Kurnia Effendi) 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home