Monday, April 02, 2007

Logistik

KETIKA saya harus merantau untuk kedua kalinya, karena diterima kuliah di Bandung, Ibu mengatakan: “Mulai bulan depan, dapur kita ada dua.“

Mula-mula saya tidak mengerti maksudnya. Namun ketika Ibu menjelaskan, bahwa bakal ada dua pos pengeluaran dalam waktu berikutnya, mulailah saya paham. Ketika kami hidup dalam satu rumah, cukup satu kompor yang menyala untuk memasak ini-itu dan dimakan seluruh keluarga—yang hanya berlima itu. Namun semenjak saya bermukim indekos di Bandung, ada lagikompor“ yang harus menyala untuk menanak nasi saya. Apa bedanya? Kan tinggal dibagi dua dengan komposisi yang proporsional?

Tidak sesederhana itu, ternyata. Dengan kata lain, ada yang tak dapat dibagi dua tanpa harus menambah. Misalnya sepuluh ribu rupiah bisa mendapat minyak tanah, minyak goreng dan lima potong tempe; tentu akan beres untuk hidup bersama di suatu siang. Tapi minyak tanah yang sedikit itu jika dibagi dua, salah satu kompor tak sempat menyala karena hanya sanggup membasahi sumbunya. Untuk mendapatkan lima potong tempe barangkali cukup membeli satu papan tempe. Andaikata yang di Bandung hanya memerlukan sepotong tempe, bisakah membelinya benar-benar sepotong dari sepapan yang dijual tukang tempe? Baiklah, kita tak akan bicara matematis tentang itu. Ini hanya pengantar untuk obrolan perihal logistik.

Di mana pun ada denyut kehidupan, selalu ada peran logistik yang membuat sejumlah hari-hari dapat berjalan wajar. Mulai dari lingkup paling kecil (keluarga) sampai dengan skup yang luas (negara). Logistik bagi karyawan seperti saya umurnya hanya sebulan atau bahkan teman-teman menyebutnya dengan istilah gaji hanyalima belas koma“. Wah, yang mendengarnya sedikit terpesona, angka 15 (juta) koma sekian kok dibilang “hanya“. Tapi ini percandaan khas karyawan yang secara kenyataan hidup di metropolitan harus menjalani teknik gali lubang tutup lubang. Fifteen point something itu artinya setelah tanggal lima belas, coma-lah kita. Uang gaji tinggal desis saja. Dan kembali mengaktifkan kartu kredit yang mungkin juga sudah over limit.

Logistik untuk sebuah negara tentu tak boleh demikian. Bagi Indonesia, di depan mata ada ratusan juta penduduk yang sewaktu-waktu membutuhkan pangan dengan segera. Di saat iklim berjalan dengan baik, cuaca melakukan tugas sesuai aturan alam, maka tak ada masalah yang berarti. Panen akan sesuai jadwal, distribusi tepat waktu, penyimpanan bakal aman. Namun ketika kemarau panjang menyebabkan semua tanaman pangan bermasalah, tak dapat diabaikan begitu saja. Atau saat bencana melanda, mendadak ada perubahan yang harus segera diatasi problemnya.

Dengan simpanan logistik sebuah negara yang memadai, tak hanya keperluan Lebaran atau Natalan yang dapat dipenuhi dengan: beras, gula, tepung, telur ayam, daging, susudst. Dalam bencana ada dua unsur lagi yang harus segera ditanggulangi, yakni: obat dan hiburan. Obat dan tenaga kesehatan adalahlogistiktersendiri. Hiburan dalam hal ini lebih bermakna sebagai penyembuhan traumatik dan pandangan atas harapan ke depan.

Tujuan mulia dari logistik memang harus ditangani oleh orang-orang berhati mulia. Syukur-syukur ia seorang yang sudah tidak memerlukan apa-apa selain ingin sebanyak-banyaknya melakukan kegiatan charity, bersosial ke sana-kemari bukan untuk kepentingan pribadi.

Persoalan yang kemudian muncul, bukan pada siapa tokoh yang bertanggung jawab dalam mengelola, akan tetapi siapa tokoh yang berada di belakangnya. Karena yang akan memegang jabatan sebagai kepala logistik hanya satu orang, para calon lain harus siap untuk tidak dipilih. Karena calon kepala logistik itu akan memiliki pekerjaan yang luar biasa kompleks, tentu harus dipilih melalui seleksi-seleksi yang ketat pula. Karena urusan logistik ini akan menyangkut hajat orang banyak, bahkan mungkin seluruh penduduk negeri, harus dicarikan orang yang mampu berpikir secara menyeluruh, integitas, dan berdasar-pijak pada prioritas yang benar.

Banyak “karena“ yang mau tidak mau akhirnya membias dan lepas dari akar tujuannya. Dalam sejarah perlogistikan di Indonesia, hanya 4 orang yang lolos dari kasus hukum. Dua di antaranya Jusuf Kalla dan Rizal Ramli. Jadi, sebenarnya Badan Urusan Logistik ini lembaga yang menenteramkan sebagai bagian dari tata tentrem kertoraharjo atau menjadi perangkap bagi yang tak lulus ujian moral?

Logistik mungkin memiliki sifat “basah“. Basah sedikit tak akan mengundang penyakit. Namun jika terendam dan hanyut, mungkin segalanya jadi luput. Basah yang keterusan pada pakaian yang sedang kita kenakan memang dapat menimbulkan penyakit masuk angin. Namun demikian, banyak pihak yang ingin bergelimang dalam kebasahan itu. Kekuatan atau pengaruh yang paling dapat diandalkan saat ini, ketika hidup terukur secara metarialistik, memang uang. Tempat-tempat “basah“ yang mengandung sumber uang akan menghijaukan pandangan setiap mata kepentingan.

Di zaman ini, tak dapat ditemukan dalam satu berbanding sejuta, rasanya, orang yang dapat mengikuti cara hidup Umar bin Khatab. Sewaktu menjadi pemimpin khalifah, beliau melarang keras ketika anaknya hendak menggunakan penerangan milik negara untuk kepentingan pribadi. Sementara sekarang, saya tidak memiliki rasa bersalah saat menelepon teman di luar urusan pekerjaan, berulang-ulang, dengan fasilitas kantor. Seolah ini hal kecil. Tentu saja kecil, bila dibandingkan dengan praktik mark-up harga tender proyek-proyek yang melibatkan uang negara atau justru uang rakyat.

Mungkin kita memang perlu bercermin dan menatap dengan sungguh-sungguh dasar bola mata kita. Apakah yang tergambar di sana? Apakah yang setiap saat menggoda pikiran kita? Apakah yang senantiasa mengkhianati hatinurani kita? Semoga logistik kejujuran masih bermukim di hati kita. Artinya, kalau sesekali kita berbuat jahat, ya berterus-teranglah. Lambat-laun tentu kita akan malu jika harus selalu menyampaikan perilaku buruk kita kepada orang lain. Perlahan-lahan berubah: ingin selalu berbuat baik saja. Mudah-mudahan.

(Kurnia Effendi, untuk tabloid PARLE)

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home