Friday, April 20, 2007

P u i s i

APAKAH puisi sanggup mengubah pandangan atau pola pikir masyarakat? Pertanyaan klasik ini berulang kali diucapkan oleh orang-orang yang pesimis sekaligus oleh orang-orang yang optimis. Biasanya terdengar di kalangan mahasiswa yang sedang giat-giatnya mengekspresikan sikap anti terhadap pemerintah yang memaklumkan kebijakan baru. Acap kali kebijakan atau peraturan itu tidak sejalan dengan harapan rakyat, sementara DPR tidak menunjukkan suaranya sebagai aspirator.

            Golongan yang pesimis akan beranggapan puisi semata karya seni yang sekeras apa pun isinya, tidak akan menyentuhperasaanpemerintah yang sudah telanjur kebal. Sementara kaum yang optimis sangat percaya bahwa puisi memang bukan alat untuk melawan pemerintah. Dengan kata lain, sang pesimis maupun sang optimis memiliki pendapat yang sama, namun berposisi pada dua tempat yang berbeda.

            Tetapi, bukankah ada pepatah mengatakan bahwa pena lebih tajam dari ujung pedang? Meskipun tidak dalam bentuk puisi, kata-kata yang tersurat bila disusun oleh pikiran kritis dan dibaca oleh nalar yang sadar, setidaknya mampu mengubah pertimbangan seseorang atau kelompok. Pena yang tajam itu biasanya ditorehkan oleh tangan para jurnalis yang pandangannya luas dan pikirannya jauh terentang ke depan. Sementara para penyair, menyuarakannya dengan sedikit tersembunyi dalam metafor dan majas.

            Kita tentu ingat, bagaimana sastrawan Angkatan 66 telah membawa generasinya pada gaung yang panjang dengan puisi-puisi kritisnya. Di sana ada Taufiq Ismail dengan kumpulan Benteng dan Tirani. Di sana ada aroma perjuangan mahasiswa yang masih murni mengusung cita-cita mulia. Lantas pada periode berikutnya, ketika pemerintahan Soeharto mulai mencapai titik jenuh, Rendra mengumandangkan puisi-puisi pamflet yang lugas dan keras.

            Saat itu puisi menjadi semacamkompor”, yang sanggup memanaskan jiwa kaum militan untuk memberontak, melepaskan diri dari tekanan. Saat itu puisi seolah-olah mampu mengubah pendapat masyarakat. Bahkan jauh di masa lalu, Chairil Anwar telah mengobarkan semangat pejuang Indonesia hanya dengan kata: “Ayo Bung!” yang diterakan di atas poster lukisan Affandi.

            Mungkin karena perannya yang “terselubungitu, puisi menjadi cukup penting. Selain hidup dalam khazanah sastra, puisi juga tumbuh dalam kehidupan manusia sehari-hari. Siapa yang dalam sepanjang hidupnya tidak pernah menulis puisi? Rasanya hampir setiap orang, walau sekali seumur hidup, pernah menulis puisi. Dalam buku harian, atau untuk keperluan yang lebih luas. Mengapa demikian? Tentu disebabkan puisi merupakan medium yang sifatnya personal dan efektif untuk mengekspresikan suara hati. Oleh karena itu, seseorang yang sedang jatuh cinta atau patah hati, akan demikianpiawaimenulis puisi danmendadak menjadi penyair”.

            Jadi, andaikata puisi tetap terpelihara di halaman-halaman sastra surat kabar maupun majalah, karena masih ada yang menulis dan membacanya. Sifatnya yang multi tafsir, menyimpan pelbagai makna, membuat puisi patut disimpan untuk sewaktu-waktu dibaca ulang. Siapa tahu, suatu saat, memiliki arti yang berbeda. Dalam siklus tertentu, kalimatHanya satu kata: lawan!” yang ditulis oleh Widji Thukul akan kembali relevan, terutama ketika ada tekanan-tekanan terhadap rakyat. Sementara bait-bait Sapardi Djoko Damono dalam puisi berjudulAku Ingintetap abadi untuk dipinjam oleh para pecinta.

            Kini, ketika banyak medium untuk mencurahkan perasaan melalui puisi, setiap orang boleh menjadipenyairhanya berbekal keberanian menyampaikan karyanya. Melalui media maya, internet, tumbuh komunitas mailing list para penggemar puisi, seperti Cyber Sastra, BungaMatahari, Komunitas Penyair, Fordisastra, dan banyak lagi. Bahkan sejumlah penulis puisi tidak lagi mengharapkan kemurahan hati para penerbit untuk mengulurkan tangan menjemput karya mereka yang berhamburan, karena zaman sudah memudahkan seseorang merilis karyanya sendiri. Diterima atau tidak puisi-puisi itu di jagat sastra, waktu dan pembaca yang akan menentukan.

            Baru-baru ini diresmikan lembaga pelatihan penulisan puisi, semacam bengkel dengan metoda lokakarya, di Banten. Dalam komunitas ini sudah disiapkan para pembimbing yang terdiri dari penyair lokal dan Jakarta. Ini pertanda bahwa puisi tak  akan mati, justru sebaliknya berkembang dengan baik. Penulisan puisi yang terus merebak ini ada baiknya diimbangi dengan pembacaan yang memadai. Mungkin sebagian besar puisi ditulis dengan kontemplasi tinggi yang melahirkan suasana renungan, suasana kamar. Tapi bukan berarti puisi-puisi dengan kedalaman eksplorasi itu tak merdu dibaca dengan suara lantang, bukan sekadar dibisikkan.

            Dulu ada seni deklamasi yang mengharapkan pembacanya hafal dengan larik-larik puisinya. Kini tidak musim lagi pembacaan tanpa teks yang nadanya terdengar stereotip, sehingga sulit dibedakan antara satu tema dengan tema lainnya. Poetry Reading kemudian lebih populer, apalagi beberapa penyair menulis puisi begitu panjang, sehingga sangat sulit untuk diucapkan di luar kepala. Sekitar tahun 90-an, lomba baca puisi marak di mana-mana, di sekolah, kampus, maupun lembaga-lembaga kebudayaan.

            Dewan Kesenian Jakarta, memang tetap memelihara tradisi pembacaan puisi dengan menghadirkan para penyair daerah, sebagai pertunjukan. Beberapa stasiun radio juga menyediakan waktunya, minimal sekali dalam seminggu, untuk pembacaan puisi, meskipun dikemas dalam acara yang lebih universal. Dalam acara tersebut, yang dibahas bukan puisinya, melainkan problema cinta seseorang (curahan hati pendengar) yang dihiasi dengan ilustrasi puisi sesuai temanya.

            Kembali pada pertanyaan awal, apakah puisi sanggup mengubah cara pandang masyarakat? Sebaiknya saya katakan: ya. Meskipun tidak secara serta-merta seperti doktrin. Boleh kita ingat kembali film Dead Poet Society yang dimainkan oleh Robin Williams dan Ethan Hawke. Dalam film itu, puisi telah menjadi ruh dari kegiatan belajar-mengajar, yang lebih memanusiakan cara berpikir seseorang. Puisi telah memberikan sentuhan humaniora. Puisi mungkin mampu menghaluskan rasa. Puisi mungkin menjadi selapis moral bagi perilaku kita.

(Kurnia Effendi, untuk Parle edisi 84)

 

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home